Pentingnya UU Contempt Of Court untuk Lindungi Kehormatan Pengadilan
Berita

Pentingnya UU Contempt Of Court untuk Lindungi Kehormatan Pengadilan

Lembaga peradilan pun harus melakukan refleksi. Jika ingin mengesahkan UU Contempt Of Court diperlukan kesesuaian dengan RUU KUHP yang juga mengatur mengenai hal itu

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Sejumlah narasumber dalam Seminar Nasional Contempt of Court di Ballroom Holiday Inn Kemayoran, Jakarta, Kamis (2/8). Foto: AID
Sejumlah narasumber dalam Seminar Nasional Contempt of Court di Ballroom Holiday Inn Kemayoran, Jakarta, Kamis (2/8). Foto: AID

Peristiwa oknum advokat menganiaya dengan sabuknya terhadap hakim yang sedang membacakan putusan dalam sidang pada Kamis (8/7/2019) lalu menambah deretan panjang tindakan contempt of court (penghinaan/pelecehan terhadap lembaga pengadilan) di Indonesia.

 

IKAHI mencatat pada 15 November 2003, gedung Pengadilan Negeri (PN) Larantuka, Nusa Tenggara Timur (NTT) dibakar pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Peristiwa serupa terjadi di PN Maumere, NTT tahun 2006; PN Temanggung, Jawa Tengah tahun 2011; PN Depok, Jawa Barat tahun 2013; PN Bantul, DI Yogyakarta pada 2018.  

 

Tak hanya infrastruktur pengadilan yang diserang atau dirusak, penyerangan terhadap hakim pun kerap terjadi. Pada tahun 2013, seorang hakim di Gorontalo diserang ketika berkendara. Jauh sebelum itu, Hakim Agung Syaifuddin Kartasasmita ditembak hingga tewas saat berkendara menuju kantornya.

 

Tahun 2005, seorang hakim ditusuk di ruang sidang di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo. Pada 23 Desember 2008, oknum jaksa menyerang hakim di PN Poso Sulteng sesaat setelah hakim membebaskan terdakwa. Untuk itu, kalangan hakim melalui organisasinya, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mendorong kembali pentingnya UU Contempt of Court.    

 

Ketua IKAHI cabang Mahkamah Agung (MA), Syamsul Maarif mengapresiasi pembentuk UU yang telah memasukkan pidana contempt of court dalam RUU KUHP, sekalipun masih berskala sangat singkat. "Tapi, pengundangan UU Contempt of Court prioritas utama demi terwujudnya kekuasaan kehakiman yang mandiri dan tegaknya negara hukum," kata Syamsul dalam Seminar Nasional Contempt of Court di Ballroom Holiday Inn Kemayoran, Jakarta, Kamis (2/8/2019) kemarin.

 

Dia mengungkapkan fakta tindakan contempt of court terhadap pengadilan, seperti penyerangan pada hakim/aparatur pengadilan dan pengrusakan gedung pengadilan sudah sejak lama terjadi. Terakhir, pada 18 Juli lalu di PN Jakarta Pusat diman oknum advokat menganiaya hakim dengan sabuk saat membacakan putusan perkara perdata dalam sidang terbuka.

 

“Peristiwa tersebut menjadi bukti adanya ancaman terhadap eksistensi badan peradilan. Ancaman itu tidak akan berkurang jika tidak segera dicegah melalui penegakan hukum yang efektif (dengan UU Contempt of Court),” kata Syamsul. Baca Juga: PERADI Masih Periksa Advokat yang Aniaya Hakim

 

“Jangan biarkan aparatur pengadilan bekerja tanpa jaminan perlindungan yang cukup dan jangan terlalu lama dibiarkan pihak yang kalah tidak taat melaksanakan putusan pengadilan!"

 

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua MA bidang Non Yudisial Sunarto mengingatkan pengaturan contempt of court dalam UU khusus merupakan amanat UU No. 14 tahun 1985 tentang MA. UU MA itu telah mengisyaratkan perlunya disusun UU khusus yang mengatur tentang ancaman hukuman dan pemidanaan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap atau ucapan yang dapat merendahkan kehormatan badan peradilan.

 

Dia mengakui contempt of court di Indonesia memang telah diatur dalam beberapa pasal dalam KUHP yakni Pasal 207, 209, 210, 211, 212, 2016, 217, 224, 522 KUHP. Namun, implementasinya belum berjalan optimal karena pasal-pasal ini belum banyak dipergunakan oleh hakim.

