Pentingnya Kajian Finansial Sebelum Putuskan PKPU atau Pailit
Utama

Pentingnya Kajian Finansial Sebelum Putuskan PKPU atau Pailit

Permasalahan finansial bisa saja bersifat temporer atau permanen. Hal ini dapat mempengaruhi langkah hukum yang akan diambil oleh debitur maupun kreditur.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, PT Delta Merlin Dunia Textile, tengah mengalami situasi krisis keuangan. Anak usaha Duniatex Group ini tidak bisa membayar bunga obligasi yang jatuh tempo pada 10 Juli 2019. Padahal, Deta Merlin baru 4 bulan lalu menerbitkan obligasi senilai 300 juta dollar AS.

 

Standard and Poors (S&P) memangkas peringkat obligasi dolar bertenor lima tahun itu dari BB- menjadi CCC- (junk bond). Menurut lembaga pemeringkat global itu, perusahaan tekstil yang berkantor pusat di Solo ini menghadapi masalah likuiditas yang serius.

 

Selain itu, Fitch Ratings juga menurunkan peringkat kredit Delta Merlin Dunia Textile dari BB- menjadi B-. Fitch menyoroti tekanan pembiayaan kembali dan risiko likuiditas yang dihadapi perusahaan. Kasus gagal bayar ini juga berisiko membatasi akses perusahaan ke perbankan dan pasar modal. Pelemahan kinerja keuangan perusahaan disebabkan oleh dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang menahan permintaan tekstil.

 

Posisi gagal bayar utang seperti yang terjadi pada Delta Merlin bisa memicu dua risiko hukum, yakni Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Pailit. Dalam UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), PKPU dimungkinkan jika mempunyai utang yang sudah jatuh tempo lebih dari satu kreditor. Sementara pailit bisa diajukan jika debitur memiliki dua utang atau lebih yang sudah jatuh tempo.

 

Pasal 2:

  1. Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

 

Pasal 222:

  1. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor atau oleh Kreditor.

 

Kurator senior Ricardo Simanjuntak menilai jika debitur berada dalam masalah keuangan yang berat, jawabannya tidak selalu menuju satu posisi bangkrut. Ada hal yang harus diselidiki seperti mencari tahu penyebab debitur mengalami krisis finansial. Kajian finansial ini, menurut Ricardo, penting dilakukan untuk menganalisa apakah krisis yang dialami debitur bersifat temporer atau permanen.

 

(Baca: Lakukan Ini Agar Proposal Perdamaian Tak Ditolak Kreditor)

 

Hasil kajian finanasial tersebut nantinya akan menentukan langkah apa yang harus dilakukan debitur ataupun kreditur dalam menangani persoalan kegagalan pembayaran utang. Jika ternyata permasalahan finansial itu bersifat temporer maka akan membuka kesempatan debitur untuk merestrukturisasi utangnya.

 

“Sisi kejatuhan ini akan menjadi analisa apakah sifatnya temporer atau permanen. Kalau dia permanen seperti misalnya izin dicabut, atau misalnya produk ini dibatasi, atau produk dilarang masuk pada wilayah fokus pasarnya ini ‘kan membuat dia mengalami goncangan. Tapi jika sifatnya temporer maka ini akan membuka kesempatan debitur untuk merestruktur,” kata Ricardo kepada hukumonline, Kamis (25/7).

 

Dalam konteks ini, debitur harus menjadi pihak yang aktif untuk menjelaskan krisis temporer yang menimpa bisnisnya, sehingga kreditur berkenan memberikan kesempatan untuk merestruktur utangnya. Hal ini, lanjutnya, menjadi alternatif yang baik bagi debitur yang memang sudah tidak memiliki cara lain untuk membayar utangnya.

 

Di sisi lain, Ricardo mengingatkan bahwa restruktur utang tak harus melalui PKPU. Bisa saja restrukturisasi utang dilakukan di luar PKPU yang disepakati oleh debitur dan kreditur dan konsep ini biasa disebut konsesual. Hanya saja, posisi kesepakatan yang terjadi di luar pengadilan niaga lemah secara hukum, di mana pihak debitur tidak bisa membatasi gugatan yang masuk ke pengadilan sehingga membuat kesepakatan yang sudah dilakukan menjadi batal.

 

“Restruktur itu tidak harus melalui PKPU tapi juga bisa dilakukan di luar dari PKPU. Nah tapi kalau ini (restruktur di luar PKPU) sulit karena tidak bisa membatasi datangnya gugatan, permohonan, PKPU ataupun pailit. Maka baiknya dilakukan melalui pengadilan karena ketika PKPU, otomatis semua tagihan menjadi berhenti selama 270 hari. Inilah kelebihan PKPU untuk membangun kesempatan untuk merestruktur walaupun pada akhirnya ditentukan oleh majority,” tambahnya.

 

Sementara itu, kurator Jimmy Simanjuntak menyebut jika situasi gagal bayar yang dialami oleh debitur harus dikaji terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menyetujui PKPU atau pailit. Kreditur harus memastikan apakah debitur masih memiliki opportunity atau kesempatan untuk bisa melanjutkan usahanya.

 

Dalam hal ini, kreditur harus menghitung antara beban utang dengan kemampuan membayar debitur. Pasalnya, lanjut Jimmy, dalam kebanyakan kasus PKPU maupun kepailitan, mayoritas rasio equity atau aktiva tidak setara dibandingkan dengan jumlah utang. Rata-rata jumlah aset hanya 20 persen dari 100 persen rasio utang.

 

“Kalau kemampuan dalam arti aset itu jauh dari utang yang ada itu sangat merugikan kreditor sehigga alternatif keduanya adalah apakah opportunity untuk hidup atau going concern usaha tersebut masih bisa. Kalau masih bisa ya pikir pilihan yang lebih tepat bagaimana mengedepankan kelangsungan usaha itu,” kata Jimmy kepada hukumonline, Kamis (25/7).

 

Tags:

Berita Terkait