Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM yang Berat
Kolom

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM yang Berat

Perubahan-perubahan peta politik di belahan Eropa Timur dan Eropa Tengah, Sovyet dan Amerika Latin telah menunjukan keruntuhan rezim totaliter dan otoriter. Implikasi perubahan peta politik tersebut di setiap negara berbeda-beda secara signifikan.

Bacaan 2 Menit
Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM yang Berat
Hukumonline

Namun  demikian,  tantangan  yang dihadapi  oleh  pemerintah  baru  (Pemerintah transisi) mengenai  demokratisasi  tidak berbeda. Kunci  pertama persoalan  yang dihadapi  ada 2 (dua) yaitu: pertama persoalan pegakuan  (acknowledgment) dan kedua  persoalan  akuntabilitas (accountability).

Persoalan  pertama  dihadapkan  kepada  dua pilihan: apakah  tidak perlu dilupakan  atau perlu   dilupakan saja, sedangkan  persoalan  kedua  dihadapkan dua  pilihan: apakah  perlu dilakukan penuntutan  atau  dijatuhi  sanksi  terhadap  para pelakunya.

Pengalaman Indonesia dalam   masalah peralihan   dari rezim  otoriter dan totaliter ke masa pemerintahan  demokrasi  kurang lebih  sama dengan persoalan  sebagaimana tengah  terjadi   dinegara-negara Eropa Timur.

Pengakuan (Acknowledgment)

Pengaruh negatif amnesti  ada empat. Pertama, dengan amnesti, maka korban (victims) pelanggaran  hak asasi manusia (HAM)  berat  masa lalu  tidak  memiliki hak  (right) lagi untuk   melakukan  penuntutan,  sehingga  amnesti  juga selanjutnya  dipandang  sebagai  hak dari  para korban. Jadi,  dalam  kasus pelanggaran  HAM yang berat konsep  amnesti  harus dikaji ulang sehingga amnesti  tidak saja  merupakan  hak dan  tanggung jawab  negara tetapi  juga merupakan  hak dari korban-korban.

Kedua, amnesti  yang diberikan  oleh kepala negara telah  menempatkan  korban-korban  pelanggaran HAM berat sebagai warga negara kelas dua di hadapan hukum  yang tidak memiliki hak untuk membela diri.

Ketiga, biaya sosial dan politik  dari  pemberian amnesti  oleh negara tanpa  mempertimbangkan  hak-hak  korban (victim s right) sangat tinggi  dibandingkan  dengan sebaliknya. Dalam  konteks ini, konsep  amnesti  khusus  untuk menyelesaikan  kasus-kasus  pelanggaran  HAM  yang berat perlu  dikembangkan  dalam konteks hukum  Indonesia.

Keempat, pemberian  amnesti  oleh kepala negara  terhadap  pelaku pelanggaran  HAM yang berat  mengandug  makna  merendahkan  harkat dan  martabat  korban-korban pelanggaran HAM yang berat, sehingga  metode tersebut  sudah tidak relevan lagi  dengan karakteristik  dan  kualitas  pelanggaran HAM berat dimasa lampau.

 

Akuntabilitas

Berbeda  dengan kunci  persoalan  yang pertama, kunci   persoalan  yang kedua  justru bertujuan  untuk menghukum pelaku  pelanggaran  HAM yang berat dan sekaligus  mengembalikan harkat  dan martabat  korban pelanggaran  HAM yang berat.

PENDAPAT

Pro

Kontra

Penghukuman  dapat memelihara  keadilan bagi korban

 

 

 

Penghukuman hanya akan meningkatkan  perasaan  dendam  korban  yang bertujuan  pembalasan   dan tidak  akan menciptakan  keadilan.

 

Peghukuman mengandung  arti  memperkuat  legitimasi  pemerintahan baru.

Penguhukuman  hanya akan  menciptakan  distorsi  sosial  yang  berkepenjangan  dan  korban  baru dari konflik horizontal dan vertikal

Peghukuman  mecegah  terjadinya  pelanggaran  HAM berat  dimasa  yang  akan datang :  the  criminals should go  unpunished akan  tetap  dijaga

 

 

Peghukuman  kurang relevan  dengan  pelanggaran  HAM yang berat karena dalam  kasus  tersebut  muatan  politik  lebih besar  dan bukan semata-mata hanya  persoalan legalitas.

 

 

Penghukuman  menghilangkan   "Impunity" dari  para pelaku  pelanggaran  HAM yang berat dalam  konteks  hubungan antara superior dan subordinats.

 

Dua kunci  persoalan  yang utama dalam  penyelesaian  kasus  pelanggaran  HAM yang berat,  menunjukan  bahwa  implikasi  perubahan  sistem  pemerintahan  otoriter  dan  totaliter kepada sistem  pemerintahan  demokrasi  dan dalam  masa  transisi   bukan semata-mata  berdampak politik, sosial   dan budaya; melainkan  berdampak  terhadap  paradigma  yang dipergunakan  (paradigma approach) baik  dalam Law Making Process (LMP) maupun dalam Law Enforcement Process (LEP).

Perubahan paradigma  dalam masa transisi ini memerlukan  penegasan pengakuan  tentang prinsip-prinsip  perlndungan HAM, transparansi,  profesionalitas dan akuntabilitas. Keempat prinsip   tersebut didukug  dalam seluruh  peraturan perundang-undangan  baik mengatur  kepentingan   sektoral  maupun  kepentingan  yang bersifat  lintas  sektoral, bahkan  peraturan  perundang-undangan  yang merupakan  induk  dari peraturan  perundang-undangan  yang lain.

Namun  demikian  di dalam  masa transisi  pemerintahan  ini, terkait masalah-masalah  hukum  keadilan. Penegakan keadilan  dimasa transisi  sudah  tentu  berbeda   dengan masa  establishment.

Penegakan  hukum dalam masa transisi terutama  yang bertujuan menyelesaikan  kasus  pelanggaran  HAM yang berat pada era rezim  otoriter  memerlukan   desain  khusus yang berbeda  dengan desain hukum yang sudah  berlaku  dan diakui  dalam masa "establisment"

Penegakan  hukum di tengah-tengah kunci persoalan utama dalam masa transisi memerlukan pemikiran-pemikiran  yang bijak  dan  berwawasan  kebangsaan  dengan tidak  mengenyampingkan keseimbangan  antara faktor  politik, sosial, budaya  disatu sisi  dan  faktor  legalitas  disisi lain.

Pemerintah  Indonesia  telah  melaksanakan  langkah-langkah  strategis  untuk menyelesaikan  pelanggaran HAM yang berat baik  yang dilakukan   dimasa  lampau maupun  di masa  yang akan datang.

Sampai  saat ini,  Pemerintah  dan DPR-RI sedang membahas  Rancangan  Undang-undang  yang memuat  ketentuan-ketentuan hukum  material  (substantif) dan hukum formil  (prosedur). RUU Pengadilan  HAM  telah menjembatani  dua   kepentingan/aspirasi masyarakat  luas, yaitu  yang menghendaki  agar pelanggaran  HAM  yang berat masa lalu  tetap diadili. Akan tetapi,   mereka juga  yang  menghendaki  rekonsiliasi  untuk menyelesaian  pelanggran  HAM  yang berat di masa lalu.

Kebijakan  hukum yang diambil  pemerintah  dalam menyelesaikan  dan  menghadapai  pelanggaran HAM yang berat  segera diatur  dalam RUU Pengadilan  HAM yang mengandung  dua dimensi,  yaitu  dimensi  politik  dan dimensi  hukum. Dimensi  hukum tetap  memegang peranan  utama, sedangkan  dimensi  politik memegang peranan pedukung melalui  skema  sebagai berikut :

Skema pertama :

Dibentuk pengadilan  HAM ad-hoc yang mengadili  pelanggaran  HAM yang berat masa lampau  tertentu  dan dalam  kurun  waktu  tertentu   dengan  persetujuan DPR-RI

Skema Kedua ;

Peyelesaian  kasus  pelanggaran HAM yang berat di masa  lampau  dapat juga  dilakukan  oleh Komisi  Kebenaran  dan Rekonsiliasi.

Penuntutan  terhadap  pelanggaran HAM yang berat  dari suatu  negara sangat  tergantung pada 5 (lima) variabel, yaitu teror dari aparatur  negara (State Terror), keseimbangan  kekuatan   (Balance of Powers), kepemimpinan (Leadership), pertimbangan-pertimbangan strategis (Strategic Calculations), dan tekanan-tekanan massa (Social Pressure).

Kelima variabel  tersebut  diukur dari kuat atau lemahnya  atau moderat yang sangat mempengaruhi keberhasilan penuntutan.

 

*   Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran

 

** Disampaikan pada diskusi "Sebab-sebab Terjadinya Pelanggaran Hak Asasi  Manusia yang Berat dan Cara-cara Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat" pada 16 Oktober 2000.

Tags: