Penyelenggaran E-Government Terganjal Faktor Budaya
Berita

Penyelenggaran E-Government Terganjal Faktor Budaya

Sudah menjadi rahasia umum, penyelenggaraan e-government terganjal oleh faktor budaya. Pasalnya, perlu perubahan besar-besaran dari masyarakat dalam memandang teknologi sebagai alat bantu dalam kegiatan pemerintahan. Faktor budaya merupakan bagian yang tersulit untuk menjadikan e-government sebagai pilihan dalam pembuatan kebijakan pemerintah.

Ram/APr
Bacaan 2 Menit
Penyelenggaran <I>E-Government</I> Terganjal Faktor Budaya
Hukumonline

Tidak mudahnya mengubah pola atau gaya hidup masyarakat, menjadikan e-government ini berjalan tersendat. Di kalangan pemerintahan, LSM, dan pengusaha justru sangat menginginkan adanya kemudahan dalam mengakses informasi yang saat ini masih dimonopoli oleh pemerintah.

Namun apa mau dikata, dari 200 juta lebih jiwa hanya sekitar 2 juta jiwa yang saat ini bisa mengakses internet. Dan menurut data terakhir, hampir 70% pengguna internet melakukan koneksi melalui kantor. Belum ada data spesifik yang menunjukkan  kebutuhan akan penyelenggaraan e-government di Indonesia.

Erry Riyana Hardjapamekas, anggota Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) mengemukakan bahwa penyelenggaraan e-government merupakan keharusan. "Tidak ada yang tidak setuju, dengan penyelenggaraan e-government di Indonesia," tambahnya.

Erry berpendapat bahwa kendala budaya merupakan bagian yang perlu dipikirkan. Di samping itu juga masalah infrastruktur yang sampai saat ini masih dimonopoli oleh PT Telkom. Di sisi lain, Erry melihat perlu adanya jaminan kepastian hukum atas penyelenggaraan e-government di Indonesia.

Namun, Erry sendiri mengkhawatirkan jika penyelenggaraan e-government ini justru melanggar privacy. Alasannya, apa yang dilakukan beberapa waktu lalu oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) sangat berlebihan dan tidak ada penghargaan atas privacy seseorang.

Karena itu, sejak dini harus dipikirkan, apa dan bagaimana e-government yang akan dibangun di dalam pemerintahan. Pasalnya, bukan tidak mungkin justru e-government ini menjadi bumerang terhadap demokrasi yang menjadi salah satu tumpuan dari reformasi.

E-government adalah alat

Tidak sedikit pengusaha maupun politikus yang sudah mulai melirik dan hendak menggunakan e-government ini sebagai kendaran politik. Terutama, sejak Kementerian Komunikasi dan Informasi ini terbentuk di dalam Kabinet Gotong Royong.

Dalam konteks demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas, e-government merupakan alat untuk mewujudkan ketiganya di dalam masyarakat. Pasalnya, masyarakat selaku subyek dalam pemerintahan sudah sepantasnya mendapatkan tempat.

Taufik Hasan, salah satu direktur Telkom berpendapat bahwa pemerintah harus memiliki visi yang jelas dalam membangun dan menyelenggarakan e-government. Kasus Kabupaten Kutai menunjukkan, sangat dibutuhkan peran pemerintah setempat dalam melihat bahwa teknologi informasi mampu mendorong kemajuan daerah tersebut.

Sebagai suatu proses, e-government ini nantinya harus menjadi bagian dari kebijakan pemerintah. Berkaitan dengan itu, Taufik melihat bahwa dalam pembangunan atau pengembangan e-government, dibutuhkan kesadaran akan pentingnya teknologi informasi (TI) bagi masyarakat. "Sehingga bukan hanya akses saja yang dibutuhkan, tapi lebih kepada dukungan berupa kebijakan dan kesadaran dari masyarakat dan pemerintah" tambahnya. 

Sangat disayangkan jika pemanfaatan e-government nantinya hanya diarahkan untuk kepentingan politis dan bisnis saja. Jika demikian halnya, pada akhirnya e-government yang akan diselenggarakan tidak ubahnya situs pemerintahan yang ada saat ini.

Ambil contoh, keberadaan situs www.dpr.go.id dan www.sekneg.go.id, yang saat ini dimiliki oleh pemerintah. Pengelolaan situs atau website tersebut hampir tidak pernah dilakukan upgrading. Padahal informasi tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Pada saat masyarakat akan meng-klik, akan didapatkan informasi yang sudah usang.

Butuh kesadaran TI

Suka tidak suka, kebiasaan atau budaya masyarakat harus diubah. Meski agak sulit membangun kesadaran akan pentingnya teknologi informasi, harus dicari cara agar masyarakat memiliki kepedulian akan mendesaknya e-government untuk dilaksanakan.

Taufik melihat, perlu dibangun kesadaran yang tumbuh dari masyarakat setempat untuk membangun dan mengembangkan e-government. "CTC (communication and telecomunication centre) merupakan peluang untuk membangun kesadaran masyarakat," tegas Taufik.

Faktor kepemimpinan sangat menentukan pembangunan dan penyelenggaraan e-government di tingkat pusat dan daerah. "Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah pemerintah selaku pemerintah harus memiliki komitmen dalam menyelenggarakan e-government," katanya.

Faktor budaya bukan masalah yang sederhana, apalagi harus "memaksa" masyarakat, termasuk pemerintah sendiri. Menteri Negara Komunikasi dan Informasi harus secepatnya meletakkan visi dari e-government yang akan diselenggarakan. Sehingga tidak hanya semangat di awal, kemudian ditingalkan di tengah jalan. 

 

Tags: