Pentingnya Peran Kuasa Hukum dalam Perkara PKPU dan Pailit
Utama

Pentingnya Peran Kuasa Hukum dalam Perkara PKPU dan Pailit

Permohonan PKPU dan pailit harus diajukan oleh advokat atau kuasa hukum.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Restrukturisasi utang yang dilakukan lewat mekanisme Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menjadi pilihan banyak pelaku usaha di kala pandemi Covid-19. Dampak pandemi yang merusak ekonomi hampir seluruh negara di dunia membuat pelaku usaha mengalami kesulitan secara finansial, bahkan tak sedikit yang terpaksa gulung tikar alias bangkrut.

Menurut Managing Partner Siregar Setiawan Manalu Partnership, Nien Rafles Siregar, jika dilihat secara statistik perkara PKPU dan pailit yang masuk ke lima Pengadilan Niaga di seluruh Indonesia, terjadi peningkatan yang cukup drastis selama pandemi atau sejak tahun 2020 lalu. Peningkatan perkara PKPU dan pailit di tahun 2020 adalah sebesar 50 persen, dan tren peningkatan perkara PKPU dan pailit masih terus terjadi hingga maret 2021.

Nien memprediksi tren perkara PKPU dan pailit tidak akan mengalami perubahan hingga akhir tahun, bahkan peningkatan perkara akan mencapai 100 persen. “Kalau tren tidak berubah artinya pendaftaran perkara tetap terjadi sampai akhir tahun maka diprediksi akan terjadi peningkatan sebesar 100 persen dibanding 2020, sangat signifikan peningkatan perkara PKPU dan pailit di masa pandemi,” kata Nien dalam Bincang-Bincang Premium Stories “Kenali Berbagai kasus Kepailitan di Masa Pandemi”, Kamis (18/3).

Namun menariknya, perkara kepailitan mengalami penurunan sejak tahun 2019 termasuk di masa pandemi. Di sisi lain, perkara PKPU mengalami peningkatan secara drastis. Hal ini, lanjut Nien, membuktikan bahwa kreditur maupun debitur memilih proses PKPU dibanding langsung ke perkara pailit meskipun PKPU juga memiliki risiko terjadinya pailit.

“Artinya debitur dan kreditur lebih memilih upaya berorientasi perdamaian dan restrukturisasi ketimbang langsung likuidasi. PKPU lebih diminati dibanding kepailitan. Asumsinya stakeholder menginginkan restrukturisasi dibanding insolvensi,” tambahnya. (Baca: Yuk, Simak Perbedaan antara PKPU dan Pailit)

Dia melanjutkan, PKPU menjadi jalan bagi kedua pihak lewat pengadilan, dimana reskturkturisasi utang bisa dilakukan secara sekaligus kepada seluruh kreditur. Dan saat proses PKPU berhasil, maka semua pihak dapat memanfaatkan restrukturisasi dan debitur bisa fokus dalam menjalankan bisnis.

Dalam prosesnya, permohonan PKPU dan pailit dapat dilakukan oleh kedua belah pihak baik kreditur maupun debitur. Hanya saja, pendaftaran PKPU dan pailit harus dilakukan oleh seorang advokat atau kuasa hukum. Untuk pengajuan pailit diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) yang berbunyi: “Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan oleh seorang advokat.”

Sementara PKPU, diatur dalam Pasal 224 ayat (1), dimana permohonan PKPU harus diajukan kepada Pengadilan Niaga dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya.

“Penasehat hukum atau kuasa hukum dalam PKPU dan pailit sangat penting, selain diwajibkan menggunakan kuasa hukum dalam beberapa tindakan terkait PKPU dan pailit karena debitur dan kreditur tidak bisa mengajukan permohonan PKPU dan pailit, juga dikarenakan jangka waktu yang pendek. Dan tidak semua kreditur atau debitur memahami itu dan tentunya akan merugikan karena tidak cukupnya advice yang spesifik,” jelasnya.

Di samping itu, kata Nien, kuasa hukum adalah pihak yang mengerti bagaimana cara membuat draft permohonan PKPU, membuktikan utang secara sederhana, dan memberikan advice kepada debitur dan kreditur. Dalam hal ini pula, advokat dituntut untuk mempertimbangkan perspektif komersial, bukan hanya sekedar legal perspektif.

“Karena kuasa hukum tidak hanya mempertimbangkan legal perspektif, tapi juga komersial perspektif. Apakah cara yang dipilih dapat mengoptimalkan recovery dan cukup memberi nafas bagi debitur untuk beroperasi lagi dengan normal atau tidak. Kuasa hukum harus mengerti sisi komrersial terbaik dari sisi kreditur dan debitur,” tegasnya.

Kemudian kuasa hukum memiliki tantangan tersendiri saat membantu klien mengajukan permohonan PKPU maupun pailit ke Pengadilan Niaga. Dalam situasi ini, Nien menilai masing-masing pihak harus berupaya memahami keadaan. Pasalnya kesulitan yang terjadi tidka hanya dialami oleh debitur saja, namun debitur pun mengalami hal yang sama. Hal ini perlu dilakukan guna mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak.

“Menurut saya pasti ada tantangan tersendiri saat melakukan restrukturisasi di masa pandemi. Masing-masing pihak harus lebih beruoaya memahami masing-masing keadaan karena ini saat-saat yang sulit baik dari sisi debitur maupun kreditur. Termasuk perbankan, karena tingkat NPL meningkat. Tapi saya lihat upaya ini secara kesleuruhan adalah komunikasi, dan ada kebijakan dari pemerintah yang mendorong terjadinya relaksasi atau restrukturisasi baik yang menguntungkan debitur maupun kreditur,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait