Pengecualian Jaksa untuk Selamatkan KPK
Kolom

Pengecualian Jaksa untuk Selamatkan KPK

Mengingat per-September 2020 adalah batas akhir penugasan Jaksa di luar instansi-nya termasuk di KPK, maka penyelesaian masalah ini harus segera dilakukan.

Bacaan 2 Menit
Rudi Pradisetia Sudirdja. Foto: Istimewa
Rudi Pradisetia Sudirdja. Foto: Istimewa

Pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami perubahan. Mulanya, KPK merupakan sebuah lembaga yang berada di luar pemerintah. Kemudian, berubah kedudukan menjadi lembaga pemerintah yang berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif (regeringsorgaan-bestuursorganen). Menurut undang-undang baru itu, pegawai KPK yang pada awalnya berstatus sebagai ‘Pegawai pada KPK’, paling lambat 2 tahun, harus melakukan penyesuaian status, menjadi aparatur sipil negara (ASN).

 

Penataan kedudukan lembaga dan perubahan status pegawai merupakan sebuah perbaikan bagi KPK. Hal ini dimaksudkan agar kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi jelas, yaitu sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan pemerintahan (executive power). Begitupun dengan status pegawainya, agar pegawai KPK memiliki jaminan dari negara, serta mendapat hak layaknya pegawai negara pada umumnya.

 

Terkait pengangkatan penyelidik dan penyidik di KPK, undang-undang menegaskan bahwa mereka dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal KPK. Sementara, penuntutan umum KPK hanya berasal dari Kejaksaan RI. Hal itu sejalan dengan prinsip bahwa hanya Jaksa yang dapat melaksanakan penuntutan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pun menegaskan hal yang serupa, bahwa penuntut umum adalah “jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

 

Pengangkatan Jaksa

Selanjutnya, mengenai tata cara pengangkatan Jaksa telah diatur secara rigid dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan). Menurut undang-undang itu, Jaksa hanya dapat diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.

 

Sebelum diangkat menjadi Jaksa, para Calon Jaksa harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa, dan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya di hadapan Jaksa Agung. Oleh karenanya, tidak mungkin ada Jaksa di Republik ini, selain Jaksa yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung. Hal itu juga telah menjadi ketentuan yang berlaku secara universal di berbagai negara di dunia.

 

Mengingat hanya Jaksa Agung yang dapat mengangkat seseorang menjadi Jaksa, maka selama ini kewenangan penuntutan yang diberikan undang-undang kepada KPK pun dilaksanakan oleh para Jaksa dari institusi Kejaksaan. Penugasan mereka di KPK dilaksanakan melalui mekanisme ‘diperbantukan’ atau ‘dipekerjakan’ yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2009 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PP 63/2009).

 

Perubahan Regulasi ASN

Seiring dengan perkembangan regulasi menyangkut ASN, PP 63/2009 dinyatakan tidak berlaku, dan diganti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PP 11/2017). Dalam peraturan baru itu, tidak disebutkan lagi frasa ‘dipekerjakan’ atau ‘diperbantukan’. Namun, ada konsep yang hampir mirip dengan konsep sebelumnya yakni ‘penugasan khusus’.

 

Pasal 178 PP 11/2017 menyebutkan bahwa selain mutasi dan/atau promosi pengembangan karier dapat dilakukan melalui “penugasan khusus”. Penugasan khusus sendiri diartikan sebagai “penugasan PNS untuk melaksanakan tugas Jabatan secara khusus di luar Instansi Pemerintah dalam jangka waktu tertentu.

 

Selanjutnya, penjelasan Pasal 202 PP 11/2017 menyebutkan bahwa contoh dari penugasan khusus adalah Jaksa yang mendapat penugasan khusus pada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK); dan PNS Kementerian Keuangan yang mendapat penugasan khusus pada International Monetary Fund (IMF).

 

Ketentuan mengenai penugasan khusus diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 35 Tahun 2018 tentang Penugasan Pegawai Negeri Sipil Pada Instansi Pemerintah dan Di Luar Instansi Pemerintah (Permenpan 35/2018).

 

Sejatinya Permenpan tersebut disusun dalam rangka mengatur lebih rinci mekanisme ‘penugasan khusus PNS di luar instansi pemerintah’, namun nyatanya Permenpan itu malah mengatur beberapa norma baru, yang sebelumnya tidak diatur dalam PP 11/2017, seperti ‘Penugasan pada Instansi Pemerintah’ dan ‘Penugasan pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri’. Dengan adanya Permenpan tersebut, penugasan PNS dapat digolongkan menjadi 3 jenis.

 

Pertama, ‘Penugasan PNS pada Instansi Pemerintah’ diartikan sebagai penugasan PNS pada Instansi Pemerintah yang pimpinannya tidak memiliki kewenangan mengangkat, memindahkan dan memberhentikan PNS.

 

Kedua, ‘Penugasan khusus’ yang tetap diartikan sebagai penugasan PNS yang melaksanakan tugas jabatan secara khusus di luar Instansi Pemerintah dalam jangka waktu tertentu, seperti penugasan PNS pada proyek pemerintah, organisasi profesi, organisasi internasional, dan badan lain yang ditentukan Pemerintah.

