Penolakan Revisi UU KPK Masuk Kategori ‘Kegentingan yang Memaksa’? Begini Penjelasan Ahli
Utama

Penolakan Revisi UU KPK Masuk Kategori ‘Kegentingan yang Memaksa’? Begini Penjelasan Ahli

Ada tiga kriteria yang dapat dijadikan acuan. Perppu baru bisa diterbitkan setelah revisi UU KPK sah dan diundangkan.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

(Baca juga: Akses Informasi atas Pembahasan RUU Perlu Dipertegas).

Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, menjelaskan tiga syarat suatu keadaan dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa dalam Pasal 22 UUD 1945 yang ada pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010.

Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Kalupun undang-undang tersebut telah tersedia, itu dianggap tidak memadai untuk mengatasi keadaan. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu cukup lama. Padahal, keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan sesegera mungkin.

Presiden Joko Widodo sudah mengundang sejumlah tokoh ke Istana. Selain penerbitan Perppu, gagasan lain menyelesaikan persoalan penolakan masyarakat atas revisi UU KPK adalah judicial review  ke Mahkamah Konstitusi, atau legislative review oleh anggota DPR periode mendatang. Sejauh ini, Perppu dianggap sebagai opsi paling masuk akal. Cuma, syarat kegentingan yang memaksa harus terpenuhi.

Saat ditanya apakah syarat kegentingan yang memaksa telah masuk dalam kategori yang ada dalam RUU KPK yang disahkan, Bayu mengamininya. "Sudah terpenuhi," ujarnya.

Tags:

Berita Terkait