Pentingnya Memahami Makna Komunikasi Sans Prejudice
Kolom

Pentingnya Memahami Makna Komunikasi Sans Prejudice

Perbandingan Hukum Indonesia dan Hukum Inggris.

Bacaan 5 Menit
Kolase (ki-ka) Eri Hertiawan dan Kukuh Dwi Herlangga. Foto: Istimewa
Kolase (ki-ka) Eri Hertiawan dan Kukuh Dwi Herlangga. Foto: Istimewa

Dalam praktik hukum, sering kali dikenal istilah komunikasi “sans prejudice” atau “without prejudice”. Komunikasi “sans prejudice” atau “without prejudice” sendiri dapat diartikan bahwa komunikasi tersebut tidak akan berpengaruh dan/atau mengurangi hak-hak pihak yang berkomunikasi. Sebagai contoh, dalam konteks komunikasi untuk suatu upaya perdamaian, tawaran pembayaran oleh suatu pihak tidak dapat dijadikan pengakuan (admission of liability) bahwa pihak tersebut berkewajiban untuk membayarkan ganti kerugian.

Baik di Indonesia maupun di Inggris, komunikasi “sans prejudice” atau “without prejudice” merupakan suatu komunikasi untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan komunikasi. Pengadilan, majelis arbitrase atau badan/institusi yang mengadili suatu sengketa tidak dapat menggunakan dokumen-dokumen tersebut sebagai bukti dalam pertimbangannya ketika memutus sengketa tersebut.

Secara filosofis, perlindungan hukum terhadap komunikasi “sans prejudice” atau “without prejudice” diberikan kepada pihak-pihak yang bersengketa di mana pihak-pihak dimaksud harus dalam keadaan bebas untuk membuat kesepakatan perdamaian. Pengertian bebas di sini harus diartikan bahwa para pihak bebas untuk membuat kesepakatan perdamaian tanpa rasa takut, tanpa tekanan atau paksaan. Mereka harus dalam posisi yang bebas untuk berkomunikasi, memberikan informasi atau dokumen dan tidak perlu khawatir akan penawaran yang dikemukakan dalam rangka perdamaian tersebut pada akhirnya digunakan untuk melawan mereka apabila proses perdamaian tersebut gagal.

Baca juga:

Apabila perlindungan hukum tersebut tidak ada, perdamaian akan sangat sulit untuk dilakukan. Para pihak akan takut untuk mengajukan penawaran karena penawaran tersebut mungkin saja diartikan sebagai bukti, setidaknya sebagai suatu “pengakuan”, dalam proses penyelesaian sengketa selanjutnya. Karenanya, perlindungan hukum terhadap komunikasi “sans prejudice” dan “without prejudice” dibutuhkan untuk memfasilitasi perdamaian dan menghilangkan rasa takut atau kekhawatiran para pihak tersebut. 

Dalam konteks hukum di Indonesia, Pasal 130 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Pasal 154 Rbg bahkan mewajibkan hakim untuk mengupayakan suatu perdamaian. Dalam Pasal 35 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan juga secara jelas mengatur bahwa apabila mediasi di pengadilan gagal, maka pernyataan dan pengakuan yang diberikan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan dalam proses persidangan. Dengan demikian, ketentuan tersebut juga jelas mendukung dasar filosofis adanya perlindungan hukum terhadap komunikasi “sans prejudice” atau “without prejudice”.

Di Inggris, terdapat public policy dan juga pengaturan yang kurang lebih sama dengan Indonesia bahwa perdamaian harus diupayakan. Komunikasi “sans prejudice” atau “without prejudice” merupakan sesuatu yang dilindungi oleh hukum Inggris guna mendukung upaya perdamaian para pihak dimaksud.

Namun demikian, Penulis mencatat bahwa persyaratan perlindungan hukum atas suatu komunikasi “sans prejudice” atau “without prejudice” di Indonesia dan Inggris berbeda. Artikel ini akan mencoba membahas secara ringkas perbedaan tersebut agar dapat memberikan perbandingan atas perlindungan hukum komunikasi “sans prejudice” atau “without prejudice” di Indonesia dan di Inggris.

Di Indonesia

Komunikasi “sans prejudice” atau “without prejudice” akan dilindungi oleh hukum di Indonesia apabila komunikasi-komunikasi tersebut dibubuhi oleh “sans prejudice” serta dikirim dan diterima oleh advokat.

Berdasarkan Pasal 7 huruf (a) Kode Etik Advokat Indonesia, surat-surat yang dikirimkan oleh advokat kepada advokat lainnya dapat ditunjukkan kepada hakim, kecuali surat-surat tersebut dibubuhi kata “sans prejudice”. Karenanya, secara umum, komunikasi antar advokat yang dibubuhi kata “sans prejudice” tidak dapat diajukan sebagai bukti dan dilindungi oleh hukum.

Dalam praktiknya, Penulis berpandangan bahwa sudah banyak sekali pengadilan-pengadilan yang menolak dan/atau tidak menerima dokumen/surat antar advokat yang dibubuhi dengan “sans prejudice”. Bukti-bukti tersebut ditolak/tidak diterima hanya karena dokumen-dokumen tersebut dibubuhi dengan “sans prejudice”. Tidak ada pembahasan terhadap substansi dari dokumen-dokumen tersebut.

Terlepas dari hal di atas, Penulis juga masih menemukan beberapa putusan pengadilan yang masih mempertimbangkan bukti “sans prejudice” di dalam putusannya, antara lain adalah putusan-putusan sebagai berikut:

  1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 995 K/Pdt.Sus/2010 tertanggal 23 Desember 2010; dan
  2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 476/Pdt.Sus/2009 tertanggal 3 Maret 2010.

Penulis tidak menemukan adanya pembahasan khusus terhadap penggunaan bukti yang dibubuhi dengan “sans prejudice” dalam putusan-putusan di atas. Namun demikian, Mahkamah Agung menyatakan bahwa putusan judex facti yang menggunakan dokumen “sans prejudice” dalam pertimbangannya sudah benar dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa pengaturan yang tersedia hanya dapat melindungi suatu komunikasi apabila suatu komunikasi tersebut dilakukan melalui surat-surat yang dikirimkan oleh advokat kepada advokat lainnya dan dibubuhi dengan tulisan “sans prejudice”. Namun, masih terdapat inkonsistensi dalam penerapan ketentuan Pasal 7 huruf (a) Kode Etik Advokat Indonesia tersebut.

Di Inggris

Berdasarkan penelusuran Penulis, hukum Inggris cenderung memaknai komunikasi “sans prejudice” atau “without prejudice lebih luas. Seluruh komunikasi yang menunjukkan adanya niat berdamai dalam suatu sengketa harus dan wajib untuk dilindungi (termasuk percakapan, pernyataan, pertemuan, surat-menyurat dan komunikasi-komunikasi lainnya). Suatu komunikasi tidak harus terlebih dahulu dibubuhi dengan “sans prejudice” atau “without prejudice” untuk dapat dilindungi berdasarkan hukum Inggris.

Secara umum, persyaratan perlindungan terhadap komunikasi “sans prejudice” atau “without prejudice” berdasarkan hukum Inggris adalah:

  1. Komunikasi tersebut dilakukan ketika sengketa sudah muncul;
  2. Terdapat niat untuk berdamai yang tercermin dalam komunikasi tersebut; dan
  3. Komunikasi tersebut tidak hanya menyampaikan fakta-fakta, kritik, ataupun posisi hukum para pihak yang bersengketa.

Berbeda dengan Indonesia, hukum Inggris lebih menitikberatkan substansi komunikasi daripada pembubuhan atau penggunaan label “sans prejudice” atau “without prejudice”. Hal ini sejalan dengan dasar filosofis adanya perlindungan terhadap komunikasi “sans prejudice” atau “without prejudice”, dimana niat perdamaian harus terlebih dahulu tercermin dalam komunikasi-komunikasi tersebut. Maka, pembubuhan dan/atau penggunaan label “sans prejudice” tidak serta merta memberikan perlindungan terhadap komunikasi dan/atau dokumen yang dibubuhi tersebut. Hal ini ditujukan agar tidak ada penyalahgunaan perlindungan hukum terhadap komunikasi “sans prejudice” atau “without prejudice.”

Saran dan Rekomendasi

Menurut Penulis, hukum di Indonesia harus tetap memperhatikan dan mengingat dasar filosofis akan adanya perlindungan hukum terhadap komunikasi “sans prejudice” atau “without prejudice”. Perlindungan hukum terhadap suatu komunikasi tidak bisa hanya diberikan kepada dokumen-dokumen yang sudah dibubuhi oleh “sans prejudice”. Harus terdapat pengaturan yang jelas yang memperluas makna perlindungan hukum terhadap komunikasi “sans prejudice”. Perluasan tersebut harus menitikberatkan substansi dari komunikasi yang akan dilindungi ketimbang sekadar adanya penggunaan label/pembubuhan “sans prejudice.

Hal di atas ditujukan agar seluruh komunikasi oleh setiap pihak yang benar-benar memiliki iktikad baik dan berniat untuk melakukan perdamaian mendapatkan perlindungan hukum yang pantas. Karenanya, komunikasi yang menunjukkan adanya niat berdamai haruslah dilindungi terlepas dari (i) terdapat atau tidak terdapatnya pembubuhan “sans prejudice”; (ii) bentuk komunikasi yang digunakan; dan (iii) peran advokat dalam komunikasi tersebut.

*)Eri Hertiawan adalah Advokat di Indonesia, Member pada SIAC Court of Arbitration, Arbiter terdaftar di SIAC, BANI dan LAPS SJK, serta Mediator pada PMN. Sedangkan Kukuh Dwi Herlangga adalah advokat di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait