Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dalam Persidangan Korupsi Bansos
Utama

Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dalam Persidangan Korupsi Bansos

Melalui Pasal 98 KUHAP korban dapat mengajukan gugatan ganti rugi tanpa perlu menunggu pidananya inkracht. Selain itu, pembuktian tentang kerugian lebih kuat karena didukung bukti-bukti dari penuntut umum.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 6 Menit
Eks Kasatgas Penyidikan Perkara Korupsi Bansos KPK, Andre Dedy Nainggolan dan Kuasa hukum korban dari Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos dari YLBHI, Ahmad Fauzi, dalam acara diskusi ICW soal PPKM Darurat: Jangan Ada Babak Baru Korupsi Bansos.
Eks Kasatgas Penyidikan Perkara Korupsi Bansos KPK, Andre Dedy Nainggolan dan Kuasa hukum korban dari Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos dari YLBHI, Ahmad Fauzi, dalam acara diskusi ICW soal PPKM Darurat: Jangan Ada Babak Baru Korupsi Bansos.

Langkah gugatan permintaan ganti kerugian korban bansos kepada pelaku korupsi menemui titik terang. Majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menerima permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh 18 korban korupsi bansos terhadap mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara. Penerimaan ini merupakan sejarah baru, betapa tidak, sebelumnya belum ada gugatan menggunakan Pasal 98 KUHAP dalam perkara korupsi diterima di persidangan.

Kuasa hukum korban dari Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Ahmad Fauzi, menjelaskan pada persidangan tersebut, kuasa hukum korban bansos diberikan akses oleh majelis hakim untuk duduk berdampingan dengan jaksa penuntut umum dan berhadapan langsung di depan kuasa hukum Juliari P Batubara.

Belajar kegagalan di masa lampau saat gagal pada kasus Akil Mochtar (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), meski KUHAP ada bilang ganti rugi tapi penjelasannya tidak dijelaskan secara detil. Sehingga, yang kami lakukan adalah akhirnya kami lakukan aksi interupsi setiap persidangan kepada majelis hakim. Bahkan, justru sampai hakim setengah mengusir,” jelas Fauzi, Rabu (7/7). (Baca: Mewaspadai Risiko Korupsi Dana Bansos PPKM Darurat)

Dia menjelaskan melalui Pasal 98 KUHAP tersebut korban dapat mengajukan gugatan ganti rugi tanpa perlu menunggu pidananya inkracht. Selain itu, pembuktian tentang kerugian lebih kuat karena didukung bukti-bukti dari penuntut umum.

Hukumonline.com

Namun, Fauzi mengatakan dalam kesempatan itu hakim meminta agar Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos untuk melengkapi dokumen administrasi terkait permohonan yang sedang diajukan. Dia menilai dengan bukti dan argumentasi yang diajukan dalam proses persidangan mestinya tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian tersebut.

Selain itu, kata Fauzi, penggunaan Pasal 98 KUHAP juga memiliki kelemahan seperti korban yang dapat mengajukan kerugian hanya tingkat pertama dan ganti rugi bersifat materiil. Lalu, korban harus meyakinkan penuntut umum untuk memasukan permohonan gugatan ganti rugi ke dalam berkas perkara.

Kemudian, putusan gugatan ganti kerugian sangat bergantung pada perkara pidana. Sehingga tidak dapat mengajukan keberatan jika putusan pidana tidak diajukan upaya hukum dan hak mendapat ganti rugi korban hilang jika putusannya bebas. Lalu, prosedur gugatan tidak sederhana karena masuk perkara pidananya sehingga memungkinkan korban tidak tahu atau terlambat mengajukan gugatan.

Dalam artikel Hukumonline “Bagaimana Cara Menuntut Ganti Rugi Jika Menjadi Korban Tindak Pidana?” dijelaskan untuk penggabungan perkara ganti kerugian diatur dalam Bab XIII UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur dari Pasal 98 hingga Pasal 101. 

Pasal 98 ayat (1) KUHAP menyatakan, “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.” Untuk itu permohonan penggabungan perkara ganti kerugian berdasarkan ketentuan Pasal 98 ayat (2) UU KUHAP diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.

Pada saat korban tindak pidana meminta penggabungan perkara ganti kerugian maka Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban (lihat Pasal 99 ayat [1] KUHAP).

Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya akan mendapatkan kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga telah mendapat kekuatan hukum tetap (lihat Pasal 99 ayat [3] KUHAP). Begitu juga apabila Putusan terhadap perkara pidana diajukan Banding maka Putusan Ganti rugi otomatis akan mengalami hal yang sama (lihat Pasal 100 ayat [1] KUHAP). Namun, apabila perkara pidana tidak diajukan banding maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan banding (lihat Pasal 100 ayat [2] KUHAP). Mekanisme pemeriksaan penggabungan perkara ganti kerugian ini berdasarkan ketentuan Pasal 101 KUHAP menggunakan mekanisme yang diatur dalam Hukum Acara Perdata.

Mekanisme lain yang tersedia adalah menggunakan Gugatan Perdata biasa dengan model gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam gugatan ini, Penggugat, dalam hal ini korban tindak pidana, tentu harus menunggu adanya putusan Pengadilan yang telah memutus perkara pidana yang dilakukan oleh Pelaku (Tergugat).

Sementara tersedia juga mekanisme lain yaitu mengajukan permohonan Restitusi yang diajukan berdasarkan ketentuan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU 13/2006), PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (“PP 44/2008”), dan Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi.

Permohonan Restitusi diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b jo Pasal 7 ayat (2) UU 13/2006 yang kemudian secara lebih detail diatur dalam PP 44/2008. Berdasarkan PP 44/2008, permohonan Restitusi ini dapat diajukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (vide Pasal 21 PP 44/2008). Permohonan Restitusi tersebut diajukan secara tertulis yang bermaterei cukup dalam bahasa Indonesia oleh Korban, Keluarganya atau Kuasanya kepada Pengadilan melalui LPSK

Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 PP 44/2008 memuat sekurang-kurangnya: a. identitas pemohon; b. uraian tentang tindak pidana; c. identitas pelaku tindak pidana; d. uraian kerugian yang nyata-nyata diderita; dan e. bentuk Restitusi yang diminta.

Permohonan Restitusi harus dilampiri: a. fotokopi identitas Korban yang disahkan oleh pejabat yang berwenang; b. bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh Korban atau Keluarga yang dibuat atau disahkan oleh pejabat yang berwenang; c. bukti biaya yang dikeluarkan selama perawatan dan/atau pengobatan yang disahkan oleh instansi atau pihak yang melakukan perawatan atau pengobatan; d. fotokopi surat kematian dalam hal Korban meninggal dunia; e. surat keterangan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menunjukkan pemohon sebagai Korban tindak pidana; f. surat keterangan hubungan Keluarga, apabila permohonan diajukan oleh Keluarga; dan g. surat kuasa khusus, apabila permohonan Restitusi diajukan oleh Kuasa Korban atau Kuasa Keluarga.

Risiko Korupsi Bansos Tunai

Seperti diketahui, pemerintah berencana menggulirkan berbagai program bantuan tunai kepada masyarakat selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat 3-20 Juli 2021. Program bantuan tunai ini merupakan hasil evaluasi dari sebelumnya yang menjadi skandal mega korupsi bansos sembako dengan melibatkan Menteri Sosial Juliari Batubara pada 2020.

Meski bansos telah berbentuk tunai, namun risiko korupsi masih menghantui program sosial saat PPKM Darurat. Permasalahan data penerima menjadi persoalan utama mengingat pemerintah sempat menyatakan terdapat 21 juta data ganda atau bermasalah. “Celah korupsi tunai itu bisa lebih minim tapi tidak jaminan. Permasalahannya, data yang dimiliki keluarga penerima apa itu sudah mutakhir dan tepat. Pemerintah pada Mei lalu menyatakan ada 21 juta data ditidurkan apa sudah diperbarui, enggak tahu,” jelas Eks Kasatgas Penyidikan Perkara Korupsi Bansos KPK, Andre Dedy Nainggolan, dalam diskusi online “PPKM Darurat: Jangan Ada Babak Baru Korupsi Bansos” Selasa (6/7).

Andre menjelaskan pelaku korupsi tetap berupaya mencari celah meski terdapat perubahan bentuk bansos tersebut. Dia mengatakan metode penyaluran menjadi hal penting diperhatikan agar tidak dimanfaatkan pelaku korupsi.

“Metodenya kejahatan akan cari cara baru ambil keuntungan. Sekarang masyarakat penerima itu menerimanya melalui rekening langsung atau ada pihak-pihak yang mendistribusikan misalnya RT dan RW. Asumsikan terdapat keluarga-keluarga yang tidak punya rekening. Lalu, bagaimana ini potensi ketika pihak-pihak yang mendistribusikan tersebut tidak kasih 100 persen dan dikutip juga,” jelas Andre.

Dengan demikian, dia mendorong peran penegak hukum dan masyarakat untuk mengawasi program tersebut. Dia mengimbau agar masyarakat melaporkan korupsi yang terjadi saat penyaluran bansos PPKM Darurat.

Sementara itu, Peneliti Indonesian Corruption Watch, Almas Sjafrina menilai program perlindungan sosial terlihat besar dan beragam. Namun, dia mengaggap bansos tersebut belum cukup dan minim jangkauan khususnya kepada masyarakat miskin dan kelompok rentan. Sayangnya, dalam kondisi tersebut, bansos masih dikorupsi. “Kalau datang ke persidangan, dipertontonkan dana yang terbatas ini dikorupsi dan bahkan ditargetkan fee-nya bisa sampai Rp 35 miliar,” jelas Almas.

Padahal, menurut Almas, dana korupsi tersebut saat dikonversi kepada bantuan kepada masyarakat akan berdampak signifikan kepada. “Ini korupsi besar dan sangat merugikan warga. Kami dorong penegak hukum dan KPK selesaikan kasus ini. Masih ada kejanggalan, ada nama politisi yang disebutkan saksi-saksi dan persidangan yang mengatur pengadaan dan punya afiliasi pada penyedia paket sembako. Kami menunggu keseriusan KPK dalam hal ini dan keterlibatan politisi-politisi ini,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait