Pengendali Perseroan Bisa Dimintai Tanggung Jawab Pidana
Berita

Pengendali Perseroan Bisa Dimintai Tanggung Jawab Pidana

Perlu melihat kasusnya terlebih dahulu. Pasal penyertaan dalam KUHP dapat dipakai aparat penegak hukum.

Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Pengendali perusahaan dapat dimintai tanggung jawab pidana. Ilustrator: HGW
Pengendali perusahaan dapat dimintai tanggung jawab pidana. Ilustrator: HGW

Dalam sejumlah perkara korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta keterangan bukan hanya dari orang yang menduduki jabatan tertentu, katakanlah dalam pemerintahan atau perseroan, tetapi juga yang berada di luar struktur organisasi pemerintahan atau perusahaan. Bukan hanya meminta keterangan, tetapi juga menggeledah kantor atau tempat kediaman orang yang berada di luar struktur perseroan.

Belakangan, KPK sudah mulai menyasar korporasi, dan meminta tanggung jawab pidana dari orang-orang yang mengendalikan perusahaan. Meminta tanggung jawab pengurus korporasi adalah langkah tepat yang diakomodasi oleh hukum. Dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan, misanya, direksilah yang bertanggung jawab ke luar dan ke dalam pengadilan. Lantas, dapatkah orang yang bukan direksi dimintai tanggung jawab pidana? Dapatkah orang yang berada di luar struktur perseroan dapat dimintai pertanggungjawaban?

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Beleid ini lahir sebagai respons atas maraknya penyelundupan aset hingga tataran transaksi global melalui skema beneficial ownership (BO), seringkali berbuntut money laundring hingga pendanaan aktifitas terorisme terselubung.

BO adalah adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti, dan berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut. Di dalam Perpres BO disebut sebagai Pemilik Manfaat atas suatu korporasi, atau dikenal dengan istilah lain pengendali perusahaan.

Korporasi yang dimaksud adalah Perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, persekutuan komanditer, persekutuan firma, dan  bentuk korporasi lainnya. Korporasi tersebut wajib menetapkan pemilik manfaat dari korporasi. Pemilik manfaat dari korporasi sebagaimana dimaksud paling sedikit merupakan satu personil yang memiliki masing-masing kriteria sesuai dengan bentuk Korporasi. Hal tersebut diatur dalam Pasal 3 Perpres No. 13 Tahun 2018.

(Baca juga: Bukan Pengurus Perseroan Bukan Berarti Lepas dari Hukum).

Selaku pemilik perusahaan, bukan tidak mungkin Pemilik Manfaat menjadikan perusahaan sebagai sarana tindakan kejahatan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan adanya aturan ini, ‘pemilik sebenarnya’ sebuah korporasi bisa diminta pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan miliknya, jika terbukti terlibat dalam kejahatan tersebut.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FHUP), Armansyah, berpendapat pengendali perusahaan bisa dipersalahkan dalam kasus korupsi. Dalam hukum pidana, unsur pertanggungjawaban yang paling utama adalah kesalahan. Jika pengendali perusahaan terbukti melakukan kesalahan seperti menyuruh atau membiarkan kejahatan terjadi, maka yang bersangkutan secara personal bisa dijerat.

Dalam kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT), misalnya. Penegak hukum tidak bisa berhenti pada pihak yang terkena OTT. “Siapa yang menyuruh, peran dia seperti apa. Master mind ini harus utuh juga melihatnya,” kata Armansyah kepada hukumonline, Senin (29/10).

Armansyah berpendapat pengendali perusahaan memiliki hak untuk memberikan kuasa kepada direksi, selaku pihak yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan terhadap perusahaan. Kuasa direksi, lanjutnya, bisa menjadi tidak terbatas sebagai perluasan kewenangan dari yang memberi kuasa yakni pengendali perusahaan. Dalam konteks ini, kuasa yang diberikan kerap dilakukan secara lisan, tanpa adanya keterangan tertulis.

Jika demikian, bagaimana bentuk pertanggungjawaban pihak pengendali perusahaan? Armansyah menyebutkan, pun pengendali perusahaan memiliki batasan-batasan pertanggungjawaban, hal tersebut harus dilihat ke Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Perusahaan (AD/ART). Penegak hukum tidak boleh gegabah dalam menyidik keterlibatan pengendali perusahaan.

“Makanya memang ini tidak boleh gegabah, strategic juga. Poin saya, tanggung jawab perseroan bisa dilihat dari tanggung jawab mutlak karena memang tersamar sebagai artificial person PT. Selama ini yang dipersalahkan hanya bawahan yang tidak terlibat langung dalam perusahaan tersebut, top manajemen harusnya bisa diminta pertanggungjawaban dan korporasi juga bsa diminta pertanggungjawaban,” ungkapnya.

Jika merujuk kepada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, kata Armansyah, pengendali perusahaan yang berada diluar direksi memang tidak diatur secara implisit. Tetapi di dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, pihak swasta bisa dijerat sebagai pihak yang ikut serta dalam konteks tipikor.

Meski dalam penerapannya cukup bisa karena di UU PT tidak mengatur secara tegas, namun UU Tipikor bisa dijerat ke pengendali perusahaan dalam konteks adanya kerugian ekonomi dan keuangan negara. Pengendali perusahaan imungkin berada di luar struktur pengurus perseroan. “Di UU PT di luar direksi tidak ada aturan secara implisit, UU Tipikor ‘kan bisa pihak swasta dijerat ikut serta dalam konteks pelanggaran tipikor. Tapi dalam praktik agak sedikit bias karena di UU PT tidak ada aturan secara tegas. Kadang KPK juga harus lihat-lihat case-nya ini, pelibatan dari orang-orangnya seperti apa. UU Tipikor swasta bisa djerat dalam hal ada unsur ekonomi dan keuangan negara,” jelasnya.

(Baca juga: Bukan Pengurus Perseroan Tak Berarti Lepas dari Hukum).

Senada dengan Armasnyah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, menyatakan bawha pihak yang berada diluar struktur perseroan, termasuk pengendali perusahaan, dapat dijerat dalam kasus tipikor karena adanya hukum penyertaan. Pasal 55 dan 56 Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur hukum penyertaan tersebut.

Dalam Pasal 55, pelaku dikategorikan dalam empat kategori pelaku yakni melakukan, menyuruh melakukan, turut melakukan, dan membujuk seseorang untuk melakukan. Sementara Pasal 56 kategori pelaku adalah membantu. Siapapun yang diduga adanya keterlibatan dalam kasus tipikor, akan dikaitkan dengan Pasal 55 dan 56 karena dugaan tersangka yang lebih dari satu orang.

Adapun sejauh mana kewenangan dan tanggungjawab serta batasan pengendali perusahaan tergantung kepada isi AD/ART. “Ada konstruksi hukum, bisa saja pengendali perusahaan tidak ada kaitan sama sekali, atau ada pihak yang memaksa sehingga pelaku tidak dihukum, tapi yang memaksa yang dihukum,” katanya.

Pihak-pihak yang diduga terlibat memiliki hak untuk membantah keterlibatan dalam kasus tipikor sebagai asas praduga tak bersalah. Yang terpenting, AD/ART jelas mengatur pihak-pihak yang bertanggungjawab jika perusahaan tersandung kasus korupsi.

Tags:

Berita Terkait