Penting !!! Inilah Putusan-Putusan PHK Akibat Force Majeur
Fokus

Penting !!! Inilah Putusan-Putusan PHK Akibat Force Majeur

Lingkup force majeur sebagai dasar PHK berkembang dalam praktik. Tak semua hak pekerja dikabulkan.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja. Ilustrator: HGW
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja. Ilustrator: HGW

Dampak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah terasa. Larangan beroperasi selama PSBB telah membuat banyak perusahaan menutup gerai, dan imbasnya pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Suasana pandemi Covid-19 dan pembatasan sosial yang menyertainya bukanlah kondisi yang diinginkan oleh pekerja dan pengusaha sebagai pemberi kerja.

Pasal 164 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberi ruang bagi pengusaha untuk melakukan PHK terhadap karyawan karena perusahaan tutup akibat beberapa hal, salah satunya keadaan memaksa (force majeur). Masalahnya, tidak ada penjelasan sama sekali apa yang dimaksud keadaan memaksa dalam UU Ketenagakerjaan. Alhasil, penafsiran tentang keadaan memaksa itu banyak bergantung pada hakim di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Berdasarkan penelusuran hukumonline ada beberapa putusan pengadilan, baik tingkat PHI maupun tingkat Mahkamah Agung yang menyinggung argumentasi dan pertimbangan hakim mengenai force majeur. Salah satu yang sering dikabulkan hakim sebagai force majeur adalah kebakaran perusahaan.

(Baca juga: Guru Besar Ini Bicara PHK Alasan Force Majeur Dampak Covid-19).

Dalam salah satu putusan, majelis hakim malah menyatakan regulasi yang diterbitkan pemerintah yang menyebabkan perusahaan tak bisa mengekspor sebagai keadaan memaksa yang memungkinkan perusahaan mem-PHK karyawannya. Berikut adalah beberapa contoh putusan pengadilan yang relevan dan unsur-unsur yang dipertimbangan berdasarkan penelusuran hukumonline.

Kebijakan/Regulasi sebagai force majeur

Ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menerbitkan Permen ESDM No. 07 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral, perusahaan penghasil nikel tidak dapat lagi melakukan ekspor. Apalagi diperkuat dengan Surat Menteri Perdagangan No. 04/M-DAG/D/12/2013.

Salah satu perusahaan di Palu, Sulawesi Tengah, terimbas peraturan itu. Perusahaan terpaksa memutuskan hubungan kerja dengan karyawan. Perkara ini masuk ke PHI Palu. Dalam persidangan, perusahaan yang bertindak sebagai tergugat menyatakan bahwa doktrin force majeur sudah berkembang, tidak lagi semata terbatas pada bencana alam, huru hara, atau kebakaran. Kebijakan pemerintah yang membuat perusahaan tidak dapat beroperasi pun bisa disebut sebagai force majeur. Tergugat menunjuk terbitnya Permen ESDM dan Surat Menteri Perdagangan tadi. Dalam argumentasi di persidangan, perusahaan menyatakan seyogianya kebijakan tadi dipandang sebagai bagian dari force majeur karena menyebabkan perusahaan tidak bisa mengekspor nikel. Pandangan tergugat diperkuat pula keterangan ahli yang dihadirkan di persidangan. Ahli, seorang Guru Besar Ilmu Hukum, menegaskan: force majeur tidak hanya disebabkan oleh tindakan alam, tetapi juga karena adanya regulasi.

Apa kata hakim? Dalam putusan No. 14/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Pal, majelis hakim menyatakan begini: Menimbang bahwa dengan demikian majelis hakim berpendapat bahwa adalah berdasar hukum Tergugat melakukan PHK terhadap para penggugat dengan alasan mengalami force majeur.  Sebelumnya, majelis berkesimpulan bahwa akibat mengalami perubahan keadaan pada pekerjaan yang dilakukan, sedemikian rupa sifatnya sehingga layak dalam waktu pendek Tergugat melakukan PHK terhadap karyawannya sebagaimana dimaksud Pasal 1603v KUH Perdata. Prakarsa PHK dari Tergugat ‘mendapat restu’ majelis karena terbitnya kebijakan pemerintah tersebut, dan di persidangan ternyata para Penggugat menerima PHK. Hukumonline belum mendapatkan kepastian apakah perkara ini sudah berkekuatan hukum tetap atau belum.

Kebakaran sebagai force majeur

Beberapa putusan Mahkamah Agung memasukkan kebakaran sebagai alasan force majeur untuk mengizinkan perusahaan melakukan PHK. Sikap pengadilan ini dapat dilihat dalam satu kasus kebakaran hotel di Jambi yang dipisah dalam tiga perkara, yakni putusan No. 296K/Pdt.Sus-PHI/2019, putusan No. 411K/Pdt.Sus-PHI/2019, dan putusan No. 388K/Pdt.Sus-PHI/2019. Pengadilan konsisten membenarkan alasan untuk PHK karena force majeur, yakni kebakaran hotel.

(Baca juga: Menaker: PHK Langkah Terakhir Hadapi Dampak Covid-19).

Dalam putusan No. 296, majelis kasasi menegaskan: ‘PHK yang dilakukan Tergugat-1 terhadap para Penggugat adalah PHK karena perusahaan tutup yang disebabkan oleh keadaan memaksa (force majeur), yakni kebakaran”. Senada, dalam putusan No. 411, majelis kasasi mempertimbangkan begini: “Lokasi perusahaan/tempat kerja yang terbakar sehingga perusahaan tutup dan para pekerja tidak dapat bekerja, maka keadaan tersebut dikategorikan sebagai force majeur. Kemudian, dalam putusan No. 388, majelis hakim kasasi mempertimbangkan: “lokasi kerja/perusahaan tutup karena bencana (force majeur) dan mengakibatkan pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya, maka perusahaan dapat melakukan PHK dengan alasan keadaan memaksa dan terhadap pekerja tetap mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan”.

Argumentasi mengenai kebakaran juga dipakai majelis hakim dalam putusan kasasi No. 188/K/Pdt.Sus-PHI/2019. Terbakarnya usaha karaoke milik Tergugat di Manado, Sulawesi Utara, menjadi alasan yang dapat dibenarkan untuk melakukan PHK terhadap seorang manajer. Majelis hakim mempertimbangkan bahwa: “Perusahaan Tergugat tutup bukan atas kehendak Tergugat bukan atas kehendak Tergugat tetapi akibat adanya kejadian di luar kehendak/dugaan/kemampuan/control yang tidak dapat dielakkan oleh Tergugat (musibah kebakaran) yang berdampak menimbulkan kerugian besar bagi pihak Tergugat (force majeur).

Satu lagi putusan yang membenarkan PHK akibat kebakaran adalah putusan No. 378K/Pdt.Sus-PHI/2018. Ini berkaitan dengan kebakaran Aksara Plaza di Medan pada 2017 silam. Majelis kasasi membenarkan tindakan Tergugat mem-PHK karyawan karena ‘PHK disebabkan oleh keadaan memaksa (force majeur)’, yaitu terbakarnya toko milik Tergugat.

Dalam perkara lain, seorang pekerja WNA mempersoalkan dalil hakim PHI yang menyatakan bahwa ‘aktivitas perusahaan menurun dapat dijadikan suatu causa keadaan force majeur suatu usaha/perusahaan’. Protes pekerja atas pertimbangan hakim ini dapat dibaca dalam permohonan kasasi pekerja pada putusan No. 820K/Pdt.Sus-PHI/2017.

Gempa sebagai force majeur

Pada 28 September 2018 terjadi bencana alam berupa gempa disertai likuifaksi di Palu, Sulawesi Tengah. Bencana alam ini bukan saja memakan banyak korban jiwa dan harta, tetapi juga menyebabkan sejumlah perusahaan tutup. Salah satu kasusnya adalah PHK yang dilakukan suatu CV terhadap 9 orang pekerja, yang perkaranya hingga ke Mahkamah Agung. Pengadilan Hubungan Industrial Palu menyatakan bahwa hubungan para penggugat dan tergugat putus demi hukum sejak putusan dibacakan karena force majeur.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim kasasi membenarkan force majeur sebagai dasar PHK. Force majeur-nya adalah bencana alam Palu pada 28 September 2018 sehingga perusahaan Tergugat hancur lebur dan tidak dapat lagi melaksanakan aktivitasnya.

Pembayaran Hak Pekerja

Meskipun membenarkan PHK terhadap karyawan akibat force majeur, majelis hakim yang mengadili perkara-perkara tersebut tetap menegaskan bahwa perusahaan harus memenuhi kewajiban pekerja. Majelis hakim merujuk pada Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

Berdasarkan Pasal 164 ayat (1), dalam hal pekerja terkena PHK akibat force majeur, pekerja berhak mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Kalkulasi merujuk pada Pasal 156 UU Ketenagakerjaan. Putusan No. 388K/Pdt.Sus-PHI/2019 menegaskan bahwa terhadap ‘pekerja tetap mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan’.

Dalam putusan No. 296K/Pdt.Sus-PHI/2019, terungkap bahwa hakim tingkat pertama (PHI Jambi) menyatakan hak-hak karyawan sesuai Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dibayar ‘secara tunai dan sekaligus, yaitu uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak’.

Apakah hanya tiga jenis hak dalam Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang dapat dipenuhi? Tampaknya memang demikian. Dalam putusan No. 411K/Pdt.Sus-PHI/2019, majelis hakim menyinggung uang cuti dan THR. “Namun uang cuti dan uang THR tidak dapat dipenuhi karena uang cuti telah dibayarkan oleh Tergugat-1 dan Tergugat-2. Lagipula para Penggugat sudah tidak lagi efektif bekerja selama minimal 30 hari sebelum hari raya, sedangkan upah proses secara hukum tidak dapat dipenuhi karena perusahaan Tergugat tutup karena force majeur”.

Menarik juga pertimbangan hakim dalam kasus kebakaran karaoke di Manado, Sulawesi Utara. Menurut Mahkamah Agung ‘adil dan tepat untuk tidak membebani lagi Tergugat membayar upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh Penggugat selama proses PHK”.

Temukan/Nikmati Akses Tanpa Batas Koleksi Peraturan Perundang-undangan dan FAQ Terkait Covid-19 di sini.

Tags:

Berita Terkait