Peniadaan Mandatory Spending Kesehatan Dinilai Bertentangan dengan Konstitusi
Terbaru

Peniadaan Mandatory Spending Kesehatan Dinilai Bertentangan dengan Konstitusi

Padahal Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 sudah menjelaskan gamblang setiap warga negara berhak antara lain memperoleh pelayanan kesehatan. Aturan mandatory spending sebesar 5 persen sebelumnya diatur dalam UU Kesehatan yang lama.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Anggota MPR dari Fraksi PKS Amin AK (kanan). Foto:  IG Amin AK
Anggota MPR dari Fraksi PKS Amin AK (kanan). Foto: IG Amin AK

Sejatinya, kesehatan setiap warga negara menjadi tanggungjawab negara dengan memberikan akses pelayanan kesehatan secara layak. Terlebih jaminan tersebut diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945. Karenanya, penghapusan atau peniadaan aturan mandatory spending dalam materi muatan UU Kesehatan yang baru saja disahkan DPR bersama pemerintah dalam rapat paripurna beberapa pekan lalu bertentangan dengan konstitusi.

Demikian disampaikan anggota Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR) Amin AK melalui keterangan kepada wartawan, Senin (Senin (24/7/2023). “Ayat ini jelas menegaskan bahwa kesehatan setiap penduduk menjadi tanggungjawab negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara layak,” ujarnya.

Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dia mengajak para pemuda agar mengkritisi setiap kebijakan pemerintah di sektor kesehatan pasca terbitnya UU Kesehatan yang baru secara konstitusional, rasional dan cerdas.

Amin menerangkan, mandatory spending atau alokasi anggaran untuk kesehatan adalah kewajiban pemerintah pusat maupun daerah untuk mengalokasikan anggaran untuk layanan kesehatan masyarakat. Padahal sebelumnya aturan kewajiban negara mengalokasikan anggaran 5 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) diatur dalam  Pasal 171 ayat (1) UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan antara DPR dan pemerintah, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) mengusulkan penambahan persentase menjadi 10 persen mandatory spending dari APBN. “Lha ini kok malah dihapus. Ini namanya liberalisasi industri kesehatan,” ujarnya.

Baca juga:

Kesehatan adalah salah satu hak dasar bagi semua penduduk yang pemenuhannya menjadi tanggungjawab negara dan dijamin oleh konstitusi. Dia menilai, posisi layanan kesehatan menjadi kebutuhan dasar maka sektor kesehatan menjadi bagian yang diwajibkan adanya alokasi anggaran dalam jumlah yang mencukupi dari anggaran  negara. Yakni dengan adanya pengaturan mandatory spending, selain kebutuhan dasar lainnya  seperti pendidikan.

Penghilangan pasal tentang alokasi anggaran kesehatan tersebut juga tidak sesuai dengan amanah Deklarasi Abuja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan TAP MPR X/MPR/2001. Menurutnya, penghapusan aturan mandatory spending dalam UU Kesehatan terbaru berpotensi menurunkan upaya realisasi target prioritas stunting, perbaikan alat dan fasilitas kesehatan, serta kualitas pelayanan kesehatan.

Amin khawatir program layanan kesehatan rakyat di tingkat pusat maupun daerah sulit terlaksana secara baik dengan dalih keterbatasan anggaran. Kebijakan tersebut bakal memberatkan konsumen. Pasalnya, biaya kesehatan yang sebelumnya ditanggung oleh pemerintah ke depan  bakal dibebankan kepada masyarakat sebagai pengguna dari jasa layanan kesehatan tersebut.

“Karena itu saya mendukung masyarakat untuk melaksanakan judicial review UU Kesehatan tahun 2023 ini. Bagaimana pun negara wajib memberikan layanan kesehatan yang layak bagi setiap warga negara,” katanya.

Terpisah, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kesehatan Emanuel Mekiades Laka Lena menerangkan, terkait dengan pendanaan kesehatan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Pemda) wajib memprioritaskan anggaran kesehatan untuk program dan kegiatan dalam penyusunan APBN dan APBD. Menurutnya pemerintah pusat mengalokasikan anggaran kesehatan dari APBN sesuai dengan kebutuhan program nasional yang dituangkan dalam rencana induk bidang Kesehatan (RIBK) dengan memperhatikan penganggaran berbasis kinerja.

Sedangkan Pemda mengalokasikan anggaran kesehatan dari APBD sesuai dengan kebutuhan kesehatan daerah yang mengacu pada program kesehatan nasional yang dituangkan dalam rencana induk bidang Kesehatan (RIBK) dengan memperhatikan penganggaran berbasis kinerja. Pengalokasian anggaran kesehatan tersebut termasuk memperhatikan penyelesaian permasalahan Kesehatan berdasarkan beban penyakit atau epidemiologi.

Dalam rangka upaya peningkatan kinerja pendanaan kesehatan, pemerintah pusat dapat memberikan insentif atau disinsentif kepada pemerintah daerah sesuai dengan capaian kinerja program dan Pelayanan Kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi IX DPR itu melanjutkan, pemantauan pendanaan kesehatan secara nasional dan regional pun dilakukan pemantauan dalam rangka memastikan tercapainya tujuan pendanaan kesehatan. Yakni melalui sistem informasi pendanaan kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKN)

Politisi Partai Golkar itu menuturkan, dalam penyelenggaraan upaya kesehatan, pelibatan tanggungjawab Pemda dan pemerintah pusat harus diselaraskan. Pengaturan pelindungan tenaga medis dan tenaga kesehatan terutama yang bertugas di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan.

Serta daerah bermasalah kesehatan atau daerah tidak diminati dapat memperoleh tunjangan atau insentif khusus, jaminan keamanan, dukungan sarana prasarana dan alat kesehatan, kenaikan pangkat luar biasa, dan pelindungan dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menuturkan, pemerintah dan DPR sepakat untuk  menerapkan anggaran berbasis kinerja  dengan mengacu pada program kesehatan nasional. Program tersebut diatuangkan dalam RIBK yang  menjadi pendoman jelas bagi pemerintah pusat dan daerah.

Tags:

Berita Terkait