Pentingnya Pelaku Usaha Pahami Hukum Perlindungan Konsumen E-Commerce
Utama

Pentingnya Pelaku Usaha Pahami Hukum Perlindungan Konsumen E-Commerce

Terdapat sejumlah aturan yang relevan mengenai perlindungan konsumen e-commerce. Terdapat kewajiban-kewajiban pelaku usaha yang harus dipatuhi untuk menghindari risiko sengketa dengan konsumen.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Webinar HUT ke-20 Hukumonline dengan tema Perlindungan Konsumen dalam Era Bisnis Digital, Rabu (15/7). Foto: RES
Webinar HUT ke-20 Hukumonline dengan tema Perlindungan Konsumen dalam Era Bisnis Digital, Rabu (15/7). Foto: RES

Perdagangan elektronik atau online (e-commerce) memiliki perbedaan dari sisi hukum perlindungan konsumen dibandingkan konvensional atau offline. Terdapat berbagai aspek hukum yang umumnya tidak terdapat pada perdagangan konvensional tapi dimiliki e-commerce. Misalnya, pengaturan mengenai perlindungan data pribadi hingga metode pembayaran secara elektronik. Hal ini tentunya tidak lepas dari karakter transaksi e-commerce yang dapat berlangsung tanpa tatap muka antara konsumen dan penjual.

Atas kondisi tersebut, Partner dan Co-Head Antitrust & Competition AHP Law Firm, Farid Fauzi Nasution, menyampaikan penting bagi pelaku usaha dalam industri e-commerce  memahami aspek-aspek hukum sehubungan perlindungan konsumen e-commerce. Perlindungan konsumen tersebut bukan hanya memenuhi hak-hak konsumen namun juga memberi kepercayaan masyarakat saat bertransaksi melalui e-commerce tersebut.

“Korporat harus aware hak-hak konsumen untuk memitigasi risiko sengketa dengan konsumen. Hak-hak konsumen dilindungi undang-undang (UU) sehingga harus dihormati dan mitigasi resiko tidak perlu,” kata Farid dalam webinar “Perlindungan Konsumen dalam Era Bisnis Digital”, Rabu (15/7).

Dalam kesempatan tersebut, Farid menjelaskan payung hukum perlindungan konsumen mengacu pada UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UU 8/1999 mengatur secara umum mengenai perlindungan konsumen pada perdagangan konvensional dan e-commerce. Namun, pelaku usaha juga harus melihat peraturan lainnya sehubungan e-commerce.

Peraturan-peraturan lainnya sehubungan e-commerce antara lain UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU 7/2014 tentang Perdagangan. Selain itu, terdapat juga peraturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE), PP 80/2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika 20/2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik.

Dia juga merinci kewajiban-kewajiban pelaku usaha e-commerce antara lain beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa, memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. (Baca: Melihat Risiko Pelanggaran Persaingan Usaha di Sektor E-Commerce)

Kemudian, pelaku usaha juga wajib menjamin mutu barang dan jasa yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu yang berlaku, memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang dan jasa tertentu. Pelaku usaha juga wajib memberi kompensasi, ganti rugi dan penggantian atas kerugian akibat barang cacat atau barang yang tidak sesuai dengan perjanjian.

Senior Associate, Antitrust & Competition AHP Law Firm, Wisnu Wardhana, mengatakan pelaku usaha e-commerce juga dibatasi sejumlah larangan terkait produk seperti tidak memenuhi standar, tidak sesuai dengan pernyataan label, pengukuran, kualitas, komposisi, kemanjuran, deskripsi dan manfaat seperti yang dijanjikan atau diiklankan, tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau waktu penggunaan yang paling baik atas barang tersebut.

Pelaku usaha juga dilarang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label, tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak memberikan informasi yang lengkap dan benar atas produk yang cacat atau bekas.

Sehubungan dengan promosi, pelaku usaha juga dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan produk dan jasa secara tidak benar terutama dalam harga dan tarif, kegunaan produk, kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas produk, diskon dan hadiah yang ditawarkan dan bahaya penggunaan produk.

Tidak kalah penting, pelaku usaha juga harus memahami pembuatan klausula baku yang memuat aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Lalu pelaku usaha juga harus memahami aspek purna jual dan garansi. Wisnu menjelaskan pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu minimal 1 tahun, wajib menyediakan suku cadang dan fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. Pelaku usaha bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi apabila tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan fasilitas perbaikan dan tidak menenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Manager Public Policy  and Government Relations Indonesian E-Commerce Association (idEA), Rofi Uddarojat, mengatakan pemilik platform e-commerce berkomitmen untuk menjaga hak-hak konsumen tersebut. Dia mengatakan platform dapat mencabut iklan produk saat terbukti tidak sesuai dengan ketentuan seperti standar hingga barang palsu. “Platform bisa lakukan take down penjual barang palsu,” jelas Rofi.

Di sisi lain, dia juga meminta kepada konsumen untuk memahami bisnis e-commerce karena berbeda dibandingkan transaksi konvensional. Dia menjelaskan rantai penjualan e-commerce melibatkan berbagai pihak seperti perusahaan logistik. Sehingga, saat terjadi permasalahan pada produk seperti barang rusak dan tidak sampai kepada pembeli maka tidak dapat langsung menyalahkan penjual.

Sebagai bentuk tanggung jawab, Rofi menjelaskan platform menyediakan layanan pengaduan untuk menerima laporan konsumen. “Saat barang-barang tidak sampai siapa yang bertanggung jawab? Setiap pihak punya tanggung jawab masing-masing tidak hanya dibebankan platform. Tentu platform bertanggung jawab melayani pengaduan konsumen. Permasalahan bisa jadi terjadi antara penjual dan partner logistik,” jelas Rofi.

Tags:

Berita Terkait