Penyelesaian Hukum Korban Stigma 65 Berjalan Lambat
Berita

Penyelesaian Hukum Korban Stigma 65 Berjalan Lambat

Kalah cepat dibanding dengan penyelesaian secara budaya.

IHW
Bacaan 2 Menit

 

Berjalan lambat

Kemenangan gugatan hukum Nani boleh jadi menginspirasi korban Stigma 65 yang lain untuk mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2005 silam. Sayang, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima karena hakim menganggap pengadilan tata usaha negara yang paling berwenang mengadili perkara ini. Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan itu.

 

Setelah gugatan class action itu, praktis belum ada lagi upaya hukum yang dilakukan para korban stigma 65. Peneliti Sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan bahwa hal ini menunjukkan proses penyelesaian hukum terhadap para korban stigma 65 berjalan lambat.

 

“Penyelesaian hukum lebih lambat ketimbang secara budaya,” kata Asvi. Ia merujuk pada maraknya karya cipta berupa buku, memoar, dan karya lain yang secara gamblang bisa menceritakan sejarah 65 dari perspektif yang berbeda. “Sekarang makin banyak karya seperti itu. Apalagi setelah kewenangan kejaksaan untuk memberedel barang-barang cetakan dicabut.”

 

Direktur LBH Jakarta, Nurkholis Hidayat mengamini pernyataan Asvi. Kalaupun ada kemenangan yang bisa diraih, itu pun tak berdampak langsung kepada para korban langsung Stigma 65. Ia menyebut contoh putusan Mahkamah Konstitusi pada 2004 silam yang membatalkan larangan bagi para mantan anggota PKI dan ormasnya untuk menjadi anggota legislatif.

 

Namun setidaknya ia menganggap gugatan class action 2005 silam telah berhasil dijadikan ajang konsolidasi nasional para korban Stigma 65. 

 

Penyelesaian secara hukum memang berjalan lambat, tapi itu tak menuntaskan perjuangan Effendi dan ribuan atau bahkan jutaan korban Stigma 65 lainnya untuk merehabilitasi nama baik mereka. “Di penghujung usia kami ini, kami hanya berharap pemerintah mau meminta maaf dan merehabilitasi kami,” tutup Effendi.

Tags: