Pengusaha Keberatan Tarif Progresif Peti Kemas
Berita

Pengusaha Keberatan Tarif Progresif Peti Kemas

Dinilai bertentangan dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. 117 Tahun 2015.

FNH
Bacaan 2 Menit
Kantor KADIN. Foto: SGP
Kantor KADIN. Foto: SGP
Penumpukan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok dan pelabuhan lain di Indonesia telah menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Berkali-kali Presiden meminta masalah dwelling time alias waktu tunggu bongkar diselesaikan. Kontainer tak boleh menumpuk lama di pelabuhan.

Direksi PT Pelindo II diketahui telah mengeluarkan Keputusan Direksi Nomor HK.568/23/2/1/PI.II tentang Tarif Pelayanan Jasa Peti Kemas pada Terminal Peti Kemas di Pelabuhan Tanjung Priok. Keputusan Direksi Pelindo II ini memberlakukan tarif progresif hingga 900 persen dari ongkos jasa penumpukan peti kemas produk impor yang berlaku selama ini di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Masa bebas penumpukan peti kemas yang sebelumnya tiga hari juga dipersingkat menjadi satu hari. Aturan tersebut mulai berlaku sejak awal Maret.

Rupanya, ada suara penolakan terhadap beleid ini dari kalangan pengusaha. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) serta asosiasi-asosiasi pengguna jasa pelabuhan menolak pengenaan tarif progresif penimbunan kontainer sebesar 900 persen terhitung 1 Maret 2016.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan Rico Rustombi mendesak manajemen PT Pelindo II (Persero) mencabut beleid tersebut karena membuat biaya logistik semakin tinggi. Jika tidak, Rico mengatakan akan mengadukan masalah ini kepada Presiden Joko Widodo, dan DPR.

Kadin berniat melayangkan protes setelah mendengar keluhan dari belasan asosiasi pengguna jasa pelabuhan. Dikatakan Rico, asosiasi telah bersepakat penerapan tarif progresif 900 persen pada hari kedua setelah kapal sandar di pelabuhan akan mengakibatkan kenaikan biaya logistik. Pekerjaan bongkar muat peti kemas oleh Pelindo memakan waktu 4-5 jam. Rata-rata waktu kedatangan kapal pukul 10.00-11.00 malam, lewat pukul 12.00 malam sudah dikenakan tarif progresif.

"Kadin tidak sepakat dengan beleid atau pengenaan tarif progresif 900 persen. Ini melukai rasa keadilan pengguna jasa di pelabuhan, karena biaya logistik jadi tinggi. Dampak pemberlakuan sudah dirasakan pengusaha," kata Rico saat konperensi pers di Jakarta, Rabu (16/3).

Menurutnya, tarif 900 persen dikenakan kepada pengguna jasa pelabuhan pada hari kedua. Detailnya, untuk hari pertama tidak dipungut tarif pelayanan jasa penumpukan. Kemudian baru berlaku ketika memasuki hari kedua dan seterusnya, dihitung per hari sebesar 900 persen dari tarif dasar.

"Sebelumnya tiga hari pertama free, hari keempat dikenakan 500 persen, hari ketujuh dipungut 750 persen. Itu tidak kita ganggu, tapi sekarang menjadi hari kedua sebesar 900 persen. Belum lagi ada penalti atas penumpukan barang. Jadi sudah naik tinggi tarifnya, terus kita juga dikenakan penalti atau denda," kata Rico.

Rico menjelaskan bahwa SK Direksi Pelindo bertentangan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 117 Tahun 2015 tentang Relokasi Barang atau Peti Kemas di Tanjung Priok. Dalam Pasal 3 Permenhub  menyebutkan pemilik barang atau importir mendapat kelonggaran menumpuk barang ‎di pelabuhan tiga hari. Menurutnya, mengatasi dwelling time tidak bisa dilakukan dengan menaikkan tarif.

Rico juga mengungkapkan, dominasi penguasaan infrastruktur pelayanan publik oleh satu perusahaan pelat merah memicu persaingan tidak sehat, termasuk di pelabuhan. Karena itu diperlukan adanya keterlibatan swasta dalam pengelolaan pelabuhan. "Kalau swasta dilibatkan, asas kompetitif bisa jalan. Kalau tidak bisa bersaing, tidak bakal dipakai jasanya. Yang diprioritaskan public service obligation (PSO), tapi Pelindo malah cari profit," ujar Rico di Jakarta, Rabu (16/3/2016).

Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno menilai Pelindo II telah salah jika mengatasnamakan seluruh pengusaha menyetujui kenaikan tarif penumpukan peti kemas di pelabuhan Tanjung Priok. "Kita bisa adukan karena menipu kita sebagai pengguna," tegas Benny yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan.

Akibat kenaikan tarif sebesar 900 persen, lanjut Benny, pengusaha terpaksa membebankan penyesuaian harga barang atau produk lebih mahal kepada konsumen. Kondisi ini akan mengancam daya saing Indonesia. "Kalau begini, yang ada meningkatkan ketidak daya saingan kita," kata Benny.

Benny Woernardi, CEO Cikarang Dry Port menambahkan, saat ini tarif dasar storage peti kemas di pelabuhan Priok memang tergolong murah hanya Rp27.200/peti kemas 20 feet dan Rp54.400/peti kemas 40 feet. Namun, kata dia, jika beleid tarif progresif tersebut diterapkan, tentu angkanya akan sangat fantastis.

“Saya menghitung rata-rata penalti itu mencapai Rp244.800 per peti kemas per hari untuk 20 feet. Sedangkan untuk 40 feet mencapai Rp489.600 per peti kemas per hari. Angka tersebut belum termasuk biaya-biaya lainnya,” keluh Benny Woernardi.

Redma Gita dari Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia memaparkan biaya pelayanan jasa peti kemas isi di Tanjung Priok, baik ekspor maupun impor sebesar antara Rp65.000/box–Rp 75.000/box. Biaya pemindahan lokasi kontainer sekitar Rp3 juta per kontainer 40 feet dengan rinciannya biaya trucking, lift off lift on dan biaya-biaya lainnya tapi belum termasuk biaya cost recovery.

“Jadi bisa dibayangkan berapa mahalnya biaya yang mesti dikeluarkan para pelaku usaha. Mari kita duduk bersama untuk memecahkan permasalahan ini. Toh selama ini beleid tersebut tidak tersosialisasi dengan baik, apalagi belied ditetapkan di saat kursi Dirut Pelindo II dan otoritas pelabuhan vakum,” pungkas Redma.
Tags:

Berita Terkait