Pengusaha Industri Tambang Diminta Berembuk
Berita

Pengusaha Industri Tambang Diminta Berembuk

Untuk mencari solusi yang tepat sebelum menghadapi kebijakan hilirisasi mineral pada tahun 2014.

KAR
Bacaan 2 Menit
Pengusaha Industri Tambang Diminta Berembuk
Hukumonline

Implementasi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Permen ESDM No. 7 Tahun 2012, dan Permen ESDM No. 20 Tahun 2013 yang akan diberlakukan awal 2014 mengancam operasional perusahaan pemurnian mineral (smelting). Ancaman itu disebabkan adanya larangan industri hilir manufaktur untuk mengekspor bahan baku mineral.

Ketua Satgas Hilirisasi Mineral Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Didie W. Soewondho, menghimbau kepada para pengusaha industri smelter yang merasa terancam usahanya dengan penerapan UU Minerba untuk menyampaikan ke lembaga terkait sehingga bisa dicarikan solusi bersama-sama.

Didie mengatakan, perusahaan-perusahaan yang merasa terancam operasinya harus membuat proposal untuk diajukan ke lembaga terkait agar bisa diselesaikan bersama.

"Buat lah proposal. Kita semua sama-sama membahas, mana yang terbaik. Amanah Undang-undang adalah yang terdepan harus dilaksanakan. Mari berdiskusi agar bisa ditemukan jalan yang sesuai," ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (15/11).

Selama ini, perusahaan pemurnian mineral mengandalkan bahan baku berupa anoda slime. Bahan baku ini merupakan salah satu produk sampingan yang dihasilkan dalam proses peleburan dan pemurnian tembaga yang di dalamnya mengandung emas dan perak.

“Apabila pemerintah Indonesia menerapkan larangan ekspor untuk anoda slime, PT Smelting tidak akan bisa terus beroperasi," kata Presiden Direktur PT Smelting Gresik, Makoto Miki, di acara yang sama.

Di sisi lain, implikasi dari larangan ekspor konsentrat tembaga bakal mengakibatkan PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara menutup operasinya. Kedua perusahaan asing itu pemasok konsentrat tembaga untuk PT Smelting, sehingga berdampak juga pada penghentian operasi PT Smelting. Saat ini, anode slime diekspor untuk dimurnikan di luar negeri karena tidak ada pabrik peleburan dan pemurnian di dalam negeri.

"Pembangunan fasilitas peleburan dan pemurnian anoda slime di dalam negeri tidak dimungkinkan karena berbagai hambatan teknis, ekonomis, dan lingkungan," tambah Miki.

Miki memahami konsep fundamental kebijakan hilirisasi Pemerintah Indonesia yang ingin meningkatkan kapasitas pengolahan dan pemurnian sektor mineral tambang di Indonesia. Namun, ia mengeluhkanPT Smelting sebagai satu-satunya industri pengolahan dan pemurnian tembaga di Indonesia, tetap harus berhadapan dengan risiko menghentikan operasinya.

Ia mengingatkan, penutupan perusahaannya itu bisa membawa dampak negatif lebih lanjut pada industri hilir seperti kawat dan kabel, pupuk, dan industri semen. "Tutupnya operasi PT Smelting akan menyebabkan masalah tenaga kerja yang sangat serius. Ribuan tenaga kerja bakal kehilangan pekerjaan," katanya.

Direktur Utama PT Petrokimia Gresik, Hidayat Nyakman, menyayangkan jika pelaksanaan kewajiban membangun smelter justru membuat smelter yang sudah ada harus tutup. Sebab, smelter yang sudah ada banyak berperan bagi industri hilir lainnya. Hidayat menjelaskan, bukan waktu yang sebentar untuk membuat smelter.

“Intinya undang-undang harus tetap terus dilaksanakan, tetapi keberadaan perusahaan smelting juga baik,” ujarnya.

Hidayat mengakui, selama ini PT Smelting Gresik sudah banyak berperan bagi kelangsungan produksi pupuk di Petrokimia Gresik. Sebab, Smelting Gresik menghasilkan produk sampingan berupa sulfur yang menjadi bahan baku utama pupuk.

"Sulfur merupakan unsur penting bagi pertumbuhan di sektor pertanian," katanya.

Tags:

Berita Terkait