Penguatan Penanganan Perkara Anak Lewat Teknologi
Berita

Penguatan Penanganan Perkara Anak Lewat Teknologi

Selain buku panduan SPPA, aplikasi teknologi perkara anak ini dapat diakses oleh Kepolisian, Kejaksaan, Bapas, Pengadilan, Lapas, Dinas Sosial yang menangani perkara anak yang berhadapan dengan hukum.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Penutupan proyek UNDP IRJI Keadilan Restoratif dalam Perkara Pidana Anak di Hotel Borobudur Jakarta, Jumat (14/12). Foto: AID
Penutupan proyek UNDP IRJI Keadilan Restoratif dalam Perkara Pidana Anak di Hotel Borobudur Jakarta, Jumat (14/12). Foto: AID

Selama ini anak berhadapan dengan hukum kurang mendapat perhatian dan perlindungan. Meski proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum sudah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan PP No. 8 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan SPPA. Namun, penanganan perkara anak yang mengedepankan restorative justice (pemulihan keadilan) ini masih belum optimal.

 

Untuk itu, UNDP dengan dukungan Kedutaan Denmark di Indonesia melalui proyek Improving Restorative through Integration (IRJI) telah dilaksanakan pelatihan terpadu di Palembang dan Surabaya dan penerapan aplikasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) perkara anak berbasis teknologi pada 1 November 2017-15 Desember 2018. Proyek ini diharapkan dapat menguatkan koordinasi antar penegak hukum dalam penanganan pidana anak yang mengedepankan restorative justice.

 

Wakil Direktur UNDP Indonesia, Sophie Kemkadze mengatakan peningkatan keadilan restroaktif di Indonesia bagian dari komitmen Indonesia untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan terutama untuk perdamaian, keadilan, dan ketangguhan kelembagaan yang berhubungan dengan penanganan perkara anak yang berhubungan dengan hukum.  

 

“Hasil-hasil proyek IRJI ini akan berkontribusi pada penguatan pemerintah daerah dalam pelaksanaan keadilan restoratif,” kata Sophie saat penutupan proyek UNDP IRJI dalam Keadilan Restoratif dalam perkara pidana anak di Hotel Borobudur Jakarta, Jumat (14/12/2018).

 

Duta Besar Denmark Indonesia, H.E. Rasmus Abildgaard Kristenses mengatakan keadilan restoratif dapat mencegah kejahatan dan konflik serta bermanfaat bagi masyarakat. Dan memberi kesempatan bagi pelaku pidana anak untuk kembali ke masyarakat sebagai warga negara yang baik.

 

Projek Manager IRJI, Herni Sri Nurbayati mengatakan saat ini keadilan restoratif sudah menjadi perhatian pemerintah dan stakeholders lain dalam upaya penguatan koordinasi penanganan perkara anak. Penguatan koordinasi penting sebagai implementasi UU SPPA yang melibatkan berbagai lembaga dan sesuai PP No. 8 Tahun 2017.

 

“Salah satu wujud penguatan koordinasi ini menggunakan sistem bernama SPPT perkara anak berbasis teknologi,” kata Herni di Hotel Wyndham di Palembang, Rabu (12/12/2018) kemarin.

 

Ia mengatakan sistem teknologi perkara anak ini sudah mulai dilakukan pada November 2018 di Palembang. Dia menerangkan sistem teknologi ini mengatur mulai perkara masuk di Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, hingga anak sebagai korban keluar dari rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan dan kembali berbaur dengan masyarakat (integrasi sosial).

 

“Teknologi ini dapat diakses oleh Kepolisian, Bapas, Pemerintah Daerah, Kejaksaan, Pengadilan yang menangani perkara anak, Dinas Sosial. Sistem aplikasi teknologi perkara anak ini pun dapat diakses dengan mudah melalui handphone selular. Sehingga, para aparat penegak hukum dapat dengan mudah menyelesaikan kasus perkara pidana anak,” kata dia.

 

Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan Reda Manthovani mengatakan sistem teknologi perkara anak ini memudahkan Kejaksaan dalam menangani kasus perkara anak. Baginya, program pelatihan dan sistem aplikasi perkara anak ini sangat membantu penuntut umum menjalankan tugasnya ketika sebuah perkara anak sudah masuk di kepolisian.

 

“Jadi, Jaksa yang menangani perkara anak sudah jauh-jauh hari dapat mengetahui kasusnya, sehingga lebih awal bisa bersikap. Melalui sistem aplikasi ini koordinasi antara penegak hukum juga semakin kuat dalam penanganan perkara anak berbasis keadilan restoratif,” kata dia.

 

Herni melanjutkan penerapan UU SPPA masih menemui beberapa kendala di lapangan. Salah satunya masih kurangnya pemahanan aparat penegak hukum dalam memahami dan menerapkan prinsip keadilan restroaktif sesuai UU SPPA. Selain itu, masih minimnya dukungan pemerintah daerah dalam menyiapkan infrastruktur dan sumber daya manusia untuk implementasi UU SPPA yang lebih baik.

 

"Untuk mencapai keadilan restoratif dalam penanganan perkara anak ini diperlukan dukungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah," harapnya.

 

Dia menambahkan dalam satu tahun ini melalui proyek penerapan keadilan restoratif ini juga telah menghasilkan Draft SOP Koordinasi dan Buku Panduan Implementasi SPPA dan Modul Diklat Terpadu untuk lebih memudahkan para penegak hukum menyelesaikan perkara pidana berbasis keadilan restoratif di Palembang dan Surabaya sebagai daerah percontohan.  

Tags:

Berita Terkait