Penyandang Disabilitas dalam Perspektif Konstitusi
Utama

Penyandang Disabilitas dalam Perspektif Konstitusi

Praktiknya dianggap tidak cakap hukum, sehingga diperlukan wali dan pengampuan. Ketimbang pengampuan, penyandang disabilitas mental harus diberikan dukungan agar bisa mengambil keputusannya sendiri.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Anggota Perhimpunan Jiwa Sehat, Atin Maulin dalam diskusi daring bertema 'Pengakuan Kapasitas Hukum Penyandang Disabilitas Psikososial dalam Perspektif Konstitusi Indonesia', Kamis (25/8/2022). Foto: ADY
Anggota Perhimpunan Jiwa Sehat, Atin Maulin dalam diskusi daring bertema 'Pengakuan Kapasitas Hukum Penyandang Disabilitas Psikososial dalam Perspektif Konstitusi Indonesia', Kamis (25/8/2022). Foto: ADY

Konstitusi menjamin hak persamaan di hadapan hukum bagi setiap orang tak terkecuali bagi penyandang disabilitas. Tapi paraktiknya penyandang disabilitas rentan mengalami diskriminasi ketika berurusan dengan hukum, khususnya dialami penyandang disabilitas mental atau psikososial (PDP). 

Anggota Perhimpunan Jiwa Sehat, Atin Maulin, mengatakan sejak 9 tahun silam dirinya divonis mengalami PDP. Awalnya, dia merasa kehidupannya suram setelah mendengar informasi tersebut, tapi kemudian pandangannya itu berubah ketika berinteraksi dengan sesama PDP.

Menurut perempuan yang disapa Ulin itu, penyandang disabilitas mental atau PDP itu dialami seumur hidup dan tidak bisa dihilangkan. Tapi PDP bisa dipulihkan dan sifatnya hanya periodik atau ketika kumat (relaps). Sayangnya, kebanyakan orang melihatnya berbeda, sehingga PDP dianggap tidak cakap melakukan tindakan seperti perbuatan hukum. Stigma itu berdampak negatif terhadap PDP. Padahal, faktanya banyak PDP yang mampu meraih prestasi di berbagai bidang misalnya akademik.

“Para penyandang disabilitas mental atau PDP sering tidak dilihat keahlian dan kemampuannya, dianggap tidak bisa melakukan apa-apa,” kata Ulin dalam diskusi daring bertema “Pengakuan Kapasitas Hukum Penyandang Disabilitas Psikososial dalam Perspektif Konstitusi Indonesia”, Kamis (25/8/2022).

Baca Juga:

Pandangan serupa juga dihadapi PDP ketika berurusan dengan hukum. Misalnya, ketika ingin menjalin hubungan kerja, Ulin beberapa kali pernah gagal menandatangani kontrak kerja ketika pihak pemberi kerja mengetahui dirinya mengalami PDP.

Ketika berurusan dengan bank dan jasa keuangan lainnya, PDP dianggap tidak mampu mengelola keuangan. Ada kasus warisan yang seharusnya diterima PDP akhirnya dikelola anggota keluarga lainnya. Padahal, belum ada putusan pengadilan yang memerintahkan warisan itu untuk dikelola orang lain.

Ada juga kasus di Jambi dimana seorang PDP mendapat telepon dari pihak bank yang menyatakan kakaknya memegang putusan pengadilan yang isinya menetapkan sebagai pengampu PDP yang bersangkutan. Dengan berbekal putusan itu, kakak dari PDP itu mengalihkan uang sebesar Rp500 juta dari rekening atas nama PDP. Selain itu, PDP yang dimasukkan keluarganya ke panti juga kesulitan untuk keluar dari tempat itu walau kondisi mereka sudah pulih.

Pengajar STH Indonesia Jentera, Fajri Nursyamsi, mengatakan stigma terhadap PDP harus dihilangkan. Pasal 27 ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945 menegaskan segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28D ayat (1), pasal 28G ayat (1), dan pasal 28H ayat (2) juga menegaskan hal yang serupa.

Fajri melihat praktiknya selama ini PDP dianggap tidak cakap hukum dan serta merta ada wali dan pengampuan. Sehingga tindakan yang harusnya bisa dilakukan sendiri oleh PDP diwakilkan kepada orang lain, misalnya melakukan perjanjian. Ada prosedur yang harus dilakukan sebelum mengampu atau mengambil alih tindakan yang harusnya bisa dilakukan PDP.

“Kalau PDP sedang kumat, maka harus diberikan dukungan, bukan malah dihakimi kemudian diambil alih keputusan atau tindakannya oleh orang lain,” paparnya.

Sebagaimana mandat Pasal 28H ayat (2) yang menyebut setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, Fajri menekankan kelompok rentan dan penyandang disabilitas harus lebih dulu diberi kemudahan. Sebab, mereka adalah kelompok yang rawan menghadapi hambatan ketika melakukan aktivitas.

Fajri mengingatkan Putusan MK No.135/PUU-XIII/2015 yang menyatakan setidaknya 5 hal. Pertama, menyatakan inkonstitusional terhadap syarat “tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya” untuk didaftar menjadi pemilih dalam UU No.8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Kedua, putusan ini membuka perspektif baru terhadap pelindungan hak memilih PDP. Ketiga, mengakui pemohon PDP.

Keempat, dalam putusan tersebut, Fajri berpendapat hakim MK mempertimbangkan psikososial sebagai sesuatu yang tidak permanen memiliki banyak spektrum, sehingga tidak dapat diatur secara seragam. Kelima, belum mendasarkan pada pendekatan dukungan bagi PDP untuk menghilangkan hambatan, tapi masih menggunakan pendekatan kesehatan.

Fajri mengusulkan ketimbang pengampuan, PDP harus diberikan dukungan agar bisa mengambil keputusannya sendiri. Pengampuan ujungnya malah menghilangkan berbagai hak PDP, salah satunya mengambil hak untuk mengambil keputusan sendiri. “Praktiknya pengampuan banyak dijadikan modus untuk menguasai hak orang lain melalui klaim pengadilan,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait