Pengujian UU Ketenagakerjaan Dinilai Ne Bis in Idem
Utama

Pengujian UU Ketenagakerjaan Dinilai Ne Bis in Idem

Permohonan judicial review ketentuan Pasal 120 ayat (1) UU Ketenagakerjaan terancam gagal karena pasal itu sudah pernah diuji sebelumnya.

Ali
Bacaan 2 Menit
Pasal 120 UU Ketenagakerjaan dianggap membatasi serikat <br> pekerja untuk membuat perjanjian kerja bersama. Foto: Sgp
Pasal 120 UU Ketenagakerjaan dianggap membatasi serikat <br> pekerja untuk membuat perjanjian kerja bersama. Foto: Sgp

Niat para pengurus Serikat Pekerja Bank Central Asia (SP BCA) Bersatu untuk membatalkan Pasal 120 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mulai menemui hambatan. Wakil Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membantah habis-habisan permohonan tersebut di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (14/1).

 

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsostek Depnakertrans, Myra Hanartani mengatakan ketentuan Pasal 120 ayat (1) yang diuji oleh pemohon sudah diuji sebelumnya. “Pengujian ini ne bis in idem,” ujarnya membaca keterangan resmi pemerintah. Ia mengatakan MK telah memutuskan pasal itu tidak bertentangan dengan konstitusi.

 

Anggota Komisi III DPR Chairuman Harahap pun mengutarakan hal yang sama. Ia mengatakan UUD 1945 menyatakan putusan MK bersifat final dan mengikat. Pasal 60 UU MK juga secara tegas menyebutkan, 'Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali'.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, MK memang pernah menguji sejumlah pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang diajukan oleh Saepul Tavip dkk. Dalam putusan itu, MK mengabulkan sebagian permohonan tersebut. Namun, Pasal 120 UU Ketenagakerjaan yang juga diuji tidak dibatalkan oleh MK.

 

Dua hakim konstitusi, kala itu, Laica Marzuki dan Abdul Mukthie Fadjar mengeluarkan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Keduanya berpendapat Pasal 120 UU Ketenagakerjaan itu sebagai kebijakan terselubung guna mengurangi hak buruh untuk memperjuangkan hak-haknya.

 

Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi mengatakan putusan itu memang telah menjadi yurisprudensi. “Semua putusan MK adalah yurisprudensi tetap dan konstan karena sifat putusannya yang final dan mengikat,” ujarnya. Meski begitu, lanjutnya, pemohon boleh saja menguji ketentuan yang sudah pernah diuji asalkan memuat alasan yang berbeda. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi.

 

Sekedar mengingatkan, SP BCA Bersatu mempersoalkan Pasal 120 UU Ketenagakerjaan. Ketentuan tersebut menyebutkan bila dalam suatu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja, maka yang berhak merundingkan PKB dengan pengusaha adalah SP yang jumlah anggotanya lebih dari 50 persen dari seluruh karyawan di perusahaan tersebut.

 

Di PT BCA Tbk terdapat enam serikat pekerja. Yang memenuhi ketentuan Pasal 120 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan itu hanya SP Niaga Bank BCA (SP Niba BCA). Alhasil, hanya SP Niba BCA yang ikut merundingkan aturan main bekerja bagi karyawan di BCA seluruh Indonesia itu.

 

Perjanjian Kerja Bersama

Kepala Biro Hukum Depnakertrans Sunarno menambahkan argumentasi pemerintah mengapa MK harus menolak permohonan ini. Ia mengatakan bila permohonan ini dikabulkan maka akan terdapat banyak SP yang bisa membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan Perusahaan. Menurutnya, hal itu tak mungkin. “PKB itu aturan main bersama. Tak mungkin ada lebih satu PKB dalam satu perusahaan,” tuturnya. 

 

Sebenarnya, justru hal itu yang membedakan permohonan ini dengan permohonan yang diajukan sebelumnya. Sekretaris Umum SP BCA Bersatu Puji Rahmat pernah mengatakan alasan konstitusional yang digunakannya berbeda. Kalau dulu, lanjutnya, yang diminta adalah agar masing-masing SP bisa membuat PKB yang berbeda-beda. Sedangkan, permohonan ini, jelas Puji tetap menginginkan ada satu PKB di perusahaan. “Yang kami inginkan hanya asas keterwakilan,” pungkasnya.

 

 

Tags:

Berita Terkait