Pentingnya Membentuk Manajemen Koalisi dalam Kabinet Presidensial
Utama

Pentingnya Membentuk Manajemen Koalisi dalam Kabinet Presidensial

Manajemen koalisi yang baik perlu didukung kepemimpinan presiden yang kuat.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Sejumlah narasumber dalam seminar bertajuk 'Mewujudkan Kabinet Presidensial Efektif' dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara VI di Hotel JS Luwansa Jakarta, Senin (2/9) malam. Foto: RES
Sejumlah narasumber dalam seminar bertajuk 'Mewujudkan Kabinet Presidensial Efektif' dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara VI di Hotel JS Luwansa Jakarta, Senin (2/9) malam. Foto: RES

Secara natural, posisi presiden dalam sistem presidensial dengan komposisi kekuatan politik di parlemen selalu membutuhkan afirmasi (pengakuan) dari parlemen (DPR). Karena itu, posisi presiden dalam sistem presidensil selalu memperhitungkan kekuatan politik, meskipun komposisi kekuatan politik di parlemen tidak menjamin stabilitas pemerintahan.

 

Pandangan ini disampaikan Hakim Konstitusi Prof Saldi Isra saat seminar bertajuk “Mewujudkan Kabinet Presidensial Efektif (Melalui UU Kementerian Negara)" dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara VI di Hotel JS Luwansa Jakarta, Senin (2/9/2019) malam. Selain Saldi, hadir narasumber lain yakni Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Prof Susi Dwi Harijanti; Pengajar Universitas Paramadina Djayadi Hanan; dan Dosen STH Indonesia Jentera Bivitri Susanti.   

 

Saldi menilai jika ingin menciptakan kabinet pemerintahan yang lebih stabil dan kuat, presiden perlu mendapat dukungan yang cukup memadai di parlemen dengan berkoalisi dengan beberapa partai politik (parpol) termasuk memposisikan dalam kabinetnya. Merujuk UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, diatur komposisi jumlah kementerian yang saat ini berjumlah 34 kementerian. Sesuai konstitusi, kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri merupakan kewenangan presiden (hak prerogatif).

 

“Ini salah satu karakteristik sistem presidensial. Namun, bagaimanapun presiden perlu kerja sama dan dukungan parpol lain di parlemen ketika ingin melaksanakan berbagai program dan kebijakannya,” kata Saldi.  

 

Meski begitu, Saldi mengakui secara teoritis koalisi parpol hanya dikenal dalam sistem parlementer, tapi koalisi parpol dalam sistem pemerintahan presidensial didorong karena ada kebutuhan dalam praktik penyelenggaraan negara. Selain itu, koalisi dalam sistem parlementer terbentuk sebelum pemerintahan terbentuk. Sedangkan, kalau sistem pemerintahan presidensial, koalisi sudah terbentuk dari hasil pemilu.

 

“Dalam sistem parlementer, pemilu itu hanya sekali yakni memilih anggota parlemen dan dalam parlementer tidak ada pemilu untuk memilih perdana menteri. Sedangkan, dalam sistem presidensial itu berbeda,” kata dia.

 

Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas ini dalam sistem presidensial, tidak ada jaminan kebijakan presiden tidak dikritisi oleh parlemen (DPR). Dalam praktiknya, parlemen akan sering mengkritisi kebijakan presiden. Karena itu, dia menyarankan dalam pembentukan koalisi diperlukan manajemen koalisi yang baik di parlemen. Jika tidak, seberapapun besarnya koalisi pendukung presiden di parlemen akan sulit mendorong efektivitas presiden dalam menjalankan kekuasaan legislatif (pembuatan UU).

 

“Jadi, menurut saya penting untuk membuat manajemen koalisi yang baik,” sarannya.

 

Dia mencontohkan saat ini dari 9 parpol, ada sekitar 6 parpol koalisi pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tapi, selama 6 parpol koalisi ini punya fraksi masing-masing, sulit untuk berbicara efektivitas dalam menjalankan agenda kebijakan pemerintah di parlemen. Berbeda jika parpol koalisi pendukung presiden bergabung dalam satu fraksi, hal itu akan jauh lebih baik.  

 

“Tidak perlu berpikir jumlah koalisinya 80 persen atau 70 persen. Tapi, manajemen internal koalisinya tidak bisa dilakukan dengan baik, maka akan sulit. Coba, ke depannya semua koalisi mendukung (membentuk) satu fraksi, mungkin cara kerja agenda presiden yang ada di parlemen akan berbeda (hasilnya),” katanya. Baca Juga: Saat Menteri Yasonna Bicara Haluan Negara di Hadapan Para Pakar HTHN

 

Kabinet dalam koalisi

Pengajar Universitas Paramadina Djayadi Hanan mengurai kekuatan kabinet dalam sistem presidensial dan parlementer. Misalnya, dalam sistem parlementer, ketika calon perdana menteri bergabung dengan pemerintah, itu fungsinya membentuk pemerintahan. Sedangkan dalam sistem presidensial, meskipun presidennya mendapat dukungan parpol minoritas di DPR, ia akan tetap bisa membentuk kabinet pemerintahan.

 

Namun, menurut dia, praktiknya di banyak negara, presiden tidak akan bisa menjalankan pemerintahan kalau tidak memiliki partai pendukung di lembaga legislatif (parlemen). Karena itu, sistem presidensial dalam kacamata politik, diartikan membangun persetujuan dengan partai politik (koalisi) sebagai strategi presiden untuk menjalankan roda pemerintahan.

 

Terkait kriteria menteri dalam pengisian kabinet, apakah sebaiknya lebih banyak nonpartisan atau orang parpol, menurutnya pilihan ini tergantung strategi yang dipakai presiden, tinggal presiden mau pilih yang mana. “Apakah orientasi banyak parpol di DPR jauh berbeda dengan program kebijakan presiden. Kalau tidak jauh, kemungkinan besar tidak sulit mengajak banyak parpol untuk masuk menjalankan pemerintahan,” kata dia 

 

“Kabinet presidensial yang efektif ialah kabinet yang berada dalam koalisi yang mampu menciptakan stabilitas ekonomi, kemajuan ekonomi dalam sisi pemerintahan yang damai serta bisa menggabungkan pencapaian tujuan berdasarkan prasyarat kerja sama konten politik antara presiden dengan parlemen,” tegasnya.

 

Hal terpenting dalam sistem presidensial yang menganut multipartai, menurut Djayadi ialah presidential leadership. “Kepemimpinan presiden itu sendiri, artinya proses pembuatan kebijakan itu ada di presiden sendiri (vertical cabinet), berbeda dengan sistem parlementer (horizontal cabinet). Intinya, leadership presiden menjadi kata kunci,” kata dia.

 

Sementara menurut Susi Dwi Harijanti, efektivitas pembentukan kabinet merupakan strategi presiden mensukseskan tujuan kebijakannya. Jadi, Presiden membentuk kabinet mesti disesuaikan dengan tujuan itu. Dia mengingatkan dalam melaksanakan strategi pembentukan kabinet biasanya dihadapkan pada prinsip statutory based dan degree based. Artinya, statutory based ialah ketika membuat kebijakan lebih condong pada UU. Sedangkan, degree based ialah ketika presiden mengimplementasikan kebijakannya membuat peraturan dalam lingkup cabang eksekutif.

 

”Saya akan mengingatkan, berbahaya jika penyelenggaraan negara atau penyelenggaraan pemerintahan sangat bergantung pada degree based. Karena degree based meminimalkan partisipasi masyarakat, disana tidak ada public control,” katanya.

Tags:

Berita Terkait