Penghapusan Pasal 20 UU Paten dalam RUU Cipta Kerja
Kolom

Penghapusan Pasal 20 UU Paten dalam RUU Cipta Kerja

Penghapusan tersebut sebuah pertanda kemenangan kaum kapitalis di bumi Indonesia.

Bacaan 7 Menit
Prof. Dr. OK. Saidin, SH.M.Hum. Foto: Istimewa
Prof. Dr. OK. Saidin, SH.M.Hum. Foto: Istimewa

Hari-hari belakangan ini Balegnas sedang sibuk membahas RUU Cipta Kerja, yang dimuat dalam ratusan lembar kertas dan ratusan pasal itu. Salah satu yang tertera dalam RUU itu adalah yang termuat dalam Pasal 110 yang menghapuskan Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.

Padahal pasal itu adalah "rohnya" Undang-Undang Paten yang menyambungkan substansi pelindungan paten dengan tujuan negara sebagaimana disepakati oleh The Founding Fathers bangsa ini yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni antara lain; melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Dengan dihapuskannya Pasal 20 itu sebenarnya sama saja dengan mencabut UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten secara keseluruhan. Artinya UU Paten itu sudah tidak diuperlukan lagi.

Paten dan isu Global

Pelindungan paten telah menjadi isu global, sejak ditandatanganinya Marakesh Convention Tahun 1994 yang di dalamnya memuat instrumen ikutannya antara lain TRIPs Agreement aspek perdagangan kini tidak lagi berdiri sendiri tetapi dihubungkan dengan pelindungan Hak Kekayaan Intelektual, salah satunya Paten. Paten telah menjadi isu strategis, karena paten berhubungan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermuara pada produk-produk industri barang dan bahkan jasa yang digunakan dalam lalu lintas perdagangan.

Teknologi yang berhubungan dengan invensi baru yang akan diterapkan dalam dunia industri telah merambah ke seluruh penjuru dunia. Akibatnya kekuatan ekonomi masyarakat dan dunia sangat tergantung pada kepemilikan paten. Dalam posisinya yang demikian, maka paten selalu menjadi sumber konflik antara negara kaya sebagai pemilik paten dengan negara yang sedang berkembang (developing countries), yang kerap kali sebagai negara konsumen.

Konflik juga berlangsung, antara pengusaha industri dengan pemilik paten yang berasal dari negara yang berada pada dua kutub yang berbeda di mana negara developing countries, kerap kali mendapatkan kesulitan untuk memperoleh lisensi. Bahkan untuk proses alih teknologipun melalui instrumen investasi negara developing countries kesulitan untuk mendapatkannya.

Biasanya pemilik paten berasal dari negara industri maju, sedangkan pengusaha yang akan menerapkan paten melalui lisensi kebanyakan berada di negara developing countries. Pemilik paten yang berasal dari negara majupun tidak dengan segera mendaftarkan patennya di negara developing countries, jika negara itu memuat syarat yang mereka anggap merugikan pemilik paten atau pemegang lisensi. Ketimpangan penguasaan teknologi dan kepemilikan paten kerap kali menjadikan negara developing countries menjadi tidak berdaya.

Ketika Negara developing countries, seperti Indonesia ingin melindungi kepentingan dalam negerinya, melalui instrumen hukum paten, maka tak pelak lagi Indonesia tak dapat menghindar dari tekanan asing. Itulah yang terjadi ketika Indonesia harus memulai penataan hukumnya melalui metode Omnibus law untuk menggalakkan investasi guna mengejar ketertinggalan Indonesia dalam membangunan ekonominya. Indonesia harus menghapus Pasal 20 UU No, 13 Tahun 2016 tentang Paten. Sebuah pertanda kemenangan kaum kapitalis sekaligus melindungi kepentingan asing dalam pertarungan global.

Paten Sebagai Instrumen Penjajahan Baru

Dalam RUU Cipta Kerja, Pasal 110 menegaskan bahwa, ketentuan dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang paten (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922) dihapuskan. Gagasan pemerintah untuk menyusun UU Cipta Kerja melalui metode Omnibus Law sebenarnya sudah jauh hari diperdengarkan oleh Presiden dalam berbagai kesempatan sebelum ia dilantik untuk jabatan yang sama pada periode kedua. Pengalamannya sebagai Presiden pada Periode pertama menunjukkan bahwa hambatan dalam pencapaian laju pertumbuhan ekonomi terutama dalam bidang investasi, cipta lapangan kerja, ketenagakerjaan dan lain-lain lebih dikarenakan oleh hambatan pada sektor  regulasi dan birokrasi.

Oleh karena itu Presiden berkeinginan untuk “memangkas” semua hambatan regulasi dan birokrasi yang dipandang menghambat proses pergerakan pertumbuhan ekonomi negara.
Ini memberi signal secara eksplisit bahwa Presiden akan melakukan perubahan besar-besaran pada regulasi. Presiden mulai menggagas penyusunan undang-undang dengan menggunakan metode Omnibus Law atau Omnibus Bill. Sebuah metode yang antara lain dengan melakukan kompilasi semua undang-undang terkait dalam satu undang-undang dengan tema tertentu yang isinya memuat pengecualian, penyempurnaan atau menghapuskan pemberlakuan pasal-pasal yang berasal dari berbagai undang-undanag terkait.

Sayangnya, ketika menyusun RUU tentang Cipta Kerja, regulasi sampai pada Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten. Tanpa kajian yang mendalam, Pemerintah selaku pengusul RUU Cipta Kerja tak memahami tentang urgensi pasal tersebut, yang sejak awal dalam perjalanan pemberlakukan UU Paten di Indonesia ketentuan semacam itu tetap ada diatur dalam undang-undang sebelumnya. Pelaksanaan Paten di Indonesia dan Alih Teknologi serta serapan tenaga kerja dalam negeri (local working requirement) –sekalipun memiliki keterbatasan- adalah roh yang tak boleh dihilangkan dalam setiap pemberian Paten oleh negara. Sebab, itulah tujuan negara memberikan paten yang dituangkan dalam undang-undang yang normanya diturunkan dari Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang memuat tentang tujuan negara dan landasan falsafah negara (Filosofische Grondslag).

Ada kesan bahwa penghapusan Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016, dilakukan tanpa riset yang mendalam dan tanpa memahami filosofi dan landasan konstitusional dan landasan sosiologis empirik yang melatarbelakanginya. Saat ini yang dijadikan dasar adalah kepentingan dengan pertimbangan-pertimbangan pragmatis, yakni bagaimana investasi asing harus masuk, walau dengan cara-cara yang mengorbankan aspek-aspek krusial yang telah dirumuskan dalam tujuan negara dengan aspek ideologis-nya.

Tugas Balegnas

Ketentuan Pasal 20 UU No 13/2016 itu bukan bertentangan dengan TRIPs Agreement, bahkan TRIPs Agreement itu dimungkinkan untuk dimanfaatkan Indonesia melalui peluang yang ditawarkan oleh TRIPs Agreement. TRIPs Agreement memuat ketentuan-ketentuan yang sangat fleksibel, tergantung bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan peluang itu.

Pasal 73 TRIPs Agreement misalnya, berisikan klausul fleksibilitas yang membuka peluang bagi Indonesia untuk mengatur dalam undang-undang nasionalnya mengenai pengecualian pemberlakuan ketentuan TRIPs Agreement.

Dalam bidang farmasi misalnya, Pasal 27 ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 ayat (1) juga membuka peluang agar Indonesia dapat memanfaatkan paten obat-obatan atau farmasi melalui skenario Paten Exclusion, Compulsory Licences, Security Exeption dan Waiver of Obligation. Sayangnya hal demikian tidak ditemukan dalam UU Paten Indonesia (Undang-undang No.13 Tahun 2016) yang berlaku saat ini. Oleh karena itu, Undang-undang No.13 Tahun 2016 tentang Paten, memanglah perlu diamendemen, tapi bukan dengan cara menghapuskan bahagian pasalnya.  

Skenario ini perlu dilakukan Indonesia sebagai negara berkembang untuk mencegah abuse of patent rights (penyalahgunaan hak paten) yang menghalangi alih teknologi dan melanggengkan monopoli. Itu yang harus dicermati oleh pembuat undang-undang Indonesia dan itu dapat dibenarkan sepanjang konsisten dengan TRIPs Agreement, akan tetapi tidak boleh memuat ketentuan yang membuka kemungkinan untuk tidak menerapkan paten, vide Pasal 73 TRIPs Agreement.

Jika penghapusan Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016 terkait isu local working yang dianggap beretentangan TRIPs Agreement, itumasih berada di arena diskursus yang menyangkut soal tafsir normatif. Isu local working bukan isu baru dalam sejarah undang-undang Paten di Indonesia, bahkan di negara-negara industri maju di dunia seperti Jepang, Korea, Kanada, Amerika, Inggeris bahkan Turkey, India dan Malaysia tetap memasukkan klausul terkait isu local working dalam undang-undang negaranya.

Memang harus kita akui bahwa, dalam UU Paten No.13 Tahun 2016, (termasuk dalam UUD RI Tahun 1945), Indonesia tidak memuat aturan yang spesifik untuk melindungi kepentingan hukum dalam negerinya, sehingga para perwakilan Indonesia dalam sidang-sidang WTO sulit untuk menunjukkan bahwa aturan yang dimuat dalam TRIPs Agreement, bertentangan atau sinkron dengan hukum nasional Indonesia. Terlepas dari agenda politik negara maju, TRIPs Agreement memuat elemen-elemen yang menyeimbangkan kepentingan negara maju dengan negara berkembang.

Bahkan, jika ditelusuri lebih lanjut TRIPs Agreement sebenarnya menguntungkan negara-negara berkembang, jika klausul-klausul dalam TRIPs Agreement itu dipahami dan dicermati secara tepat dan kemudian diadopsi dalam undang-undang paten nasional. Di sisi lain, diplomasi memegang peranan penting, untuk mengecualikan pemberlakuan beberapa ketentuan dari TRIPs Agreement. Sayangnya diplomasi kita selalu "kalah" karena ketergantungan kita terhadap negara-negara industri maju selalu lebih besar.Pada era globalisasi pasca ratifikasi GATT/WTO dengan instrumen ikutannya yakni TRIPs Agreement yang didominasi oleh kekuatan negara-negara maju dengan segala dinamikanya telah terjadi pertarungan ideologi, antara ideologi kapitalis dengan ideologi Pancasila yang akhirnya dimenangkan oleh ideologi kapitalis.

Oleh karena itu Balegnas yang sedang bekerja membahas RUU Cipta Kerja, seharusnya mempelajarai secara seksama peluang yang dibuka oleh TRIPs Agreement. Ada banyak aturan-aturan yang fleksibel yang termuat dalam TRIPs Agreement yang bisa dimanfaatkan oleh Indonesia, tanpa harus menghilangkan atau menghapuskan ketentuan Pasal 20 UU No.13 Tahun 2016 sebagaimana dituangkan dalam RUU Cipta Kerja. Pasal ini tidak semestinya dihilangkan, akan tetapi perlu pengaturan lebih lanjut, misalnya mengenai sanksinya. Sanksi jika paten itu itu tidak dilaksanakan di Indonesia, sanksi jika dalam pelaksanaan paten itu tidak melibatkan tenaga kerja dalam negeri dan sanksi jika tidak dapat mewujudkan alih teknologi dan seterusnya.

Kesimpulan

Pasal 20 UU 13/2016 itu adalah rohnya pelindungan paten di Indonesia yang dihububungkan dengan tujuan negara. Jika Pasal 20 UU 13/2016 dihapuskan maka, undang-undang paten itu akan kehilangan rohnya, akan kehilangan nilai filosofische grondslag. Pasal 20 UU 13/2016 ini menghubungkan pelindungan paten dengan cita-cita negara yang merdeka dan berdaulat. Kemandirian bangsa itu akan tercermin melalui penerapan Pasal 20 UU 13/2016. Menghapuskan Pasal 20 UU 13/2016 sama artinya memfungsikan alat penjajahan baru kaum kapitalis di Indonesia melalui isntrumen Paten.

Balegnas harus berani mengambil langkah-langkah dengan melahirkan teks-teks normatif yang baru dan tidak hanya mengekor pada model-model yang ditawarkan oleh negara industri maju yang selama ini berlandasan ideologi kapitalis. Balegnas harus berani kembali mendesain arah kebijakan politik hukum terkait HKI khususnya Paten dan perdagangan dengan bertolak pada pijakan ideologi bangsa dan bertumpu pada cita-cita kemerdekaan. Ini adalah sebuah prasyarat untuk menjadi bangsa yang mandiri. Kebijakan perdagangan yang dikaitkan dengan pelindungan HKI sebenarnya adalah cara-cara negara industri maju melindungi kepentingan ekonominya yang semakin hari cara-cara itu semakin terlihat tidak masuk akal.

UU Paten ke depan harus mampu memberi pelindungan bagi semua pihak dengan merumuskan peraturan perundang-undangan yang benar-benar dapat mendorong pertumbuhan investasi dan menghilangkan hambatan investasi dan perdagangan di Indonesia, namun tetap berpihak pada memberi peluang kemitraan bagi usaha-usaha anak negeri.

Indonesia ke depan mestilah mampu merumuskan peraturan perundang-undangan HKI termasuk UU Paten yang Commit Nationally, Think Globally dan Act Locally. Undang-undang yang berpijak pada Ideologi Pancasila, agar undang-undang itu bermartabat dan menunjukkan karakteristik Ke-Indonesia-an, jati diri dan kemandirian bangsa. Jangan sampai kehadiran hukum asing di bumi Indonesia, menggeser keberadaan ideologi bangsanya, yang telah membuat rakyatnya bingung dan kehilangan arah, tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah, semuanya menjadi serba asing dan rakyat Indonesia menjadi orang asing di negerinya sendiri. Oleh karena itu bukan Pasal 20 UU 13/2016 yang dihapuskan, tetapi Pasal 110 dalam RUU Cipta Kerja yang harus dihapuskan.

*) Prof. Dr. OK. Saidin, SH.M.Hum, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia. Guru Besar Ilmu Hukum-Universitas Sumatera Utara. Wadek I Fakuktas Hukum USU.

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Sumatera Utara dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait