Pentingkah Kebijakan Penurunan PPh Rumah Mewah?
Berita

Pentingkah Kebijakan Penurunan PPh Rumah Mewah?

Kebijakan ini harus diimbangi dengan kebijakan lain seperti menurunkan suku bunga oleh Bank Indonesia.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Pemerintah memutuskan untuk memberikan insentif pajak kepada sektor apartemen/perumahan dan kendaraan sangat mewah. Penurunan dua objek pajak itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92/PMK.03/2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK No. 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli Atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.

 

Dalam beleid itu disebutkan bahwa insentif pajak yang diberikan untuk dua sektor ini berupa penururan Pajak Penghasilan (PPh) atas penjualan Pajak Penghasilan (PPh) atas penjualan rumah dan apartemen dengan harga di atas Rp30 miliar menjadi 1 persen, dan kendaraan bermotor dengan harga di atas Rp2 miliar menjadi 5 persen.

 

Meski bertujuan untuk mendorong pertumbuhan sektor properti dan otomotif, namun kebijakan ini dinilai kurang penting untuk diterapkan saat ini. Pengamat Ekonomi Indef Bima Yudhistira menilai jika insentif pajak ini akan menggerus rasio pajak. Bahkan di sisi lain, kebijakan ini dinilai tak efektif untuk meningkatkan pertumbuhan sektor properti di Indonesia.

 

“Kurang penting karena di sisi lain bisa menggerus rasio pajak karena jor-joran dikasih insentif. Dan lagi, enggak efektif karena variabel pajak hanyalah bagian kecil dari faktor yang menjadi pertimbangan membeli,” kata Bima kepada hukumonline, Kamis (27/6).

 

Menurut Bima, faktor utama yang menyebabkan lesunya sektor properti di Indonesia adalah kenaikan harga properti yang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Selain itu, harga bahan bangunan juga berpengaruh signifikan terhadap biaya pembagunan rumah.

 

Sehingga diperlukan instrument lain untuk memaksimalkan dampak dari kebijakan tersebut. salah satunya adalah dengan mengatur harga lahan agar tidak naik terlalu tinggi, serta menjamin harga bangunan tetap stabil.

 

(Baca: Pemerintah Turunkan PPh Rumah dan Mobil Mewah)

 

Begitu pula untuk sektor otomotif. Untuk meningkatkan geliat di sektor ini, pemerintah perlu memulihkan kepercayaan konsumen kelas atas. “Solusinya bukan insentif pajak. orang kaya menahan beli mobil mewah karena kondisi politik dan keamanan kurang stabil. Sehingga diperlukan peningkatan keamanan dan stabilitas politik,” imbuhnya.

 

Utamakan Basis Pajak

Pengamat Pajak, Yustinus Prastowo, memiliki pandangan lain terkait kebijakan ini. Menurutnya, pilihan yang diambil pemerintah untuk memberikan insentif pajak untuk rumah mewah dan mobil mewah tidak dapat serta merta dipandang secara negatif.

 

Kebijakan ini nantinya justru akan berdampak multiplier. Pertumbuhan sektor properti akan berimbas kepada naiknya permintaan atas perumahan/apartemen, banyaknya pengembang yang membangun properti, dan secara langsung juga akan berimbas kepada sektor tenaga kerja.

 

Jika hal tersebut terjadi, maka penerimaan dari sektor perpajakan juga akan mengalami kenaikan. Tapi satu hal yang ditekankan oleh Yustinus adalah kebijakan ini menyasar kepada basis pajak.

 

Menurut Yustinus, sasaran pemerintah pada kebijakan ini adalah masyarakat kelas atas. Selama ini, lanjut Yustinus, banyak masyarakat yang enggan membeli properti mewah karena kekhawatiran akan dikenai pajak.

 

Dengan dinaikkannya batas Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) dari yang sebelumnya Rp10 miliar menjadi Rp30 miliar atau lebih, dan diturunkannya PPh bagi harga rumah mewah di atas Rp30 miliar, maka diyakini hal tersebut akan memancing minat masyarakat kelas atas untuk membeli properti.

 

“Selama ini orang takut beli rumah mewah bukan terkendala uang, tapi karena takut datanya masuk ke pajak. Nah dengan cara ini maka masyarakat lebih tertarik untuk membeli properti. Dan untuk mendapatkan basis pajak tidak harus direct. Bisa saja secara indirect misalnya lewat data kredit yang dilakukan di perbankan, atau lewat balik nama, itu bisa digunakan pihak pajak untuk menambah basis pajak,” kata Yustinus.

 

Namun kendati demikian, Yustinus menilai bahwa dampak dua kebijakan di sektor pajak ini tak bisa langsung dirasakan dalam waktu singkat. Butuh waktu minimal satu tahun untuk merasakan dampaknya terutama untuk peningkatan penerimaan pajak. Namun, tetap membutuhkan instrumen kebijakan lain seperti menurunkan bunga kredit oleh Bank Indonesia.

 

“Ya setidaknya satu tahun baru bisa dirasakan efeknya,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait