Penggunaan Teknologi di Pengadilan Harus Tepat Sasaran
Berita

Penggunaan Teknologi di Pengadilan Harus Tepat Sasaran

Akademisi Australia mengingatkan penggunaan teknologi di pengadilan harus sesuai dengan goal yang ingin dicapai, bukan sekedar asal keren. Di Australia, ketika teknologi diperkenalkan pertama kali di pengadilan, penolakan keras berasal dari para pengacara.

Ali
Bacaan 2 Menit

 

Meski begitu, lanjut Haemiwan, memasukan teknologi informasi ke dunia peradilan di Indonesia bukan pekerjaan mudah. Ia mengatakan bila dilihat dari sudut pandang ilmu teknologi memang bukan pekerjaan yang sulit. Namun, pekerjaan ini di lapangan akan terbentur masalah dana dan jumlah data yang melimpah.

 

“Ada sekitar 400 pengadilan (di bawah MA) di Indonesia. Bayangkan berapa banyak data yang harus diolah,” tutur lulusan Fakultas Ilmu Komputer UI ini.

 

Penolakan dari Pengacara

Masuknya teknologi ke dalam dunia pengadilan memang bukan tanpa hambatan. Anne menceritakan pengalaman negaranya ketika pertama kali menerapkan teknologi di Pengadilan.

 

Kala itu, di era 1990an, penolakan justru datang dari kalangan pengacara. “Resistensi datang dari para pengacara,” tuturnya. Hadirnya teknologi semakin mendekatkan masyarakat dengan pengadilan. Peran pengacara dikhawatirkan berkurang dengan hadirnya teknologi di pengadilan.  

 

Namun, lanjut Anne, kekhawatiran tersebut tidak terbukti. “Kami masih mempunyai banyak pengacara,” selorohnya. Ia mengatakan para pengacara hanya perlu sedikit mengubah paradigmanya mengenai proses peradilan yang telah menggunakan teknologi karena para pencari keadilan masih perlu menanyakan persoalan hukum kepada pengacara.

 

Di Indonesia juga setali tiga uang. Haemiwan menunjuk spesifik kekhawatiran para pengacara ‘hitam’. “Saya menangkap kekhawatiran mereka nanti tidak bisa lagi ‘bermain’,” tuturnya.

 

Sedangkan di kalangan hakim agung, lanjut Haemiwan, sempat ada kekhawatiran bila nama majelis terpampang dalam situs resmi MA. “Mereka khawatir mendapat ancaman dari para pihak,” tuturnya.

 

Pengalaman dibunuhnya Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita ketika menangani perkara Tommy Soeharto tentu masih belum hilang dari ingatan. Namun, dari segi positifnya, transparansi bisa juga menjadi sarana kontrol bagi para hakim.

Tags: