Pentingnya Kesetaraan Pendidikan Agama dalam RUU Pesantren
Berita

Pentingnya Kesetaraan Pendidikan Agama dalam RUU Pesantren

Agar ada persamaan regulasi hingga anggaran antara sekolah keagamaan milik pemerintah dan swasta. Diusulkan hanya mengatur pendidikan keagamaan formal, bukan model seperti pendidikan nonformal di gereja-gereja di Indonesia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Suasana rapat dengar pendapat tentang RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan di Gedung DPD, Selasa (29/1). Foto: RFQ
Suasana rapat dengar pendapat tentang RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan di Gedung DPD, Selasa (29/1). Foto: RFQ

Kesetaraan dalam pendidikan agama perlu diatur sedemikian rupa agar tidak lagi terjadi dikotomi pendidikan keagamaan. Karenanya, pengaturan ini perlu dituangkan secara jelas dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Demikian intisari dalam rapat dengar pendapat antara DPD dengan sejumlah pemangku kepentingan di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (29/1/2019).

 

Wakil Ketua Komite III DPD Novita Anakotta mengatakan melalui RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan diharapkan bisa mengatasi adanya dikotomi antar pendidikan keagamaan. Karenanya RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan mesti mengakomodir kepentingan semua umat serta melakukan penghapusan diskriminasi antar pendidikan swasta dan negeri.

 

Bagi Novita, RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan berupaya menjawab kerisauan dunia pendidikan keagamaan yang terjadi selama ini. Sebab, UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dirasa implementasi pendidikan keagamaan yang dikelola pemerintah dan swasta masih menimbulkan persoalan diskriminasi.

 

“Meskipun UU Sisdiknas ini telah mengakomodir pendidikan keagamaan, namun kenyataannya masih banyak lembaga pendidikan keagamaan yang belum merasakan kehadiran pemerintah baik formal maupun nonformal,” kata dia. Baca Juga: DPD Minta RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Dikaji Mendalam

 

Senator asal Maluku ini menerangkan metode berbasis pendekatan keagamaan dapat memperbaiki akhlak manusia. Hal ini mampu menjaga kerukunan hubungan antar dan inter umat beragama. Menurutnya, melalui sistem tersebut anak didik dapat memahami nilai agama dan ilmu teknologi. “Sayangnya, RUU Pesantren ini belum ada pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR,” tuturnya.  

 

Padahal, kata dia, RUU Pesantren ini masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2019 dengan nomor urut 31 atas usul inisiatif DPR. Sementara di internal pemerintah, Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan pun belum ada pembahasan. Dia berharap RUU ini segera dibahas agar bisa rampung sebelum masa bhakti DPR periode 2014-2019.

 

Sementara Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementeian Agama, Ahmad Zayadi menilai keberadaan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan menjadi penting bagi pendidikan keagamaan agar ada kesetaraan dari aspek regulasi hingga anggarannya. Baginya, negara berkewajiban memberi pengakuan penuh terhadap pesantren dan pendidikan keagamaan dalam kaitannya menumbuhkan persatuan dan kesatuan bangsa, khususnya dalam menjaga kekhasan keagamaan di Indonesia. “Inilah tradisi kita yang perlu dirawat,” kata dia.

 

Menurutnya, RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan nantinya negara memiliki andil dan peran dalam upaya memajukan pendidikan pesantren dan pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah milik pemerintah ataupun swasta. Dengan begitu bakal terdapat kesetaraan pendidikan keagamaan di masing-masing lembaga pendidikan.

 

Potensi intervensi terhadap agama

Di tempat yang sama, Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Kristen Kementerian Agama, Thomas Pentury menilai RUU tersebut cenderung membirokrasikan pendidikan nonformal. Khususnya pendidikan yang diberikan gereja-gereja berupa pelayanan anak-anak dan remaja. Padahal praktk pelayanan bagi anak dan remaja oleh gereja telah berjalan sejak lama.

 

Thomas khawatir melalui RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan justru berpotensi menjadi bentuk model intervensi negara terhadap agama. Padahal, semestinya negara menjamin kebebasan agama untuk diatur warga negaranya. Begitu pula dengan pendidikan keagamaan sesuai dengan kurikulum di agama masing–masing.

 

Meski begitu, kata Thomas, prinsipnya gereja memberi dukungan terhadap keberadaan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Dengan catatan, hanya mengatur pendidikan keagamaan formal dan tidak mengatur model pelayanan pendidikan nonformal di gereja-gereja di Indonesia. Seperti, pelayanan kategorial anak dan remaja.

 

Dia pun mengusulkan agar dilakukan rekonstruksi ulang terhadap pendidikan keagamaan Kristen melalui jalur pendidikan formal yang semula Sekolah Dasar Teologi Kristen (SDTK), SMPTK, SMATK menjadi SD Kristen, SMPK, SMAK. Ia berharap agar RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dapat mengakomodir masukan dari berbagai kalangan semua agama.

 

Sebelumnya, anggota Komisi II dari Fraksi PPP Ahmad Baidowi mengatakan proses usulan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan terbilang panjang sejak 2013. Hingga akhirnya masuk daftar Prolegnas lima tahunan pada 2015. Meski demikian, pada 2016 dan 2017 tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas. Akhirnya RUU tersebut masuk dalam daftar  Prolegnas Prioritas 2018 menjadi inisiatif DPR.

 

“Fraksi PPP merupakan salah satu pengusul bersama dengan Fraksi PKB di DPR terhadap RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini,” kata Ahmad Baidowi.

 

Dia mengakui draf naskah akademik masih mengandung kekurangan. Pengusul pun siap melakukan kajian mendalam. Nantinya, ketika draf RUU ini sudah jadi, maka dapat disandingkan dengan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disusun pemerintah. “Kalau kemudian ini ada persoalan didalamnya, mari kita kaji kembali. Karena ini baru menjadi draf DPR,” ajaknya. 

Tags:

Berita Terkait