Pentingnya Merawat Kebebasan Sipil
Utama

Pentingnya Merawat Kebebasan Sipil

Kebebasan sipil menjadi salah satu pokok persoalan yang terjadi pada setiap rezim pemerintahan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ketua Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Arief Tarunakarya Surowidjojo saat pidato pembukaan Konferensi Nasional Kebebasan Sipil 2023 dengan tema 25 Tahun Merawat Kebebasan, Rabu (27/7/2023). Foto: RES
Ketua Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Arief Tarunakarya Surowidjojo saat pidato pembukaan Konferensi Nasional Kebebasan Sipil 2023 dengan tema 25 Tahun Merawat Kebebasan, Rabu (27/7/2023). Foto: RES

Reformasi yang terjadi tahun 1998 membawa Indonesia menuju gerbang demokrasi. Termasuk kebebasan berpendapat dan berekspresi. Berbagai instrumen hukum diterbitkan untuk membenahi demokrasi seperti mengamandemen konstitusi, dan menerbitkan sejumlah aturan seperti UU.

Ketua Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Arief Tarunakarya Surowidjojo mengaku beruntung karena pernah merasakan 3 rezim pemerintahan. Mulai dari rezim orde lama, orde baru, dan setelah reformasi. Dari setiap rezim pemerintahan itu salah satu pokok persoalan terkait demokrasi dan HAM yang sering terjadi yakni mengenai kebebasan sipil.

Arief menceritakan pada masa orde lama dan orde baru ruang kebebasan sipil sangat terbatas. Sekalipun terbatas tapi kebebasan sipil kala itu bisa ditemukan melalui media, partisipasi partai politik, mahasiswa dan kalangan intelektual yang menyampaikan pendapat. Berbagai hal itu merupakan upaya merawat kebebasan sipil.

“Beruntung tahun 1998 ada kesempatan untuk menata kembali kebebasan sipil dan konstitusi,” katanya dalam pidato membuka Konferensi Nasional Kebebasan Sipil 2023 dengan tema ‘25 Tahun Merawat Kebebasan’, Rabu (27/7/2023).

Baca juga:

Arief mengingatkan untuk terus merawat kebebasan sipil. Karena ada keprihatinan terkait kebebasan sipil. Oleh karena itu perjuangan untuk merawat dan menjaga kebebasan sipil harus dilakukan secara berkelanjutan. Salah satu upaya yang dilakukan pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan STH Indonesia Jentera dalam merawat kebebasan sipil dengan menggelar konferensi nasional kebebasan sipil.

“Untuk berdiskusi dan merawat bagaimana kebebasan sipil ke depan, di mana memang tidak mudah untuk merawat itu,” ujarnya.

Direktur Eksekutif PSHK, Rizky Argama mengingatkan akhir tahun lalu PSHK telah meluncurkan laporan tentang ruang gerak masyarakat sipil (civil space). Laporan itu mengidentifikasi instrumen hukum yang mempersempit atau sebaliknya melindungi serta memperluas ruang gerak masyarakat sipil.

Kemudian ajang masyarakat sipil dalam rangka Presidensi Indonesia dalam ajang G20 yakni C20 memberi kesadaran bahwa upaya mendorong ruang gerak masyarakat sipil dan kebebasan sipil tak boleh berhenti hanya sebatas forum tingkat tinggi. Tapi harus terus berlanjut.

“Konferensi nasional ini diselenggarakan untuk mempertemukan gagasan dari kalangan masyarakat sipil dan pembuat kebijakan atas ancaman terhadap kebebasan sipil,” urai Rizky.

Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (PKHKS) Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM), Herlambang P Wiratraman menyebut banyak studi yang menjelaskan secara ilmiah merosotnya kebebasan sipil selaras dengan menurunnya kualitas demokrasi.

“Fenomena kemunduran demokrasi di Indonesia ada kecenderungan kekuasaan semakin otoriter,” paparnya.

Salah satu contoh kasus menyempitnya kebebasan sipil dialami warga yang mempertahankan lingkungannya dari ancaman kerusakan akibat tambang emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi, Budi Pego. Herlambang mengatakan ekspresi penolakan tambang yang dilakukan Budi Pego dan warga berujung kriminalisasi.

Budi Pego dituduh melakukan propaganda komunisme. Represi terhadap petani di Banyuwangi sudah terjadi berulang kali bahkan sejak era pemerintahan orde baru. Salah satu tuduhan yang digunakan untuk membungkam ekspresi itu yakni komunisme. Modus yang sama menurut Herlambang juga terjadi dalam kasus lain seperti pembredelan buku, pembubaran diskusi dan lainnya.

“Ini pembungkaman kebebasan sipil, stigmatisasi ini sebagai kemasan proseduralisme penegakan hukum,” ujarnya.

Deputi Direktur Eksekutif PSHK, Fajri Nursyamsi menambahkan, secara umum partisipasi publik dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan setelah 25 tahun reformasi sudah mengalami kemajuan, tapi ada juga tantangannya. Misalnya, ada jaminan konstitusional, pengembangan tata kelola dan kelembagaan, peningkatan variasi jalur partisipasi publik dan penganggaran aktivitas sosialisasi, musyawarah, atau dengar pendapat.

Berbagai UU terkait partisipasi publik menurut Fajri sifatnya semakin teknis. Seperti Pasal 96 UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur hak masyarakat untuk memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan dalam setiap tahap pembentukan peraturan perundang-undangan. Pemberian masukan itu dilakukan secara daring dan/atau luring.

“Tantangannya bagaimana agar berbagai peraturan itu dapat dilaksanakan oleh pembentuk peraturan sehingga mencapai hasil yang partisipatif,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait