Pengujian UU MK Terbaru Bakal Jadi ‘Ujian’ bagi Hakim Konstitusi
Berita

Pengujian UU MK Terbaru Bakal Jadi ‘Ujian’ bagi Hakim Konstitusi

Karena UU MK terbaru sarat konflik kepentingan dengan masa jabatan hakim konstitusi terutama yang tercantum dalam Pasal 87.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) yang baru saja disetujui dan disahkan menjadi undang-undang bakal diuji ke MK. Pemohonnya, Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif yang segera melayangkan uji materi UU MK terbaru ini baik dari segi formil maupun materil.  

Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan KoDe Inisiatif, Violla Reininda menilai RUU MK disahkan menjadi undang-undang hanya dalam waktu 7 hari kerja yakni dimulai dengan persetujuan pembahasan antara DPR dan pemerintah pada 24 Agustus 2020. Pada 26-29 Agustus dilakukan rapat tertutup Panja untuk membahas daftar inventarisasi masalah (DIM). Lalu, pada 31 Agustus 2020 pengesahan RUU MK dalam pembicaraan tingkat I dan pada 1 September 2020 pengesahan RUU MK menjadi undang-undang. 

“Undang-undang itu bermasalah dari segi prosedural. Materi muatannya juga tidak substantif dan tidak mendesak karena hanya menekankan masa jabatan hakim konstitusi. Terlihat jelas, pembentuk undang-undang memiliki itikad buruk untuk membajak MK dan menjadikan MK kaki tangan penguasa di cabang kekuasaan kehakiman,” kata Violla dalam keterangannya, Rabu (9/9/2020). (Baca Juga: Bakal ‘Digugat’, RUU MK Dinilai Bentuk Politisasi Kekuasaan Kehakiman)

Dia menilai UU MK terbaru berpotensi membahayakan bagi kemandirian MK, menurunkan kredibilitas MK di mata publik, dan mereduksi fungsi checks and balances MK terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif. Karena itu, menjadi penting untuk membatalkan Revisi UU MK melalui jalur judicial review di MK,” kata dia.

Menurutnya, setidaknya ada lima alasan agar MK membatalkan UU MK terbaru yang sarat kepentingan politik ini. Pertama,menarik MK keluar dari pusaran konflik kepentingan serta alat politik legislator di cabang kekuasaan kehakiman. Kedua, sebagai upaya menjaga kemandirian MK dalam memutus perkara. “Ini agar MK tetap mengedepankan perspektif konstitusionalisme dan mempertimbangkan aspek kepentingan publik,” kata dia.  

Ketiga, menjaga MK agar tetap optimal dan profesional menjalankan prinsip checks and balances terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif melalui pelaksanaan kewenangan pengujian undang-undang ini. Keempat, mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK sebagai salah satu “anak kandung” reformasi yang selama ini progresif melindungi dan memulihkan hak-hak konstitusional warga negara serta mengoreksi produk legislasi yang inkonstitusional.

Kelima, pengujian UU MK terbaru untuk kepentingan yang lebih luas yakni memutus legitimasi dan mendobrak praktik pembentukan UU yang “menabrak” aturan standar prosedural dan konstitusional. Baginya, jalan menguji UU MK terbaru ini menjadi pilihan tepat lantaran tak ada kanal konstitusional lain yang diberikan UUD 1945 untuk mengoreksi produk UU yang dianggap bermasalah.

“Objek pengujian dari aspek formil dan materil. Namun, pemohon fokus pada Pasal 87 UU MK hasil revisi. Intinya, pasal tersebut memberlakukan aturan mengikat hakim konstitusi yang sedang menjabat saat ini. Secara tekstual, sarat konflik kepentingan.”

Pasal 87 UU MK menyebutkan pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

  1. Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini;
  2. Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun.

Dia menilai Pasal 87 UU MK itu bertentangan dengan ide negara hukum pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, tak memberikan kepastian hukum pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan berpotensi mencoreng kemerdekaan MK pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945). Baginya, pengujian UU hasil revisi ketiga kalinya ini merupakan persoalan konstitusionalitas mendasar yang berkaitan erat dengan independensi dan imparsialitas hakim konstitusi.

“MK perlu menangkap pesan ini secara jelas. Pengujian undang-undang ini juga tentu akan menjadi ujian tersendiri bagi MK,” ujarnya mengingatkan.

Anggota Panja RUU MK, Taufik Basari mempersilakan pihak-pihak yang bakal menguji materi UU MK terbaru sebagai hak konstitusional warga negara. Namun, materi muatan yang dibahas dalam draf RUU MK hanya bagian dari upaya DPR merespon sejumlah putusan MK. Seperti putusan MK No.48/PUU-IX/2011 yang menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap Pasal 45A dan Pasal 57 ayat (2) huruf a UU MK  

“Kemudian putusan No.49/PUU-IX/2011, putusan Nomor 34/PUU-X/2012, putusan Nomor 7/PUU-IX/2013, dan putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014, sehingga pasal-pasal tersebut dihapus melalui revisi UU MK. Kita merevisi tidak keluar dari putusan MK,” ujar anggota Komisi III itu.

Soal Pasal 87 UU MK terbaru, menurutnya pilihan sistem tersebut mengubah konsep periodeisasi, sehingga Pasal 22 UU MK terpaksa dihapus. Hal itu sebagai konsekuensi lanjutan sebagaimana alur argumentasi pertimbangan hukum dalam putusan MK No.7/PUU-XI/2013. “Karena antara Pasal 15 ayat (2) huruf d dengan Pasal 23 ayat (1) huruf c saling berkaitan dengan Pasal 22,” dalih politisi Partai Nasional Demokrat itu.

Tags:

Berita Terkait