Pemerintah Indonesia telah melaksanakan langkah-langkah strategis untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat baik yang dilakukan dimasa lampau maupun di masa yang akan datang.
Sampai saat ini, Pemerintah dan DPR-RI sedang membahas Rancangan Undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan hukum material (substantif) dan hukum formil (prosedur). RUU Pengadilan HAM telah menjembatani dua kepentingan/aspirasi masyarakat luas, yaitu yang menghendaki agar pelanggaran HAM yang berat masa lalu tetap diadili. Akan tetapi, mereka juga yang menghendaki rekonsiliasi untuk menyelesaian pelanggran HAM yang berat di masa lalu.
Kebijakan hukum yang diambil pemerintah dalam menyelesaikan dan menghadapai pelanggaran HAM yang berat segera diatur dalam RUU Pengadilan HAM yang mengandung dua dimensi, yaitu dimensi politik dan dimensi hukum. Dimensi hukum tetap memegang peranan utama, sedangkan dimensi politik memegang peranan pedukung melalui skema sebagai berikut :
Skema pertama :
Dibentuk pengadilan HAM ad-hoc yang mengadili pelanggaran HAM yang berat masa lampau tertentu dan dalam kurun waktu tertentu dengan persetujuan DPR-RI
Skema Kedua ;
Peyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lampau dapat juga dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Penuntutan terhadap pelanggaran HAM yang berat dari suatu negara sangat tergantung pada 5 (lima) variabel, yaitu teror dari aparatur negara (State Terror), keseimbangan kekuatan (Balance of Powers), kepemimpinan (Leadership), pertimbangan-pertimbangan strategis (Strategic Calculations), dan tekanan-tekanan massa (Social Pressure).
Kelima variabel tersebut diukur dari kuat atau lemahnya atau moderat yang sangat mempengaruhi keberhasilan penuntutan.