Penghapusan Syarat Domisili Bentuk Kesamaan di Hadapan Hukum
DPD vs DPR:

Penghapusan Syarat Domisili Bentuk Kesamaan di Hadapan Hukum

DPR tetap ngotot calon anggota DPD tidak perlu syarat domisili. DPR berlindung di balik prinsip semua orang punya kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan.

Ali
Bacaan 2 Menit

 

Pataniari juga mengatakan konstitusi tak mengharuskan calon anggota DPD berdomisili di daerah yang akan diwakilinya. Konstitusi memberikan hak konstitusional yang sama kepada setiap orang sepanjang mencalonkan diri sebagai perorangan, tuturnya.

 

Kuasa Hukum DPD, Bambang Widjojanto menilai penggunaan pasal hak asasi manusia yang digunakan oleh DPR terlalu umum. Menurutnya, DPR tak bisa ‘nembak' ke pasal 27 UUD'45. Pasalnya, yang dipersoalkan oleh pemohon adalah mengenai kewenangan DPD. Seharusnya DPR merujuk ke Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4), jelasnya saat jeda persidangan. Hal ini juga diamini oleh koleganya, Alexander Lay. Argumen itu bersifat umum, tutur Alex.

 

Menurut Alex, setiap orang bisa saja menggunakan pasal itu. Tetapi harus dilihat relevansinya. Bila sembarangan digunakan, maka semua persyaratan yang terdapat dalam UU bisa dinyatakan bertentangan dengan asas kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan.  

 

Uraikan Secara Jelas

Berbeda dengan Pataniari, Lukman Hakim lebih menyoroti hukum acara di MK yang ‘ditabrak' oleh pemohon. Ia mengutip Pasal 51 ayat (3) huruf b UU No 24 Tahun 2003 tentang MK. Ketentuan itu berbunyi ‘Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945'.  

 

Menurutnya, pemohon tak melakukan hal ini. Karena yang dipersoalkan, bukan norma yang bertentangan dengan UUD'45 sebagaimana judicial review pada umumnya. Sebaliknya, pemohon mempersoalkan hilangnya norma dalam UU Pemilu Legislatif. Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Pengacara DPD yang lain Todung Mulya Lubis memang mengakui persoalan ini sebagai sebuah dilema.

 

Kuasa DPR, Lukman Hakim Saefuddin, mengutip pendapat Prof Sri Sumantri dan Prof Jimly Asshiddiqie dalam bukunya masing-masing. Intinya, dua pakar hukum tata negara (HTN) itu menilai norma yang bisa diuji di MK adalah norma yang sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat, bukan norma yang tak jelas keberadaannya. Buku Jimly yang dikutip Lukman, berjudul ‘Hukum Acara Pengujian UU dengan UUD'45'.

 

Jangan Kutip Nama

Uniknya, Jimly merasa keberatan namanya dikutip dalam keterangan DPR. Ia mengakui kesembilan hakim konstitusi merupakan pakar di bidangnya. Buku-buku yang dihasilkannya pun tak sedikit jumlahnya. Namun, ia keberatan bila namanya dikutip dalam persidangan. Kalau Saudara mengutip buku, tak perlu disebut di persidangan, ujarnya.

Tags: