Pengusaha Pertanyakan Keadilan Perpajakan
Utama

Pengusaha Pertanyakan Keadilan Perpajakan

HRS
Bacaan 2 Menit
Sofyan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Foto: Sgp
Sofyan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Foto: Sgp

Pengusaha Indonesia merasa trauma dengan permasalahan perpajakan di Indonesia. Pasalnya, sebagai wajib pajak (WP), begitu sulit memperoleh kepastian dan keadilan hukum ketika terjadi sengketa pajak.


“Kita semua paham bahwa pajak adalah pungutan negara yang bersifat memaksa. Itu sebabnya, menurut Pasal 23A UUD 1945 pengenaan pajak harus didasarkan pada undang-undang,” sebut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia Bidang Moneter, Fiskal, dan Kebijakan Publik Haryadi B Sukamdani dalam sebuah seminar di Jakarta, Kamis (11/10).


Artinya, pajak tidak boleh dikenakan melebihi apa yang diatur dalam undang-undang. Kendati demikian, apabila WP tidak membayar pajak yang terutang, fiskus dapat menagih secara paksa.  Sebaliknya, dalam menarik pajak, pemerintah harus menaati aturan dan prosedur dalam pengenaan pajak, tidak boleh sewenang-wenang.


Sulitnya memperoleh keadilan dan kepastian hukum, menurut Hariyadi karena lemahnya kebebasan hakim. Hal itu berdampak tatkala mereka memutus perkara.


Posisi yang lemah itu, menurut Haryadi karena adanya kekhawatiran bahwa mereka akan dicap sebagai antipemerintah jika memenangkan pengusaha. Bahkan, hakim dan aparat perpajakan terkesan enggan mengambil keputusan cepat. Lantaranada kekhawatiran dicurigai merugikan negara.


Selain itu, persoalan lain dalam sengketa pajak adalah putusan Pengadilan Pajak ternyata tidak mudah untuk dilaksanakan sehingga makin menambah ketidakpastian dalam dunia usaha.


“Jika iklim perpajakan kondusif serta menjamin semua hak wajib pajak, dunia usaha akan dapat berkembang dan memberikan kontribusi berupa pajak yang makin besar,” pungkasnya.


Senada dengan Haryadi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi mengatakan bahwa pengusaha telah kehilangan kepercayaan pada kondisi perpajakan nasional.


Menurutnya, titik tolaknya adalah munculnya kasus mafia pajak, Gayus Tambunan. Kasus ini menyebabkan pengadilan pajak takut mengambil putusan-putusan yang berani. Pasalnya, para aparat takut dikatakan sebagai propengusaha.


“Nanti mereka dibilang Gayus lagi. Kami pengusaha, dibilang nyogok. Jadi, semua pihak takut. Padahal banyak perkara-perkara yang bisa dimenangkan oleh pengusaha,” tegas Sofyan.


Menanggapi hal ini, Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI Paulus Effendi Latolung mengatakan langkah awal yang harus dilakukan adalah menciptakan pemerintah yang bersih. Diiringidengan mengoptimalkan peran hakim.


Paulus mengatakan bahwa seorang hakim harus mandiri secara institusi, memiliki integritas dan kejujuran, akuntabilitas, responsibilitas, dan tidak berpihak. Hakim juga harus mampu memberikan perlakuan yang sama kepada para pihak di hadapan hukum. Selain itu, untuk mendapatkan putusan yang berkualitas, dia mengatakan keahlian hakim perlu ditingkatkan.


Paulus juga melanjutkan bahwa hakim sebagai alat kekuasaan kehakiman dan pembaharu hukum harus mampu bercermin kepada dua sistem hukum, yaitu Civil Law danCommon Law. Pasalnya, hakim bukanlah mesin atau corong hukum, tetapi seorang pemikir.


“Indonesia tidak bisa dikatakan secara tegas sebagai sistem Civil Law. Indonesia adalah hybrid, ada perbauran sistem di dalamnya. Bahkan, kita memakai sistem hukum adat dan hukum Islam,” sebutnya.


Namun, kedua sistem ini bukan berarti harus dipakai secara serentak. Paulus mengatakan hal ini perlu kecerdikan dan kepandaian hakim dalam memutus suatu perkara. “Ambil positifnya,” pungkasnya.

Tags: