Penghormatan Terhadap Supremasi Sipil Jadi Catatan di Usia TNI ke-75
Berita

Penghormatan Terhadap Supremasi Sipil Jadi Catatan di Usia TNI ke-75

Janji penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang diduga melibatkan anggota TNI semakin tidak jelas.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 5 Menit

“Realitas hari ini justru terjadi penguatan narasi bahwa kasus Semanggi I dan II, sebagai salah satu kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, bukanlah kasus kejahatan serius yang bisa diadili dengan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM,” ujar Ikhsan.

Penguatan narasi yang kurang kondusif bagi penuntasan pelanggaran HAM masa lalu menurut Ikhsan juga muncul dari Menko Polhukam yang mengklaim tak pernah ada pelanggaran HAM selama Joko Widodo menjabat sebagai Presiden. Pernyataan tersebut dinilai bertujuan untuk membuat distingsi Jokowi dengan presiden sebelumnya, yang secara implisit dapat menjadi pembenaran untuk menghindari tanggung jawab masa lalu.

“Statemen tersebut juga seakan memposisikan jabatan antarmasa Presiden sebagai sesuatu yang terpisah dan tidak terkait,” terang Ikhsan.

Menurut Ikhsan, antarmasa Presiden memiliki kontinuitas dengan periode berikutnya, sehingga penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu akan terus menjadi tanggungjawab setiap Presiden di masa jabatannya. Pola penghindaran semacam ini berpotensi menjadi preseden buruk untuk pemerintahan berikutnya.

Karena itu, menurut Ikhsan, Setara Institute merekomendasikan sejumlah hal. Pertama, Presiden Jokowi perlu melakukan akselerasi terhadap upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang diduga melibatkan oknum TNI, serta percepatan pembahasan dan pengesahan terhadap revisi UU Peradilan Militer sebagai bentuk penghormatan atas HAM dan supremasi sipil.

Kedua, DPR perlu aktif dalam pengawasan setiap agenda reformasi TNI, terutama dalam hal keterlibatan DPR dalam kebijakan dan keputusan politik negara yang menjadi dasar TNI dalam menjalankan tugasnya sebagai alat negara di bidang pertahanan dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) seperti yang diatur dalam UU TNI.

Ketiga, Presiden perlu mengevaluasi kinerja Kementerian dalam kerangka agenda reformasi TNI. Beberapa Kementerian justru menjadi pintu masuk perluasan peran militer dalam ranah sipil, terutama pada Kementerian yang lingkup kerjanya di luar OMSP dan jabatan sipil yang dikecualikan untuk TNI aktif seperti yang disebutkan dalam UU TNI.

Tags:

Berita Terkait