Belum lama ini, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) disetujui menjadi undang-undang (UU) oleh DPR dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani, Selasa (21/3/2023) kemarin. Selain menuai penolakan dari Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, persetujuan Perppu Cipta ini terus mendapat penolakan publik di tengah Perppunya sendiri sedang diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
Akademisi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Allan Fatchan Gani Wardhana mengatakan sejak awal ia menyampaikan bahwa terbitnya Perppu Cipta Kerja membuktikan pemerintah, terutama Presiden tidak memiliki iktikad baik untuk mematuhi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan MK No.91/PUU-XVII/2020 yang dibacakan pada 25 November 2021 ini menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat dengan syarat melakukan perbaikan dalam waktu dua tahun.
Baca Juga:
- 4 Catatan LBH Jakarta Terkait Persetujuan Perppu Cipta Kerja jadi UU
- Persetujuan Perppu Cipta Kerja di DPR Tak Bulat
- Menko Perekonomian: Kegentingan Memaksa Karena Putusan MK
Dalam putusan MK tersebut, salah satu amarnya menyebutkan “Memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.”
“Artinya, yang lebih diutamakan memperbaiki UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (bukan menerbitkan Perppu, red). Apalagi MK telah memberikan jangka waktu selama 2 tahun sejak putusan diucapkan. Padahal, waktu sangat cukup apabila pemerintah mau memperbaiki,” ujar Allan Fatchan Gani kepada reporter magang Hukumonline, Senin (27/3/2023).
Meski begitu, Dewan Pakar Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII ini menilai kesempatan untuk menguji UU Cipta Kerja (hasil pengesahan Perppu) ke MK sangat terbuka. Kalaupun nanti akan diuji, MK harus lebih berhati-hati. Terlebih kritik publik terhadap pengesahaan Perppu Cipta Kerja harus didengarkan dan dipertimbangkan.
“MK harus mampu memainkan peran sebagai the guardians of constitution di tengah Pemerintah dan DPR yang sama sekali tidak peka dan ugal-ugalan dalam proses penerbitan sampai pengesahan Perppu Cipta Kerja ini. Tindakan yang ugal-ugalan tersebut harus dilihat sebagai suatu rangkaian peristiwa yang secara nyata sebagai sikap yang tidak menjunjung tinggi konstitusi sebagai hukum tertinggi,” ujar pria yang pernah menjabat Direktur PSHK FH UII Periode 2018-2022 ini.