Pengembang Apartemen Rasuna Lolos dari Jerat Pailit
Berita

Pengembang Apartemen Rasuna Lolos dari Jerat Pailit

Majelis berpendapat permohonan pailit tidak memenuhi prinsip pembuktian utang yang sederhana

HRS
Bacaan 2 Menit
Pengembang Apartemen Rasuna Lolos dari Jerat Pailit
Hukumonline

Kandas sudah harapan Soetomo untuk menagih piutangnya dari Bakrie Swasakti Utama (BSU) lewat jalur kepailitan. Gara-gara dinyatakan eksistensi utangnya tidak sederhana, Pengadilan Niaga Jakarta menolak permohonan pailit yang diajukan pria yang berprofesi sebagai dokter, Jumat (5/4).

Putusan ini bertitik tolak pada pijakan dalil para pihak yang berbeda. Untuk sang dokter sendiri, ada tidaknya utang ini berdasarkan pada putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia No. 104/XII/ARB/BANI/1999, tertanggal 19 Maret 2000. Berdasarkan putusan tersebut, BSU harus membayar ganti kerugian kepada Soetomo sebanyak Rp3,5 miliar dan BSU baru membayar Rp366 juta.

Sementara itu, BSU menangkis keberadaan utang ini dengan mengatakan putusan tersebut tidak bisa dieksekusi karena telah dibatalkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hingga tahap peninjauan kembali tertanggal 24 Oktober 2011. Sehingga, putusan BANI tidak sah dan tidak dapat digunakan sebagai dasar eksistensi utang.

Meskipun BSU menolak putusan BANI, BSU mengakui memiliki utang kepada Soetomo. Pengakuan ini terlihat dari nama-nama kreditor ketika BSU mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang secara sukarela pada 2003 silam. Berdasarkan PKPU tersebut, BSU mengaku hanya mempunyai tagihan senilai Rp448 juta. Namun, tagihan tersebut baru jatuh tempo pada 2018.

Berdasarkan hal tersebut, majelis berpandangan bahwa eksistensi utang masih belum jelas. Sifatnya sangat kompleks dan tidak sederhana. Meskipun dalam penjelasan Pasal 8 ayat (4) UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perbedaan jumlah utang tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.

Kendati demikian, majelis tidak dapat mengabaikan perbedaan jumlah utang antara kedua belah pihak. Soalnya, perbedaan tersebut sangat mencolok. Pemohon mendalilkan jumlah utang sebesar Rp3 miliar sedangkan BSU mengklaim utang hanya sebesar Rp448 juta.

“Terdapat perbedaan yang sangat signifikan,” ucap Ketua Majelis Hakim Nawawi Pomolango, Jumat (5/4).

Perbedaan ini menurut majelis bersumber pada sumber utang yang berbeda pula, yaitu putusan BANI dan putusan PKPU. Dengan perbedaan sumber, hal ini berakibat pada ketidakpastian mengenai jatuh tempo utang tersebut. Dengan demikian, majelis berpandangan untuk menolak permohonan pailit ini lantaran sifat utang yang kompleks.

Majelis hakim merujuk putusan Mahkamah Agung Nomor 834K/PDTSUS/2009 Tahun 2009 tentang lolosnya PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dari ancaman pailit lantaran pembuktian yang tidak sederhana atas eksistensi utang.

Terkait dengan alat bukti yang diajukan BSU berupa putusan PKPU dan produk-produk dari PKPU 2003 lalu, sang dokter menolak bukti tersebut karena sang dokter beranggapan putusan PKPU 2003 lalu tidak mengikatnya. Soalnya, Soetomo tidak pernah diundang secara layak dan patut oleh Pengembang Apartemen Taman Rasuna di kawasan superblok Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan ini. Padahal, dalam Penetapan Hakim Pengawas No.01/PKPU/2003/PN.Niaga.Jkt.Pst. pemanggilan rapat kreditor harus dilakukan lewat surat tercatat ataupun kurir.

Atas hal ini, lagi-lagi majelis hakim mematahkan dalil Soetomo. Sebab Soetomo sendiri juga mengajukan alat bukti berupa putusan PKPU dan produk PKPU 2003 silam. Dengan demikian, majelis berpendapat hal tersebut merupakan bentuk pengakuan pemohon terhadap PKPU itu sendiri. Juga, majelis berpandangan PKPU 2003 lalu telah dilakukan sesuai dengan koridor hukum. Terkait pemanggilan, majelis menyatakan pemanggilan melalui surat kabar merupakan undangan umum bagi para kreditor. Sehingga, alasan tersebut ditolak majelis.

“Syarat pernyataan pailit tidak terpenuhi. Untuk itu, permohonan pailit harus dinyatakan ditolak,” putus Nawawi.

Menanggapi hal ini, Kuasa Hukum Soetomo, Dedyk Eryanto Nugroho mengaku sangat tidak terima dengan putusan ini. Dedyk menilai pertimbangan majelis keliru. Soalnya, Dedyk mengherankan pertimbangan majelis yang menyatakan eksistensi utang BSU tidak sederhana. Padahal, putusan BANI adalah putusan yang besifat final dan mengikat.

“Bagaimana suatu utang yang bersumber dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dianggap bukan merupakan fakta hukum adanya utang yang bersifat sederhana,” ujar Dedyk kepada hukumonline, Jumat (05/4).

Lebih lagi, jika majelis tidak menerima putusan BANI, majelis dapat memilih PKPU sebagai landasan pertimbangan. Terhadap putusan PKPU 2003 itu sendiri juga telah mengakui utang BSU kepada Soetomo. Atas hal tersebut, Dedyk bersama rekan akan mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung “Pertanyaannya, mengapa dianggap rumit. Dua-duanya adalah putusan pengadilan,” tegas Dedyk.

Untuk diketahui, perkara ini bermula pada 1993. Soetomo tertarik membeli satu unit apartemen yang akan dibangun BSU. Kedua pihak lalu menandatangani Pengikatan Perjanjian Jual Beli atas kepemilikan satuan rumah Taman Rasuna Apartemen No: 05/14/E pada 16 September 1993.

Dalam pengikatan tersebut tercantum bahwa Soetomo membeli satu unit apartemen tipe E seluas 75 meter persegi di menara 5 lantai 14 pada 20 Agustus 1993. Sebagai tanda jadi, Sutomo membayar uang muka sebesar 30 persen, yaitu Rp57.526.924 dari total harga unit senilai Rp191.756.412. Akan tetapi, pada 20 Juni 1997, BSU menyatakan batal membangun apartemen tersebut. Lantaran wanprestasi, Soetomo segera mengambil langkah hukum, yaitu mengajukan permohonan arbitrase ke BANI pada 15 Desember 1999.

Namun, BSU mengajukan upaya hukum berupa pembatalan atas putusan BANI itu. Selain itu, BSU juga mem-PKPU-kan dirinya sendiri dan pada 2003, BSU resmi menyandang status dalam PKPU. Sayangnya, Soetomo tidak mengetahui proses ini sehingga Soetomo tidak mendapatkan pembayaran utangnya. Alhasil, Soetomo mengajukan permohonan pailit kepada BSU pada 27 Februari 2013.

Tags: