Pensiunan Penegak Hukum dan Militer Bisa Jadi Advokat Tanpa Magang?
Utama

Pensiunan Penegak Hukum dan Militer Bisa Jadi Advokat Tanpa Magang?

Salah satu syarat untuk diangkat sebagai advokat berdasarkan UU Advokat adalah magang sekurang-kurangnya dua tahun terus menerus pada kantor Advokat.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pengambilan sumpah advokat. Foto: RES
Ilustrasi pengambilan sumpah advokat. Foto: RES

Kongres Advokat Indonesia (KAI) memiliki kebijakan untuk menerima pengalaman kerja para pensiunan hakim, jaksa, polisi, dan profesi lainnya di bidang hukum dan peradilan setara dengan kewajiban magang selama dua tahun bagi calon advokat. Ketua Panitia Kerja (Panja) penyusun UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) serta salah satu advokat senior yang terlibat penyusunan kala itu angkat suara soal kebijakan tersebut kepada hukumonline, Senin (2/7).

 

Presiden KAI, Tjoetjoe Sandjaja Harnanto, mengatakan organisasi advokat yang dipimpinnya ini melakukan konversi masa bakti pensiunan dari pekerjaan praktisi hukum seperti polisi, hakim, hakim agung, dan jaksa setara masa magang dua tahun sebagai syarat menjadi advokat.

 

Dihubungi hukumonline secara terpisah, Sekretaris Jenderal KAI, Aprillia Supaliyanto, membenarkan hal tersebut. “Kami punya kebijakan sebagai diskresi bahwa pengalaman kerja mereka kami konversi sebagai bentuk pemagangan,” kata April dalam keterangan tertulis.

 

Bersama keterangan tersebut, KAI juga menyebutkan belasan nama purnawirawan Jenderal Polisi yang akan diambil sumpah pengangkatan advokat oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat pertengahan Juli mendatang.

 

Baca: Pensiun, Ramai-ramai Jenderal Polisi Dilantik Advokat Bulan Depan

 

Hukumonline mencoba menghubungi beberapa nama Jenderal Polisi yang disebutkan KAI. Ada dua purnawirawan jenderal bintang dua yang mengonfirmasi kebenaran informasi soal pengangkatannya sebagai advokat tersebut. Yang pertama Irjen.Pol. Drs.Musyafak, S.H., M.M., pernah menjabat Kapolda Kalimantan Barat sebelum diangkat menjadi Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri.

 

Sedangkan Irjen. Pol. Drs. Arief Dharmawan, S.H., M.M., M.Hum. dikenal pernah menjabat sebagai Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan di Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT). “Informasi tersebut benar,” kata Arief melalui percakapan pesan instan dengan hukumonline.

 

Menyoal Kewajiban Magang

Sejak UU Advokat masih digodok, rupanya tak sedikit sosok yang masih ingin berkarya sebagai advokat usai pensiun dari profesi penegak hukum. Bahkan kalangan militer jebolan perguruan tinggi hukum militer pun berminat. Hal ini terungkap dari wawancara hukumonline dengan Ketua Panja penyusun UU Advokat belasan tahun silam, Hamdan Zoelva.

 

Hamdan Zoelva, yang mengawali karier sebagai advokat, juga menjabat Wakil Ketua Komisi II DPR RI kala itu. Ia menjelaskan ada perdebatan fraksi-fraksi di DPR termasuk dari fraksi TNI dan Polri (saat transisi reformasi masih ada perwakilan TNI dan Polri-red.). Fraksi TNI/Polri menginginkan adanya peluang agar pensiunan TNI atau Polri bisa ikut melamar menjadi advokat.

 

Menurut Hamdan, isu dalam perdebatan kala itu adalah batas usia maksimal untuk diangkat advokat. “Yang tidak setuju itu dari TNI/Polri. TNI/Polri ada yang berkehendak menjadi advokat kalau sudah pensiun atau mundur dari TNI/Polri. Usul batas usia maksimum dari Pemerintah saat itu ditolak oleh fraksi TNI/Polri, kalau tidak salah(usulnya-red.) 60 tahun,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.

 

Isu kedua yang menjadi perdebatan adalah soal latar belakang pendidikan hukum untuk menjadi syarat pengangkatan advokat. “Ada usulan bahwa jangan hanya sarjana hukum saja dong, termasuk sarjana syariah dan sarjana ilmu kepolisian,” ujarnya.

 

Hamdan mengingat bahwa saat itu ada keinginan kuat agar kalangan TNI/Polri yang pensiun dengan latar belakang pendidikan dari perguruan tinggi hukum militer atau perguruan tinggi ilmu kepolisian bisa masuk menjadi advokat.

 

Begitu kerasnya perdebatan soal syarat usia dan latar belakang pendidikan tinggi hukum tersebut, Hamdan mengatakan pasal ini akhirnya ditunda pembahasannya hingga setahun lamanya. Komprominya berhasil dicapai hingga menjadi rumusan yang tertera dalam UU Advokat saat ini. “Itu kompromi sampai setahun itu gara-gara dua pasal itu,” kenang Hamdan.

 

Pasal 2

  1. Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
  1. Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
  1. Salinan surat keputusan pengangkatan Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri.

Penjelasan:

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas Syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 3

(1) Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. warga negara Republik Indonesia;

b. bertempat tinggal di Indonesia;

c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;

d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;

e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);

f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;

g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;

h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.

(2) Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Penjelasan:

Ayat (1)

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “Organisasi Advokat” dalam ayat ini adalah Organisasi Advokat yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-undang ini.

Huruf g

Magang dimaksudkan agar calon advokat dapat memiliki pengalaman praktis yang mendukung kemampuan, keterampilan, dan etika dalam menjalankan profesinya.

Magang dilakukan sebelum calon Advokat diangkat sebagai Advokat dan dilakukan di kantor advokat.

Magang tidak harus dilakukan pada satu kantor advokat, namun yang penting bahwa magang tersebut dilakukan secara terus menerus dan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun.

 

Pada akhirnya hanya syarat usia minimal 25 tahun untuk diangkat menjadi advokat yang diatur. Dan latar belakang pendidikan hukum yang dimaksud akhirnya termasuk juga lulusan fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian. Sebagai upaya standardisasi, calon advokat harus ikut pendidikan khusus profesi advokat dan lulus ujian yang dilaksanakan organisasi advokat.

 

“Pendidikan itu dimaksudkan agar sarjana-sarjana lain ini yang pemahaman hukumnya tidak sama, bisa memiliki pengetahuan hukum yang sama untuk jadi advokat,” kata Hamdan menjelaskan. Sistem pendidikan khusus profesi advokat itu menurut Hamdan belum pernah ada sebelumnya sebagai syarat berprofesi advokat.

 

Kompromi lainnya adalah wajib magang selama dua tahun sebelum diangkat sebagai advokat. Hamdan mengatakan fungsinya sangat penting untuk memahami tugas dan fungsi advokat yang spesifik.

 

Hamdan menilai profesi advokat tidak bisa dianggap sama dengan peran hakim, jaksa, atau polisi. Secara maksud dan tujuan pengaturan, melakukan konversi masa bakti pada pekerjaan tersebut sebagai masa pemagangan menurutnya tidak bisa diterima. “Seharusnya ikut dalam magang,” ujar hakim konstitusi yang menjabat tahun 2010-2015 ini memberikan tanggapan.

 

Hamdan menekankan bahwa ada keterampilan teknis dan pemahaman soal kode etik profesi yang tidak bisa disamakan dengan pekerjaan hakim, jaksa, polisi, atau militer. Magang menjadi cara untuk mendapatkan pelatihan kerja secara langsung di bawah bimbingan advokat yang sudah berkompetensi menekuni profesi ini.

 

Ia tidak menampik bahwa pengangkatan tanpa prosedur magang semestinya bisa menimbulkan persoalan di kemudian hari berdasarkan UU Advokat yang berlaku. “Harusnya ini jadi problem,” katanya.

 

Kenyataan yang terjadi soal penafsiran ketentuan magang ini menurut Hamdan tak lepas dari polemik yang masih terjadi di dunia profesi advokat. Dia mengatakan bahwa pembentukan UU Advokat memproyeksikan hanya ada satu organisasi advokat yang menentukan pengangkatan, pendidikan, standardisasi, dan pemberhentian.

 

“Organisasi advokat tunggal itulah yang akan memberikan penafsiran. Karena ada banyak, jadi berantakan urusannya, masing-masing cari kesempatan,” kata Hamdan.

 

Dengan kenyataan bahwa UU Advokat pun tidak bergantung pada peraturan perundang-undangan lebih lanjut, Hamdan memaklumi bahwa penafsiran berbagai ketentuan dalam UU Advokat bisa dianggap bergantung pada kebijakan organisasi advokat. Jika implementasi UU Advokat tergantung organisasi advokat, Hamdan menilai langkah kebijakan KAI menafsirkan soal ketentuan magang bisa saja dianggap benar.

 

Advokat senior Frans Hendra Winarta, salah satu sosok yang terlibat dalam penyusunan UU Advokat, berpendapat bahwa magang bagi calon advokat adalah kewajiban yang tertulis dalam UU Advokat.

 

“Kalau memang undang-undang mengatakan begitu, harus diikuti. Bagaimanapun, tugas dia sebagai hakim, jaksa, atau polisi itu tidak sama dengan sebagai advokat,” kata pemilik kantor hukum Frans Winarta & Partners ini.

 

Pandangan Frans senada dengan yang diungkapkan Hamdan. “Ada perbedaan, oleh karena itu harus ada transisi, untuk membela klien itu nggak gampang, mereka nggak dididik untuk itu,” ujar Frans.

 

Frans memberikan kritik soal penyebutan advokat sebagai penegak hukum. Status yang diberikan dalam UU Advokat ini muncul sebagai argumentasi pihak yang membenarkan bahwa magang tidak diperlukan pensiunan hakim, jaksa, dan polisi karena sesama penegak hukum.

 

“Dari dulu saya juga nggak begitu setuju. Lembaga penegak hukum itu bisa menyidik, menahan dan lain-lain., advokat tidak bisa. Dia pembela masyarakat. Karena sudah kadung begitu, perlu direvisi ke depan,” katanya lagi.

 

Mengenai batas usia menjadi advokat, Frans tidak mempersoalkan usia maksimal untuk menjadi advokat. “Kalau dia masih sanggup, tidak pikun, dan sehat, ya bisa saja. Nggak jadi soal,” ujarnya.

 

Tags:

Berita Terkait