Pentingnya Reformasi Parpol untuk Benahi Sistem Demokrasi
Utama

Pentingnya Reformasi Parpol untuk Benahi Sistem Demokrasi

UU Pemilu dan UU Partai Politik memiliki kelemahan yang menyebabkan partai politik korup, melanggengkan oligariki politik, menguatnya elitisme, dan biaya politik mahal.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Partai politik berperan penting dalam sistem demokrasi. Konsideran UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diperbarui melalui UU No.2 Tahun 2011 menjelaskan parpol merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab.

 

Peneliti Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menilai regulasi yang berkaitan dengan partai politik seperti UU Parpol dan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum belum sempurna. Perempuan yang disapa Nisa itu menyebut kelemahan yang ada dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu menyebabkan institusi partai politik korup, melanggengkan oligarki politik, memperkuat elitisme, dan membuat biaya politik mahal.

 

Hal tersebut membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik relatif rendah. Berbagai persoalan yang ada antara lain absennya metode rekrutmen calon yang transparan dan demokratis dalam setiap pilkada dan pemilu.

 

Selain itu, belum ada aturan yang mewajibkan pelaporan keuangan partai politik akuntabel dan berkala; audit keuangan tidak memadai; dan syarat membentuk partai politik sangat berat dan mahal. Belum lagi, masalah pendanaan partai politik menimbulkan politik transaksional dalam merekrut calon yang ingin maju dalam perhelatan pilkada dan pemilu. Misalnya calon menyetor kepada partai politik untuk mendapat daerah pemilihan (dapil) dan nomor urut yang sesuai harapan.

 

Syarat pembentukan partai politik juga berat dan sulit, sehingga memperkecil peluang bagi partai politik yang modalnya minim. “Pemilu kita mahal sejak proses awal pembentukan partai politik. Hanya partai politik yang bermodal besar saja yang bisa memenuhi berbagai syarat itu,” kata Nisa dalam diskusi di Jakarta, Selasa (15/10/2019). Baca Juga: Baca Juga: Catatan Kritis Sektor Hukum Pemerintahan Jokowi Jilid II  

 

Mahalnya biaya politik itu, menurut Nisa membuka peluang kepentingan pebisnis untuk masuk dan mendanai calon yang bersangkutan. Ketika calon itu terpilih, kepentingan pebisnis berpotensi menyetir norma-norma dalam UU. Karena itu, partai politik harus direformasi dengan cara merevisi UU Partai Politik. Ada sejumlah hal yang perlu disasar dalam revisi itu antara lain mengubah syarat pembentukan dan kepesertaan pemilu partai politik dengan prinsip proporsional.

 

Nisa melihat persyaratan pembentukan partai politik sangat berat mulai dari memiliki kantor dan pengurus di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan. Ketentuan ini harus diubah secara proporsional, sehingga partai politik boleh dibentuk dan jika mampu bisa ikut pemilu nasional atau hanya di tingkat kabupaten/kota tertentu saja.

 

Kemudian demokratisasi dalam rekrutmen kandidat pemilu legislatif, presiden dan wakil presiden serta kepala daerah. Revisi UU Partai Politik menurut Nisa harus memuat metode rekrutmen kandidat (di internal parpol) yang akan diusulkan untuk maju dalam pemilu dan pilkada. Adanya ketentuan ini memaksa partai politik melakukan rekrutmen secara demokratis. Transparansi keuangan partai politik juga sebagai syarat kepesertaan pemilu. Transparansi ini penting untuk mencegah korupsi mengingat tujuan partai politik adalah mendapatkan kekuasaan melalui pemilu.

 

Ketua YLBHI Asfinawati mengingatkan demokrasi yang dibangun tidak sekedar di bidang politik, tapi juga ekonomi. Tapi tidak mudah untuk meyakinkan anggota legislatif dan pemerintah untuk menerbitkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat.

 

Konsolidasi kelompok oligariki, menurut Asfin selama ini semakin kuat. Hal ini terbukti dari revisi UU KPK yang mendapat persetujuan seluruh partai politik di DPR. Begitu juga dengan pemilihan pimpinan KPK. Padahal, masyarakat menolak RUU itu dan ditunjukan melalui demonstrasi di berbagai daerah.

 

“Sekarang tidak ada lagi partai politik yang menjadi oposisi pemerintah karena mereka sudah terkonsolidasi,” ungkap Asfin.

 

Penegakan hukum pemilu

Peneliti Kode Inisiatif Ihsan Maulana melihat penegakan hukum Pemilu 2019 tidak konsisten. Penegakan hukum pemilu yang dilakukan antar lembaga tidak sinkron, misalnya putusan MA bertentangan dengan putusan MK dalam kasus ketua umum partai Hanura. Bawaslu juga tidak memberikan putusan yang kuat untuk memastikan keadilan pemilu.

 

“Jika persoalan ini tidak dibenahi, maka Pemilu Serentak 2024 nanti masalahnya akan sama,” ujarnya.

 

Guna membenahi penegakan hukum pemilu, Ihsan mengusulkan agar dibangun sistem data penegakan hukum pemilu dan mendorong perbaikan regulasi yang berkaitan dengan hukum pemilu. “Reformasi penegakan hukum pemilu agar saling terintegrasi dan berintegritas.”

Tags:

Berita Terkait