Pentingnya Pemahaman Pergeseran Nilai Pemidanaan dalam KUHP Baru
Terbaru

Pentingnya Pemahaman Pergeseran Nilai Pemidanaan dalam KUHP Baru

Ke depan, penegak hukum dapat menerapkan alternatif pemidanaan sebagai upaya mengurangi angka pemenjaraan, orientasi pemidanaan Indonesia juga sudah bergeser bukan lagi pembalasan dan penjeraan tetapi pada rehabilitatif, pemulihan atau restoratif.

RED
Bacaan 2 Menit
Webinar internasional yang bertemakan Penerapan Sanksi Alternatif: Diskusi antara Indonesia dan Belanda yang digelar ASPERHUPIKI bersama CILC. Foto: Istimewa
Webinar internasional yang bertemakan Penerapan Sanksi Alternatif: Diskusi antara Indonesia dan Belanda yang digelar ASPERHUPIKI bersama CILC. Foto: Istimewa

Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI) bekerja sama dengan Center for International Legal Cooperation (CILC) dan Peer to Peer for Justice: Indonesia – Netherlands Legal Network mengadakan webinar internasional yang bertemakan “Penerapan Sanksi Alternatif: Diskusi antara Indonesia dan Belanda,” Kamis (14/12).

Diskusi ini dihadiri sejumlah narasumber baik dari Belanda maupun Indonesia. Narasumber dari Belanda yang hadir antara lain, Linda Biesot (Reclassering Belanda), Raymond Swennenhuis (Reclassering Belanda), Ferry V. Aagten (Reclassering Belanda), Monique Vinkesteijn (Jaksa-Kejaksaan Belanda).

Ketua Umum Pengurus Pusat ASPERHUPIKI Fachrizal Afandi mengatakan, disahkannya UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP Baru) ini diharapkan dapat memberikan warna baru dalam dunia hukum pidana Indonesia. Salah satu substansi yang terdapat pada KUHP Baru adanya penerapan alternatif pemidanaan sebagai upaya mengurangi angka pemenjaraan.

Untuk itu, lanjut Fachrizal, orientasi pemidanaan Indonesia juga sudah bergesar, yakni bukan lagi pembalasan atau penjeraan, tetapi lebih kepada rehabilitatif, pemulihan atau restoratif. “Alternatif pemidanaan ini jarang sekali ditemukan dalam pemidanaan orang dewasa. Harapannya ke depan, aparat penegak hukum akan menerapkan alternatif pemidanaan ini,” katanya dalam siaran pers yang diterima Hukumonline, Sabtu (16/12).

Baca juga:

Belajar dari Sistem Peradilan Pidana di Belanda, maka perlu pemahaman dan kerja sama yang baik antara lembaga penegak hukum dan pengadilan untuk memaksimalkan penerapan alternatif pemidanaan dalam KUHP baru di Indonesia. Selain itu para pengajar hukum pidana juga harus memberikan penekanan pasa para mahasiswanya terkait pergeseran nilai pemidanaan dalam KUHP Baru yang tidak lagi bertumpu pada pemenjaraan.

Hal senada juga diutarakan Dirketur CILC Anne Marie. Menurutnya, tema dalam webinar kali ini sejalan dengan program penguatan prinsip negara hukum di Indonesia khususnya dalam sistem peradilan pidana yang sudah lama dikerjakan oleh CILC dan kedutaan Belanda.

Dia berharap bahwa webinar ini akan bermanfaat bagi para stakeholders di Indonesia khususnya akademisi, hakim, jaksa, polisi dan pembimbing kemasyarakatan untuk memaksimalkan norma alternatif pemidanaan dalam KUHP Baru. “Hal ini dalam rangka mengurangi angka overcrowding di penjara Indonesia,” kata Anne.

Pengajar hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang juga Anggota ASPERHUPIKI, Nathalina Naibaho mengatakan, terdapat dua alternatif pemidanaan yang digunakan dalam KUHP Baru, yaitu pengawasan dan pidana kerja sosial serta denda. “Dengan demikian pemenjaraan dengan waktu singkat sudah mulai dihapuskan,” katanya.

Perwakilan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Nasiruddin mengatakan, lembaga pemasyarakatan (lapas) maupun rumah tahanan (rutan) di Indonesia sudah melebihi kapasitas (overcrowding) seperti halnya sering diutarakan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. “Secara total di seluruh Indonesia jumlah narapidana mencapai 267 ribuan, sementara kapasitas lapas dan rutan hanya 130 ribu (narapidana, red). Artinya terjadi overcrowded hingga 94,96% atau dua kali lipat secara nasional,” katanya.

Tags:

Berita Terkait