Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden Tidak Perlu Dipidana
Kolom

Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden Tidak Perlu Dipidana

Bacaan 4 Menit
Dicki Nelson (kiri) dan Romy Alfius Karamoy (kanan). Foto: Istimewa
Dicki Nelson (kiri) dan Romy Alfius Karamoy (kanan). Foto: Istimewa

Indonesia sebagai salah satu negara yang mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta kebebasan sebagai dasar manusia dan menyadari bahwa itu adalah suatu kodrat yang melekat pada diri manusia. Hak kodrat merupakan suatu pemikiran bahwa setiap individu telah dikaruniai oleh alam atas suatu hak-hak yang melekat pada dirinya (manusia). Dalam pemenuhan kewajiban memberikan perlindungan kepada warga negara, melalui instrumen-instrumen yang dibentuk negara salah satunya dalam bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Terbaru pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang KUHP terbaru yaitu pada 6 Desember 2022 yang diundangkan melalui UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang mana KUHP terbaru akan berlaku pada tahun 2025. KUHP ini turut mengatur pasal penghinaan terhadap presiden disertai pidana penjara dan denda, KUHP ini disahkan dengan tujuan untuk memperbaharui KUHP sebagai sumber hukum pidana saat ini yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch, serta untuk menyesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini. Selain itu, KUHP terbaru juga disusun dalam rangka mengatur keseimbangan antara kepentingan umum atau negara atau kepentingan individu, antara perlindungan pelaku terhadap pelaku dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan nilai universal, serta antara hak dan kewajiban asasi manusia.

Melalui Judicial Review yang dilakukan oleh Eggi Sudjana pada tanggal 4 Desember 2006 ke Mahkamah Konstitusi, berdasarkan Putusan No. 013-022/PUU IV/2006, memutuskan bahwa Pasal 134, Pasal 136bis, dan Pasal 137 KUHP tersebut adalah inkonstitusional, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah dibatalkan. Ahli memberikan pandangan pasal-pasal tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tidak perlu diberlakukan lagi. Arti penghinaan harus mempergunakan pengertian yang berkembang dalam masyarakat tentang Pasal 310-Pasal 321 KUHP (mutatis mutandis). Jadi tidak lagi diperlukan adanya tindak pidana penghinaan yang khusus hanya kepada presiden atau wakil presiden yang mana terkandung dalam pasal 217-219 KUHP terbaru tersebut, dan sudah terpenuhi terkait penghinaan seseorang dalam Pasal 310-Pasal 321 KUHP dan Undang-Undang ITE Pasal 27 ayat (3). Dalam pendapatnya, Mardjono Reksodiputro menegaskan bahwa dalam suatu negara republik, kepentingan negara tidak dapat dikaitkan dengan pribadi presiden atau wakil presiden, seperti yang berlaku untuk pribadi raja dalam suatu negara kerajaan.

Namun, penghinaan terhadap presiden merupakan perbuatan yang tergolong mala prohibita di Indonesia jika kita lihat dari kronologi sejarah terbentuk pasal penghinaan ini. Mengutip pendapat Dr. I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono dalam dissenting opinion-nya dalam Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006. Meskipun menurut sejarahnya, KUHP yang berlaku saat ini adalah berasal Wetboek van Strafrecht yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda dimana ketentuan tentang penghinaan terhadap lembaga Presiden (dan Wakil Presiden), menurut sejarah penyusunannya, adalah bertolak dari maksud untuk melindungi martabat Raja, Sehingga Perbuatan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tidak berasal dari anggapan bersama dari masyarakat Indonesia bahwa perbuatan tersebut merupakan suatu kejahatan. Hal ini merupakan warisan peraturan dari Kolonial Belanda yang sudah diadaptasi. Pasal ini jelas tidak relevan dengan keadaan negara yang menganut demokrasi.

Unsur penghinaan tidak memiliki parameter yang jelas untuk diterapkan di ranah hukum pidana berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 atas pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta tidak memiliki urgensi untuk diterapkan karena hal-hal sebagai berikut.

Penghinaan berkaitan erat dengan subjektivitas seseorang. Merasa tersinggung merupakan interpretasi diri dan terlepas dari pemaknaan secara kolektif. Oleh sebab itu, aparat penegak hukum akan sulit dalam mencari persoalan apa saja yang dapat menimbulkan sebuah ketersinggungan. Poin ini didukung oleh pendapat ahli, Suparji Ahmad yang mengatakan bahwa pasal penghinaan terhadap presiden harus jelas, tidak abu-abu, tidak multitafsir dan memenuhi prinsip lex scripta, lex certa, lex stricta, dan lex praevia. Lex scripta artinya hukum pidana tersebut harus tertulis. Lex certa artinya rumusan delik pidana itu harus jelas. Lex stricta artinya rumusan pidana itu harus dimaknai tegas tanpa ada analogi, dan lex praevia yang artinya hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut.

Penghinaan tidak memiliki persoalan yang begitu substansial sehingga melakukan kriminalisasi terhadap penghinaan adalah bentuk nyata over kriminalisasi. Faktanya, instansi yang berwenang kerap melakukan tebang pilih dan sulit bersikap proporsional manakala pelaporan datang dari pihak yang memiliki relasi kuasa sekelas pejabat negara.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait