Miko mengkritik ketentuan yang diatur dalam UU No.1 Tahun 1946. Menurutnya, ketentuan tersebut sangat longgar karena tidak memuat unsur kesengajaan. Akibatnya bisa berdampak buruk terhadap kebebasan berekspresi. Selaras itu yang penting dilakukan aparat yakni menyeimbangkan upaya penegakan hukum yang dilakukan dengan kebebasan berekspresi.
Miko menjelaskan delik yang diatur pasal 14 dan 15 UU No.1 Tahun 1946 sifatnya formil yakni harus ada akibatnya. Polisi bisa memproses kasus ini tanpa adanya laporan dari masyarakat. “Tapi penting untuk dicatat, delik ini bermasalah karena bisa menjerat banyak kalangan termasuk jurnalis,” ujarnya.
Tak ketinggalan Miko mengkritik upaya paksa yang dilakukan kepolisian dalam menangani kasus ini. Miko mencatat, setidaknya aparat melakukan sejumlah upaya paksa seperti penggeledahan di RS, mengambil buku register, rekaman CCTV, dan membuka rekening untuk melihat data transaksi. Menurutnya upaya paksa ini tidak dapat dilakukan dalam proses penyelidikan. “Ini artinya peristiwa pidana belum ditemukan tapi upaya paksa sudah dilakukan,” tukasnya.
Sampai berita ini dibuat upaya untuk menghubungi Ratna melalui telepon dan pesan singkat tak berbuah hasil. Begitu pula dengan Ketua Dewan Pembina Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) Habiburokhman. “WA aja,” ujar politisi partai Gerindra itu melalui pesan singkat. Namun, pertanyaan lanjutan Hukumonline, tak dijawabnya.