Penundaan ACFTA Menggema dari Senayan
Berita

Penundaan ACFTA Menggema dari Senayan

DPR beranggapan pemerintah belum terbuka menyampaikan perkembangan proses renegosiasi perjanjian ACFTA.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Penundaan ACFTA Menggema dari Senayan
Hukumonline

Kesepakatan perdagangan bebas ASEAN dengan China yang dikenal dengan ACFTA (Asean China Free Trade Agreement), terus menuai polemik. Pengusaha lokal dan DPR mendesak pemerintah untuk tidak sekadar melakukan renegosiasi ACFTA, tapi juga menangguhkan dan menunda perjanjian tersebut sekitar dua tahun. Desakan ini berkumandang dalam rapat dengar pendapat umum antara Komisi VI DPR dengan 18 asosiasi industri, pekan lalu.


Dalam rapat itu, DPR dan pengusaha meminta penangguhan dan penundaan beberapa sektor, di antaranya tekstil dan produk tekstil (TPT), makanan dan minuman, petrokimia, alat-alat dan mesin hasil pertanian, alas kaki, sintetik fiber, elektronik, kabel dan peralatan listrik. Selain itu, terdapat industri permesinan, besi dan baja, industri komponen manufaktur otomotif, kosmetik dan jamu, mebel dan furniture, ban, serta jasa konstruksi/
engineering procurement construction (EPC).


Wakil Ketua Komisi VI Ario Bimo mengatakan, berdasarkan masukan dari asosiasi-asosiasi, perjanjian tersebut perlu ditangguhkan, karena industri nasional belum siap untuk menghadapinya. “FTA perlu ditinjau kembali dan perjanjian ini bukan sesuatu yang harus dipaksakan,” kata Ario usai rapat.


Menurut Ario, pemerintah seharusnya membangun kesiapan industri nasional dengan kebijakan-kebijakan pendukung, seperti di sektor infrastruktur, energi, dan transportasi. Selain kebijakan umum di sektor itu, pemerintah juga harus menyiapkan kebijakan sektoral yang belum akomodatif. “Waktu dua tahun untuk menangguhkan perjanjian tersebut perlu dilakukan guna menyiapkan kebijakan umum di empat faktor tersebut,” ujarnya.


Selain penangguhan dan penundaan ACFTA, muncul desakan kepada pemerintah untuk membenahi dan memperkuat kelembagaan yang mendukung kelancaran arus transportasi barang dan jasa dalam bentuk penguatan kelembagaan seperti Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI), Badan Standardisasi Nasional (BSN), Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). DPR berpendapat reformasi birokrasi terkait dukungan anggaran terhadap lembaga-lembaga tersebut perlu diperbesar.


Di samping itu, pemerintah diminta untuk melakukan pengawasan secara ketat terhadap masuk dan beredarnya barang impor serta menyiapkan pelabuhan-pelabuhan, khususnya yang melayani impor barang guna implementasi ACFTA.


Senada dengan Ario Ketua Komisi VI Airlangga Hartarto mendesak pemerintah untuk mengirimkan notifikasi ke Sekretariat Jenderal ASEAN guna melakukan penangguhan dan renegoisasi terhadap 228 pos tarif dari berbagai komoditas dari kondisi tarif
normal track (NT1) ke jalur normal track (NT2). Selanjutnya, dalam jangka panjang produk-produk tersebut diharapkan bisa masuk dalam kategori sensitive list (SL).


Seperti diketahui, hingga saat ini, pemerintah belum mengirimkan notifikasi terkait upaya renegosiasi kepada Sekjen ASEAN. Namun, pemerintah mengklaim telah menyampaikan surat pemberitahuan pada akhir Desember 2009 dan melakukan lobi informal ke Sekjen ASEAN serta pemerintah China. Akan tetapi, Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan sempat menyatakan belum menerima permintaan resmi dari pemerintah Indonesia untuk melakukan renegosiasi 228 pos tarif tersebut.


Atas dasar itu, Airlangga berpendapat pemerintah belum secara terbuka menyampaikan perkembangan proses renegosiasi, sehingga menyebabkan polemik, baik di tingkat internasional maupun dalam negeri. Untuk mengklarifikasi ketidaktransparanan pemerintah, DPR telah memanggil lima menteri, yakni menteri keuangan, menteri perdagangan, menteri perindustrian, menteri BUMN, menteri koperasi dan UKM, serta kepala BKPM untuk memberi penjelasan.

 

Mendapat desakan dari berbagai pihak, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu akhirnya buka suara. Mendag mengaku sedang mengupayakan renegosiasi secara informal di tingkat ASEAN untuk membahas konsen Indonesia di beberapa sektor.

 

Mari menjelaskan, dari komunikasi informal tersebut, intinya membahas secara win-win solution terhadap fokus masalah yang sedang dihadapi Indonesia dalam pelaksanaan ACFTA. Namun, ia menolak untuk menyampaikan poin-poin apa saja yang sedang dibahas tersebut. “Karena masih berlangsung, kita tidak bisa menyampaikannya,” ujarnya dalam jumpa pers di Departemen Perdagangan minggu lalu.

Tags:

Berita Terkait