 

Sunarto menjelaskan contempt of court juga hanya diatur melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua MA dan Menteri Kehakiman tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum. "Tetapi, ini tidak sesuai yang diharapkan karena tidak dituangkan dalam bentuk UU. SKB ini hanya mengatur contempt of court yang dilakukan penasehat hukum saja, belum mengatur bagaimana contempt of court dilakukan hakim sendiri," kata Sunarto.

 

Lebih lanjut, Sunarto menjelaskan MA sudah melakukan penelitian tentang contempt of court dan ditindaklanjuti dengan penyusunan naskah akademis RUU tersebut. Tetapi sampai saat ini belum ada tindak lanjut dari DPR ataupun pemerintah mengenai naskah akademis tersebut. "Jadi, belum ada definisi yang dapat diterima umum, apakah sebenarnya yang menjadi patokan delik dapat dimasukkan dalam kategori contempt of court?”

 

Harus refleksi

Mantan Ketua MA Prof Bagir Manan mengatakan para pemangku kepentingan mesti berupaya bagaimana caranya agar UU Contempt of Court bisa disahkan dan diwujudkan. Menurutnya, keberadaan UU Contempt of Court sangat prinsipil. Namun, di sisi lain, lembaga peradilan pun harus melakukan refleksi.    

 

“Pelecehan itu bukan sebagai sebab, tapi semata-mata sebagai akibat (effect). Karena pengadilan dinilai tidak menjadi tempat menerapkan hukum secara tepat dan benar,” kata Bagir mengingatkan.  

 

Misalnya, sejumlah hakim dan pejabat yang diadili dan dihukum karena menerima suap; sejumlah tunggakkan; perkara diputus tidak sesuai asas sedeharna dan cepat; pencari keadilan harus menunggu sangat lama eksekusi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; putusan yang menimbulkan reaksi publik yang luas karena dianggap salah dalam penerapan hukum; putusn yang hanya semata-mata menerapkan bunyi teks-teks hukum, bukan kandungan keadilan dan etika.

 

Menurut Bagir, upaya penguatan kepercayaan publik terhadap pengadilan akan mendorong kehendak publik untuk menjaga dan melindungi kehormatan pengadilan dan hakim dari segala bentuk pelecehan atau penyerangan. “Kehadiran ketentuan contempt of court hanyalah sarana. Tanpa kehendak dan tekad kuat dari pengadilan untuk menjaga kehormatannya, ketentuan contempt of court tidak dapat mencegah pelecehan terhadap pengadilan dan hakim.”

 

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Harkristuti Harkrisnowo mengatakan pengaturan contempt of court untuk melindungi dan menjaga penyelenggaraan peradilan yang baik, menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan, menegakkan perintah pengadian. Dia mengakui aturan contempt of court dalam KUHP jarang sekali diterapkan oleh hakim atau pengadilan.

 

“Mungkin karena hukum acaranya (KUHAP) belum ada. Di negara lain hakim dapat memerintahkan pelaku contempt of court dikenakan sanksi/hukuman,” ujar wanita yang akrab disapa Prof Tuti ini.

 

Dia menerangkan perumusan contempt of court dalam RUU KUHP tertuang dalam BAB Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan. Bab ini kemudian dirinci dalam Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan; Menghalang-halangi Proses Peradilan; Perusakkan Gedung, Ruang Sidang dan Alat Perlengkapan Sidang Pengadilan serta Perlindungan Pelaporan Saksi dan Korban.

 

“Karena itu, jika ingin mengesahkan UU Contempt Of Court diperlukan kesesuaian dengan RUU KUHP yang juga mengatur mengenai hal itu. Jangan sampai aturan yang terkandung diantara kedua RUU itu beda tipis (sama persis, red),” tegasnya.

 

Anggota DPR Komisi III DPR Muhammad Nasir Jamil mendukung perlunya UU Contempt Of Court untuk melindungi lembaga peradilan. Ia berjanji segera memasukkannya UU Contempt Of Court ini di masa penghujung periode jabatan DPR periode 2014-2019. “Sebab, hal ini bukan hanya menjaga peradilan tapi juga demi menjaga Indonesia,” katanya.

Tags:

Berita Terkait