Pengembangan Kewirausahaan dan Kekayaan Intelektual
Kolom

Pengembangan Kewirausahaan dan Kekayaan Intelektual

Pemerintah perlu menambahkan beberapa program strategis dalam Rencana Aksi Kewirausahaan Nasional.

Bacaan 4 Menit
Ari Juliano Gema. Foto: Istimewa
Ari Juliano Gema. Foto: Istimewa

Saat ini, menurut Kementerian Koperasi dan UKM, Indonesia memiliki lebih dari 64 juta UMKM yang berkontribusi terhadap PDB nasional sebesar 60 persen. Namun, rasio kewirausahaan Indonesia baru mencapai 3,4 persen. Untuk menjadi negara maju, minimal rasio kewirausahaan harus mencapai 4 persen.

Sebagai salah satu upaya mempercepat peningkatan rasio kewirausahaan itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2022 tentang Pengembangan Kewirausahaan Nasional Tahun 2021-2024 (Perpres Kewirausahaan) pada tanggal 3 Januari 2022. Perpres Kewirausahaan itu menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan dalam melakukan pengembangan kewirausahaan nasional.

Perpres Kewirausahaan itu mengatur pembentukan Komite Pengembangan Kewirausahaan Nasional yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Ketua Pelaksana Komite dijabat oleh Menteri Koperasi dan UKM, dengan Wakil Ketua Pelaksana Komite dijabat oleh Menteri BUMN, Menteri Parekraf/Kepala Baparekraf, dan Menteri Dalam Negeri. Komite melaksanakan tugas sejak Perpres Kewirausahaan diundangkan dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2024.

Berdasarkan Perpres Kewirausahaan, Pelaksana Komite tersebut berwenang menetapkan keputusan berkenaan dengan pengembangan kewirausahaan nasional yang mengikat kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, dan instansi pemerintah lainnya. Perpres Kewirausahaan itu juga mencantumkan Rencana Aksi Pengembangan Kewirausahaan Nasional yang ditetapkan untuk periode tiga tahun, yaitu 2022, 2023, dan 2024 sebagai lampiran, yang berisi program dan kegiatan berbagai kementerian/lembaga yang terkait.

Perpres Kewirausahaan tersebut juga mengatur ketentuan mengenai kemudahan dan insentif yang dapat diberikan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sesuai dengan kemampuan keuangan negara atau keuangan daerah. Kemudahan dan insentif tersebut antara lain dalam hal: perizinan berusaha; akses pembiayaan; dukungan pemasaran; serta insentif perpajakan.

Baca juga:

Kekayaan Intelektual

Sebagaimana diketahui, kemampuan perusahaan untuk melakukan inovasi adalah tanda-tanda signifikan dari modernitas, efektivitas, dan produktivitas. Namun, kurangnya pelindungan kekayaan intelektual atas inovasi tersebut dapat memberikan risiko hukum bagi perusahaan yang sedang berkembang (Madyda & Dudzik-Lewicka, 2014). Padahal kekayaan intelektual dapat menjadi unique selling proposition dari suatu produk, menciptakan penghalang bagi kompetitor, serta meningkatkan bobot penilaian dari investor.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016, diketahui bahwa hanya 11,05% dari 8,2 juta unit usaha ekonomi kreatif yang telah memiliki kekayaan intelektual yang terdaftar. Menyikapi hal itu, Bekraf pernah melakukan berbagai program dalam rangka sosialisasi dan fasilitasi pendaftaran kekayaan intelektual kepada para pelaku ekonomi kreatif di berbagai daerah.

Setiap tahun, setidaknya 1000 pelaku ekonomi kreatif telah mendapat fasilitas pendaftaran kekayaan intelektual secara gratis dari Bekraf. Selain itu, dalam rangka diseminasi informasi kekayaan intelektual yang efektif, Bekraf juga mengembangkan aplikasi seluler Biima (Bekraf’s IPR Info in Mobile App) yang merupakan aplikasi seluler pertama di Indonesia berisi informasi ringkas dan mudah dipahami mengenai kekayaan intelektual.

Namun, dalam Rencana Aksi Pengembangan Kewirausahaan Nasional diketahui hanya ada program dari Kementerian Perindustrian yang memfasilitasi pendaftaran kekayaan intelektual dengan target sebanyak 400 unit usaha setiap tahun. Target yang sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah unit usaha di Indonesia yang seharusnya mendapatkan fasilitas.

Fasilitasi pendaftaran kekayaan intelektual yang diberikan dalam Rencana Aksi itu juga masih berfokus pada pelindungan kekayaan intelektual di dalam negeri, padahal banyak program pemerintah yang memfasilitasi wirausaha lokal untuk mempromosikan produknya dalam pameran-pameran dagang di luar negeri. Tanpa pelindungan kekayaan intelektual di negara yang bersangkutan, produk dari wirausaha lokal itu rentan dilanggar hak kekayaan intelektualnya. Hal itu karena prinsip pelindungan kekayaan intelektual bersifat teritorial, yakni kekayaan intelektual hanya dilindungi di negara tempat kekayaan intelektual itu didaftarkan.

Usulan Strategis

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, setidaknya pemerintah perlu menambahkan beberapa program strategis dalam Rencana Aksi Kewirausahaan Nasional, yaitu, pertama, program fasilitasi pendaftaran kekayaan intelektual bukan hanya ditugaskan kepada Kementerian Perindustrian, tapi juga ditugaskan kepada berbagai kementerian/lembaga yang relevan dan pemerintah daerah, agar lebih banyak lagi jumlah unit usaha yang dapat difasilitasi.

Kedua, dalam Rencana Aksi perlu ditambahkan juga program fasilitasi pendaftaran kekayaan intelektual di negara-negara tempat pameran dagang yang akan diikuti wirausaha lokal dengan fasilitas dan dukungan pemerintah. Saat ini, Indonesia telah menjadi anggota Patent Cooperation Treaty (PCT) dan Protokol Madrid, sehingga untuk mendaftarkan paten dan merek di negara-negara anggota PCT dan Protokol Madrid dapat dilakukan dengan prosedur yang lebih mudah melalui DJKI.

Ketiga, sesuai amanat UU No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, dalam Rencana Aksi juga perlu ditambahkan program untuk memfasilitasi pengembangan sistem pemasaran berbasis kekayaan intelektual, seperti lisensi, waralaba, dan jenama bersama (co-branding). Hal ini bertujuan agar wirausaha tidak hanya fokus memasarkan produknya secara fisik, tapi juga mengoptimalkan komersialisasi kekayaan intelektualnya agar mendapatkan lebih banyak manfaat ekonomi.

Keempat, selain itu, dalam Rencana Aksi juga perlu ditambahkan program yang mendukung pelaksanaan skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual yang juga merupakan amanat UU No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, yaitu antara lain bimbingan teknis komersialisasi kekayaan intelektual, mempersiapkan profesi penilai kekayaan intelektual, mempersiapkan pendanaan pemerintah untuk mendukung skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual mempersiapkan pasar kekayaan intelektual sebagai rujukan valuasi dan secondary market, serta mempersiapkan regulasi teknis di sektor perbankan. Program-program tersebut diperlukan agar wirausaha dapat dengan mudah menjadikan kekayaan intelektualnya sebagai obyek jaminan utang untuk mendapatkan modal usaha.

*)Ari Juliano Gema adalah seorang advokat dengan fokus praktiknya di bidang kekayaan intelektual dan entertainment. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi di Badan Ekonomi Kreatif (2015-2019) dan Staf Ahli Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi (2020-2022).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait