Pengiriman Dokumen Hukum ke Luar Negeri Harus Sesuai Prosedur
Berita

Pengiriman Dokumen Hukum ke Luar Negeri Harus Sesuai Prosedur

Belanda mensyaratkan dokumen yang dikirim lebih dahulu diterjemahkan. Biaya penerjemahan dokumen sangat mahal.

Fat/Mys
Bacaan 2 Menit
Direktur Hukum Internasional Ditjen AHU Depkum HAM <br> Chairijah. Foto: Sgp
Direktur Hukum Internasional Ditjen AHU Depkum HAM <br> Chairijah. Foto: Sgp

Kementerian Luar Negeri Belanda meminta agar dokumen pengadilan yang akan dikirimkan ke Negara Kincir Angin itu harus asli dan lengkap. Selain itu, aparat hukum Indonesia tidak bisa langsung mengirimkan dokumen hukum itu kepada orang atau badan hukum Belanda yang menjadi tujuan.

 

Permintaan itu disampaikan Kementerian Luar Negeri Belanda melalui perwakilan Indonesia, yang kemudian diteruskan ke Jakarta. Ditjen Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri akhirnya meneruskan surat itu ke Mahkamah Agung dan Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM. Pada dasarnya surat Belanda tertanggal 20 Juli 2010 tersebut menegaskan prosedur yang harus ditempuh jika otoritas hukum di Indonesia hendak mengirimkan dokumen perdata dan niaga ke Belanda.

 

Direktur Hukum Internasional Ditjen AHU, Chairijah, berpendapat surat dari Kemlu Belanda lebih menegaskan agar otoritas hukum di Indonesia mengirimkan dokumen-dokumen hukum sesuai prosedurnya. Ia khawatir tak semua otoritas hukum memahami prosedur tersebut, sehingga Belanda mengingatkan. Apalagi, jika pengiriman dokumen pidana dan perdata berbeda. Dokumen permohonan ekstradisi misalnya selalu melalui jalur diplomatik. “Kalau kita kirim dokumen, kirimlah sesuai dengan jalurnya,” kata Chairijah kepada hukumonline.

 

Anehnya, meskipun Ditjen Protokol dan Konsuler sudah mengirimkan surat dari Kemlu Belanda tersebut sejak akhir Juli lalu ke Ditjen AHU, Chairijah mengaku belum mengetahui surat tersebut. Ketika dikonfirmasi bulan lalu, Sekretaris Mahkamah Agung HM Rum Nessa juga mengaku tidak ingat persis apakah sudah menerima surat serupa atau belum.

 

Prosedur permintaan bantuan hukum dalam masalah perdata dan niaga di Belanda lazimnya juga dilakukan melalui saluran diplomatik. Melalui surat Juli lalu, Belanda menegaskan KBRI tidak bisa langsung menyampaikan dokumen kepada orang atau badan hukum yang dituju. Belanda berdalih negara itu terikat pada prosedur yang ditetapkan dalam The Hague Convention on the Service Abroad of Judicial and Extrajudicial Documents in Civil or Commercial Matters.

 

Salah satu prosedur yang lazim diikuti adalah penerjemahan dokumen. Menurut Chairijah, penerjemahan dokumen hukum itu biasanya menyesuaikan dengan negara tujuan pengiriman. Sebelum dikirim, dokumen tersebut dialihbahasakan oleh penerjemah tersumpah (sworn translater). Kementerian Hukum dan HAM biasanya membuat anggaran untuk itu. Biayanya, kata Chairijah, gila-gilaan. “Biasanya dibayar per lembar”.

 

Pentingnya membuat terjemahan itu juga disinggung dalam surat Ditjen Protokol dan Konsuler ke Mahkamah Agung serta Kementerian Hukum dan HAM. Kalaupun tidak dalam bahasa negara tujuan, ringkasan dokumen dapat dibuat dalam bahasa Inggris. Opsi membuat terjemahan dokumen dalam bahasa Inggris bertujuan mengirit biaya terjemahan yang rada mahal. “KBRI mengharapkan kiranya dapat disertakan ringkasan dokumen pengadilan tersebut dalam bahasa Inggris,” demikian penggalan isi surat Kemlu dimaksud.

 

Pengiriman dokumen hukum dari otoritas (central authority) Indonesia ke otoritas Belanda bisa dilakukan langsung tanpa melalui Kementerian Luar Negeri jika memenuhi ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 2006. Wet ini mengatur tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Berdasarkan Undang-Undang ini, bantuan hukum dalam masalah pidana dapat diberikan berdasarkan perjanjian atau berdasarkan asas resiprositas. “Kalau tidak ada letter agreement, kita biasanya pakai asas resiprositas,” ujarnya.

 

Belum negara anggota

Permintaan Belanda agar Indonesia mengikuti prosedur pengiriman dokumen hukum merujuk pada kedudukan Belanda sebagai negara anggota The Hague Convention on the Service Abroad of Judicial and Extrajudicial Documents in Civil or Commercial Matters. Konvensi ini mengatur antara lain tentang persyaratan dan mekanisme penyampaian dokumen-dokumen hukum untuk perkara perdata dan niaga.

 

Masalahnya, hingga kini, Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1965 itu. “Karena kita belum sanggup,” Chairijah memberi alasan.

 

Meskipun belum menjadi negara anggota, kata Chairijah, Indonesia sudah lama mempraktikkan sejumlah prosedur yang diatur Konvensi. Misalnya tentang legalisasi dokumen. Pengiriman dokumen notaris ke luar negeri lazimnya disahkan terlebih dahulu di Kementerian Hukum dan HAM. Pengesahan itu penting karena menyangkut keabsahan dokumen yang dikirimkan. “Kami berharap dokumen-dokumen yang dikirimkan dari Indonesia untuk hal-hal yang bersifat penting, memang sah,” ujarnya.

 

Khusus untuk pengiriman dokumen non-privat, mekanismenya tunduk pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pasal 3 Undang-Undang ini menyebutkan Pemerintah Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara: penandatanganan, pengesahan, pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, dan cara lain yang disepakati bersama.

Tags: