Penuntut Umum Curiga Ada Persekongkolan Audit FDD Sjamsul Nursalim
Berita

Penuntut Umum Curiga Ada Persekongkolan Audit FDD Sjamsul Nursalim

Tor FDD dibuat oleh BPPN bersama obligor dan hutang petambak Rp4,8 triliun tidak masuk audit.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Ilustrasi sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES

Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan sejumlah saksi dalam sidang lanjutan dugaan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI yang dilakukan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung kepada Sjamsul Nursalim.

 

Mereka diantaranya mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun kuntjoro-jakti, mantan Sekretaris KKSK Lukita D. Tuwo, dan mantan Deputi BPPN Bidang Aset Manajemen Investasi (AMI) Taufik Mappaenre. Dalam sidang, penuntut umum ingin mengetahui proses Financial Due Diligence (FDD) yang berujung keluarnya surat keputusan KKSK yang menghilangkan/menghapus kewajiban Sjamsul Nursalim.

 

Dalam keterangannya, mantan Sekretaris KKSK Lukita D. Tuwo mengaku tidak mengetahui secara rinci mengenai FDD yang dilakukan salah satu konsultan dari kantor Ernst & Young, termasuk panduannya. Namun, saat dibacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) miliknya, Lukita mengakuinya.

 

Dalam BAP itu, Lukita menyebut dokumen panduan FDD auditor Ernst & Young disusun oleh staf ahli BPPN dan juga obligor, dalam hal ini Sjamsul Nursalim selaku pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Selain itu, dalam FDD tersebut hutang petambak Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari aset Rp18 triliun yang dijaminkan Sjamsul tidak masuk audit FDD.   

 

"Betul. Saya mengakui, TOR (Term Of Reference) disusun pihak obligor karena memang pelaksanaan ini tidak bisa tidak, diberikan kewenangan kepada BPPN, obligor janjikan dasar pertimbangan yang digunakan aset adalah benar, sehingga yang dilakukan saat dia ajukan surat sebelum tanggal closing selalu ada part of date tanggal closing," kata Lukita di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (16/7/2018). Baca Juga: Syafruddin Tak Ingin Sjamsul Nursalim Tanggung Hutang Petambak

 

Jaksa I Wayan Riyana mempertanyakan alasan hutang petambak tidak dimasukkan dalam FDD. Padahal menurut Jaksa apabila ingin mengetahui apakah ada kejanggalan seharusnya hal tersebut juga turut dilakukan pemeriksaan.

 

"Karena fokusnya bukan hutang petambak, karena itu tugas AMK (Aset Manajemen Kredit) ini akurasi matematika yang dilakukan BPPN," terangnya.

 

Sementara itu, Deputi BPPN Bidang Aset Manajemen Investasi (AMI) Taufik Mappaenre yang juga anggota Tim Bantuan Hukum (TBH) BPPN mengatakan tidak masuknya hutang petambak sebesar Rp4,8 triliun karena dianggap sangat material, sehingga bisa mempengaruhi aset. 

 

"Kalau kesimpulan diungkapkan maka tidak harus dihitung. Jika tidak diungkapkan maka Ernst & Young harus menghitung," jelasnya.

 

Dalam surat dakwaan, hadirnya Ernst & Young selaku auditor tak lepas dari penunjukkan langsung BPPN melalui Divisi AMI. Pada tanggal 18 Desember 2002 dilakukan penandatanganan kontrak selanjutnya Ernst & Young melaksanakan FDD phase I berdasarkan Terms Of Reference (TOR) yang dibuat oleh AMI BPPN.

 

Hapus hutang

Dorodjatun yang juga dihadirkan dalam persidangan ini ditanya jaksa berkaitan dengan keluarnya Surat Keputusan KKSK No. KEP.02/K.KKSK/02/2004 yang intinya menyetujui adanya penghapusan sebagian hutang Sjamsul Nursalim. Dalam keputusan ini juga ada frasa tidak berlaku lagi keputusan KKSK sebelumnya.

 

Awalnya pada saat ditanya penuntut umum, Dorodjatun mengklaim keputusannya tidak mencabut keputusan KKSK sebelumnya di era Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie menduduki jabatan tersebut. "Tidak dicabut, masih ada itu," kata Dorodjatun.

 

Namun saat diperlihatkan surat keputusan tersebut di hadapan persidangan, ia tidak bisa lagi mengelak. "Ya, kalau menurut teks tidak berlaku," jawabnya.

 

Dalam surat dakwaan, keluarnya keputusan KKSK ini atas usulan Syafruddin selaku Kepala BPPN, tetapi pada awalnya Dorodjatun mengklaim tidak mengetahui adanya usulan tersebut. Ia baru mengaku ingat ketika ditunjukkan sejumlah dokumen.

 

Keluarnya surat keputusan juga dirasa janggal karena terjadi setelah masa kerja BPPN selesai pada 27 Februari 2004. Keputusan itu diketahui diambil pada masa perpanjangan BPPN pada 17 Maret 2004.

 

Surat keputusan KKSK No. KEP.02/K.KKSK/02/2004 yang dimaksud yaitu menyetujui nilai hutang masing-masing petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya sebesar Rp100 juta. Dengan penetapan tersebut maka dilakukan penghapusan atas sebagian hutang pokok secara proporsional sesuai beban hutang masing-masing petambak plasma dan penghapusan seluruh tunggakan bunga serta denda.

 

Dengan adanya keputusan penanganan penyelesaian kewajiban debitur petambak plasma PT DCD, maka keputusan-keputusan KKSK sebelumnya yaitu KEP.20/M.EKUIN/04/2000 tanggal 27 April 2000 yang memerintahkan porsi unsustainable debt seluruhnya ditagihkan kepada pemegang saham PT DCD dan PT WM yaitu Sjamsul Nursalim. Selain itu, KEP.02/K.KKSK/03/2001 tanggal 29 Maret 2001 yang memerintahkan porsi unsustainable debt dialihkan ke perusahaan inti yaitu PT DCD dinyatakan tidak berlaku.

 

Padahal menurut Jaksa dalam dakwaanya Dorodjatun mengetahui bahwa Sjamsul telah melakukan misrepresentasi dan diharuskan untuk mengembalikan atau mengganti kerugian kepada BPPN berdasarkan laporan Tim Bantuan Hukum (TBH) KKSK tanggal 29 Mei 2002.

 

Dengan adanya usulan Syafruddin selaku ketua BPPN yang kemudian diikuti oleh KKSK dalam menetapkan Keputusan No. KEP. 02/K.KKSK/02/2004 tanggal 13 Februari 2004 tersebut, maka piutang BDNI kepada petambak diperlakukan seperti aset kredit yang tidak terkait dengan PKPS. Dan keputusan yang mencabut dua SK KKSK sebelumnya yang memerintahkan penagihan piutang kepada Sjamsul Nursalim menjadi tidak berlaku, sehingga mengakibatkan hilangnya hak tagih negara dalam hal ini BPPN kepada bos PT Gadjah Tunggal itu.

Tags:

Berita Terkait