Penindakan KPK Lebih Menonjol Ketimbang Pencegahan
Seleksi Pimpinan KPK

Penindakan KPK Lebih Menonjol Ketimbang Pencegahan

Walau begitu, Busyro mengaku KPK sudah melakukan pencegahan di sejumlah sektor, termasuk sektor haji, minerba, bansos, hibab, dan pertanian.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Suasana seleksi wawancara calon pimpinan KPK. Foto: RES.
Suasana seleksi wawancara calon pimpinan KPK. Foto: RES.

Enam calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepakat mengenai adanya persepsi penindakan di KPK lebih menonjol ketimbang pencegahan. Hal itu disampaikan keenam calon saat menjalani wawancara terbuka yang dilakukan Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK di Gedung Kemenkumham, Kamis (9/10).

I Wayan Sudirta misalnya. Advokat sekaligus mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini mengatakan Indonesia harus bersih dari korupsi dalam waktu 30 tahun. Untuk mempercepat pencapaian tersebut, KPK harus memperkuat kerja sama kelembagaan, supervisi, dan meningkatkan pencegahan dalam upaya pemberantasan korupsi.

Selama ini, Wayan merasa KPK lebih dominan di bidang penindakan dibanding pencegahan. Wayan mencatat dalam rentang waktu 10 tahun, ada sekitar 3000 anggota DPRD/DPR, 19 Gubernur, 330 Bupati, dan 1800 PNS yang terjerat kasus korupsi. “Namun, kalau pencegahan tidak ditingkatkan, akan ada 3000 Bupati lagi yang korupsi,” katanya.

Ia mencontohkan negara Singapura yang memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) lebih tinggi dari Indonesia. Hal itu dikarenakan Singapura mengalokasikan sumber daya manusia (SDM) dan anggaran lebih banyak untuk pencegahan ketimbang penindakan. Semakin berhasil pencegahan, maka penindakan akan semakin kecil.

“Jadi, seharusnya anggaran dan SDM KPK secara bertahap presentasenya dialihkan ke pencegahan, sehingga anggaran dan SDM pencegahan lebih banyak dari pada penindakan. Tapi, bukan berarti penindakan tidak ditingkatkan. Ibaratnya, kalau penindakan ditingkatkan 10 persen, pencegahannya 1000 persen,” ujarnya.

Senada, Roby Arya Brata juga ingin KPK lebih fokus pada pencegahan. Pegawai Sekretariat Kabinet (Setkab) ini berpendapat, keberhasilan KPK bukan diukur dari banyaknya menangkap menteri atau penyelenggara negara. KPK berhasil jika ke depan tidak ada lagi penangkapan karena para penyelenggara negara sudah berintegritas tinggi.

“Menangkap menteri, tapi sistemnya tidak diperbaiki ya percuma. Kelemahan KPK sekarang ada di pencegahan. Semua pimpinan KPK orang hukum. Orang hukum di penindakan terus. Belum ada yang fokus di pencegahan. Padahal, kalau mau dilihat, justru pakar anti korupsi dunia itu bukan orang hukum,” tuturnya.

Untuk itu, Roby menganggap perlu adanya warna baru di KPK. Pimpinan KPK harus kuat, visioner, progresif dalam konsep dan teori. Apalagi, indikator korupsi di Indonesia yang sudah memasuki tahap darurat. Ia menilai, pemerintah dan KPK perlu melakukan upaya penanganan yang tepat sasaran untuk mencegah korupsi.

Sejauh ini, Roby melihat ada kesalahan strategi penanganan korupsi dengan menerapkan konsep satu strategi untuk semua patologi birokrasi. Padahal, di masing-masing birokrasi, ada banyak indikator yang berbeda. Ia berpendapat, diperlukan strategi-strategi yang sesuai untuk berbagai penyakit birokrasi di Indonesia.

Sementara, Busyro Muqoddas menganggap komposisi pimpinan KPK yang semuanya berlatar belakang hukum tidak lantas membuat KPK mengabaikan pencegahan. Ia menyadari, pencegahan korupsi harus menggunakan pendekatan interdisipliner, sehingga KPK cukup intens melakukan diskusi atau jamuan ilmiah dengan pakar-pakar di luar hukum.

Meski demikian, Wakil Ketua KPK ini tidak menampik pandangan mengenai KPK yang lebih menonjol di bidang penindakan ketimbang pencegahan. Ia mengaku pandangan itu memang benar adanya. Namun, Busyro memberikan sejumlah catatan mengapa pandangan semacam itu bisa muncul dalam persepsi masyarakat.

Salah satunya karena yang mencuat ke media lebih banyak upaya-upaya KPK di bidang penindakan. Media dan masyarakat lebih tertarik dengan kasus-kasus, apalagi kasus yang diawali operasi tangkap tangan. Namun, sebenarnya, di periode awal, kedua, dan ketiga, KPK sudah memposisikan diri untuk masuk ke wilayah pencegahan.

Busyro mengungkapkan, di periode pertama, ada karya besar yaitu tentang perubahan sistem surat perintah perjalanan dinas yang biasa dikenal dengan menggunakan sistem at cost. Sistem at cost ini merupakan hasil telaah KPK jilid pertama dan diterapkan ketika Menkeu Sri Mulyani, sehingga terjadi efisiensi puluhan triliun.

Di periode kedua, lanjut Busyro, pencegahan sudah mulai dilakukan di sektor haji, minerba, bansos, hibab, dan pertanian. Di periode ketiga, dipertegas kembali dengan mengembangkan konsep penindakan dan pencegahan yang berbasis pendekatan integratif. Contohnya, ketika KPK banyak melakukan upaya penangkapan.

“Bersama dengan itu, kementerian terkait yang pejabatnya ditangkap tangan, sistemnya kami perbaiki sekaligus. Itu sudah dilakukan dan dalam batas tertentu sudah ada perbaikan. Di samping itu, kami sudah melakukan pendekatan terobosan dengan konsep social cost of corruption,” akunya.

Busyro menerangkan, social cost of corruption adalah konsep untuk melihat korupsi dari pendekatan-pendekatan sosial, ekonomi, dan budaya. KPK sudah menerapkan konsep itu ketika melakukan penuntutan kasus suap impor sapi dan simulator. Konsep itu akan menimbulkan efek jera dan sekaligus pencegahan.

Tidak menyentuh akar korupsi

Calon dari kalangan internal KPK, Subagio juga memiliki pandangan yang sama mengenai KPK yang lebih fokus pada penindakan dibanding pencegahan. Ia merasa upaya pemberantasan korupsi di KPK, ada beberapa yang tidak sesuai dengan roadmap yang telah ditetapkan dalam keputusan pimpinan KPK tahun 2011.

Antara lain, belum optimalnya sistem integritas nasional, fraud control system, serta penindakan dan pencegahan yang terintegrasi. Subagio menganggap upaya pemberantasan korupsi yang lebih didominasi penindakan hanya akan memotong “ranting-ranting” korupsi saja, tetapi tidak menyentuh “akar” korupsi itu sendiri.

Subagio mencontohkan penangkapan Gubernur Riau Annas Maamun. Walau mengapresiasi penangkapan tersebut, ia juga merasa prihatin. Pasalnya, Annas merupakan Gubernur Riau ketiga yang terjerat kasus korupsi di KPK. “Artinya ada yang kurang di sini, yaitu pencegahan KPK dalam pemberantasan korupsi,” katanya.

Untuk itu, Subagio ingin mengoptimalkan penindakan dan pencegahan yang terintegrasi dengan mengedepankan fungsi pencegahan. Kemudian, ia juga ingin mengoptimalkan tugas pokok KPK sebagaimana diamanatkan dalam UU KPK. Ia mengatakan, dari lima tugas pokok KPK, tugas monitoring masih belum tersentuh.

“Monitor itu di KPK diposisikan sebagai surveillance undercover. Padahal, yang diamanatkan undang-undang adalah kajian administrasi pemerintahan di lembaga negara maupun institusi pemerintahan. Selanjutnya, koordinasi dan supervisi. Di KPK tidak terstruktur, yang menangani hanya delapan orang,” ujarnya.

Sama halnya dengan Ahmad Taufik. Jurnalis yang juga berprofesi sebagai advokat ini menyatakan perlu adanya pola pencegahan secara massif, sistematis, dan terstruktur. Pola pencegahan secara massif tersebut adalah dengan menghidupkan berbagai jaringan dan komunitas di masyarakat untuk melawan korupsi.

Ia menjelaskan, jaringan dan komunitas itu perlu diberdayakan untuk menyebarluaskan persepsi anti korupsi di masyarakat. Hal ini bisa dimulai dengan tidak membiasakan diri memberi hadiah atau gratifikasi. Kalau masyarakat sudah melakukan penolakan secara massif, upaya pencegahan pun dapat dimaksimalkan.

Kemudian, Taufik menerangkan, mengenai pola pencegahan sistematis dan terstruktur adalah pola yang menyangkut birokrasi. Pola semacam ini dilakukan dengan menghidupkan kembali inspektorat dan pengawasan untuk melakukan pencegahan. Apabila perangkat itu dihidupkan kembali, pekerjaan KPK menjadi tidak terlalu berat.

“Dalam artinya, KPK melakukan tindakan represif kepada orang-orang yang sulit ditembus Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan institusi lainnya. Kan selama ini KPK kelihatan kelelahan karena kasus yang masuk terlalu banyak. Jadi, perangkat pengawasan itu dihidupkan kembali, sehingga bisa melakukan pencegahan,” tuturnya.

Calon pimpinan KPK lainnya, Djamin Ginting juga memiliki strategi untuk mengoptimalkan pencegahan korupsi. Ia menjelaskan, kondisi demografi penduduk di Indonesia akan membuat KPK kewalahan. Untuk itu, pencegahan harus dilakukan sejak dini melalui pendidikan dari tingkat PAUD, SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi.

Terlebih lagi, Djamin menemukan, dalam Strategi Nasional Percepatan Anti Korupsi yang dikuatkan Bappenas, disampaikan bahwa permasalahan utama dalam pemberantasan korupsi, salah satunya adalah tidak ada sinergi materi dan pendidikan anti korupsi dalam pendidikan dan kurikulum sekolah.

Mengingat kondisi demografi penduduk Indonesia, Djamin berpendapat, KPK harus memperkuat pencegahan dari sisi pendidikan anti korupsi. Pencegahan tidak bisa dilepaskan program koordinasi dan monitoring. Maka dari itu, KPK harus bekerja sama dengan Kemendikbud dan Kemenkumham.

Tags:

Berita Terkait