Namun demikian, tantangan yang dihadapi oleh pemerintah baru (Pemerintah transisi) mengenai demokratisasi tidak berbeda. Kunci pertama persoalan yang dihadapi ada 2 (dua) yaitu: pertama persoalan pegakuan (acknowledgment) dan kedua persoalan akuntabilitas (accountability).
Persoalan pertama dihadapkan kepada dua pilihan: apakah tidak perlu dilupakan atau perlu dilupakan saja, sedangkan persoalan kedua dihadapkan dua pilihan: apakah perlu dilakukan penuntutan atau dijatuhi sanksi terhadap para pelakunya.
Pengalaman Indonesia dalam masalah peralihan dari rezim otoriter dan totaliter ke masa pemerintahan demokrasi kurang lebih sama dengan persoalan sebagaimana tengah terjadi dinegara-negara Eropa Timur.
Pengakuan (Acknowledgment)
Pengaruh negatif amnesti ada empat. Pertama, dengan amnesti, maka korban (victims) pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu tidak memiliki hak (right) lagi untuk melakukan penuntutan, sehingga amnesti juga selanjutnya dipandang sebagai hak dari para korban. Jadi, dalam kasus pelanggaran HAM yang berat konsep amnesti harus dikaji ulang sehingga amnesti tidak saja merupakan hak dan tanggung jawab negara tetapi juga merupakan hak dari korban-korban.
Kedua, amnesti yang diberikan oleh kepala negara telah menempatkan korban-korban pelanggaran HAM berat sebagai warga negara kelas dua di hadapan hukum yang tidak memiliki hak untuk membela diri.
Ketiga, biaya sosial dan politik dari pemberian amnesti oleh negara tanpa mempertimbangkan hak-hak korban (victim s right) sangat tinggi dibandingkan dengan sebaliknya. Dalam konteks ini, konsep amnesti khusus untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat perlu dikembangkan dalam konteks hukum Indonesia.
Keempat, pemberian amnesti oleh kepala negara terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat mengandug makna merendahkan harkat dan martabat korban-korban pelanggaran HAM yang berat, sehingga metode tersebut sudah tidak relevan lagi dengan karakteristik dan kualitas pelanggaran HAM berat dimasa lampau.