 

Ketiga, ‘Penugasan pada Perwakilan Republik Indonesia’ di luar negeri, yakni PNS yang melaksanakan tugas jabatan pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Permenpan Menimbulkan Masalah

Permenpan telah mempersempit makna penugasan PNS pada Instansi Pemerintah, dengan mensyaratkan penugasan demikian hanya dapat dilakukan terhadap instansi yang tidak memiliki kewenangan mengangkat memindahkan dan memberhentikan PNS, atau dengan kata lain instansi tersebut tidak memiliki pejabat pembina kepegawaian. Instansi yang tidak memiliki pejabat kepegawaian biasanya ditemui pada sebuah instansi yang baru dibentuk. Sedangkan, sebagian besar instansi pemerintah saat ini sudah memiliki pejabat pembina kepegawaian.

 

Akibat terbitnya Permenpan,timbul masalah, bagi Jaksa-Jaksa yang saat ini bertugas di KPK, yang mana selama ini penugasannya menggunakan mekanisme ‘dipekerjakan’ atau ‘diperbantukan’. Apabila mengacu pada Permenpan, KPK tidak bisa lagi menggunakan tenaga Jaksa. Mengingat, KPK saat ini sudah menjadi lembaga pemerintah, maka mekanisme ‘penugasan khusus’ seperti diatur dalam PP 11/2017 dan Permenpan 35/2018 tidak dapat dilaksanakan. Karena penugasan khusus hanya dapat dilakukan pada instansi di luar pemerintah.

 

Begitu juga dengan mekanisme ‘penugasan pada instansi pemerintah’, tidak mungkin dilakukan karena penugasan itu hanya dapat dilakukan manakala pimpinan instansi tersebut tidak memiliki kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan PNS. Sementara, pada KPK terdapat pejabat pembina kepegawaian yang berwenang melakukan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pegawai, termasuk mengangkat ‘Jaksa pada Kejaksaan’ untuk diangkat menjadi ‘Penuntut Umum pada KPK’.

 

Selanjutnya, Pasal 8 Permenpan 35/2018 menyebutkan bahwa paling lama 2 tahun PNS yang statusnya dipekerjakan atau diperbantukan pada Instansi Pemerintah maupun di luar Instansi Pemerintah harus melakukan penyesuaian status kepegawaian untuk memilih kembali ke instansi induk atau menjadi PNS instansi tersebut. Artinya, para Jaksa yang saat ini bertugas di KPK, sebelum September 2020, harus sudah memilih apakah akan beralih status kepegawaian menjadi PNS KPK dengan konsekuensi status Jaksa-nya hilang, atau kembali ke Kejaksaan.  

 

Untuk itu, KPK saat ini terancam kehilangan para jaksa terbaiknya. Hal itu pula menimbulkan potensi lumpuhnya kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia.

 

Masalah Bagi Profesi Jaksa

Permasalahan Permenpan tidak hanya berdampak pada para Jaksa yang berada di KPK, namun Jaksa lain yang saat ini bertugas di kementerian/lembaga, seperti di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Narkotika Nasional, Badan Keamanan Laut, Pusat Penelusuran Aset dan Transaksi Keuangan (PPATK) dan instansi lainnya. Padahal, sejatinya para Jaksa yang dipekerjakan di sana sedang melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.

 

Alasan pimpinan kementerian/lembaga meminta tenaga Jaksa untuk ditugaskan di tempat yang bersangkutan adalah karena keahlian dan profesinya. Mengingat, Jaksa merupakan pejabat yang memiliki fungsi strategis yang padanya melekat berbagai kewenangan di bidang hukum.

 

Jaksa dapat bertindak sebagai penyelidik, penyidik, penuntut umum, eksekutor dalam perkara-perkara tindak pidana khusus seperti korupsi. Jaksa juga dapat bertindak sebagai Pengacara Negara untuk mewakili kepentingan pemerintah baik di dalam maupun di luar persidangan. Selain itu, Jaksa juga memiliki tugas dan wewenang sebagai intelijen penegakan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara. 

 

Pengecualian Untuk Profesi Jaksa

Pengecualian pemberlakuan Permenpan 35/2018 terhadap Profesi Jaksa merupakan sebuah keniscayaan. Walaupun, Jaksa memang masuk dalam rumpun PNS, karena salah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi Jaksa haruslah berstatus sebagai PNS. Akan tetapi, kedudukan termasuk kewenangan Jaksa berbeda dengan PNS pada umumnya. Pengangkatan dan pemberhentian Jaksa hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung.

 

Selain itu, mengutip pendapat Narendra Jatna, bahwa Jaksa memiliki karakteristik khusus yang tidak dimiliki PNS lainnya. Jaksa merupakan sebuah profesi yang ditandai dengan keberadaan organisasi profesi Jaksa, baik dalam lingkup nasional yakni Persatuan Jaksa Indonesia (PJI), maupun global International Association of Prosecutors (IAP). Konsekuensinya, Jaksa juga memiliki standar yang berlaku secara internasional, seperti United Nations Guideline on the Role of the Prosecutor.

 

Sebagai sebuah profesi, Jaksa pun memiliki kode etik profesi. Dan, memiliki lembaga pengawas eksternal, yakni Komisi Kejaksaan yang berwenang melakukan pengawasan, penilaian dan pemantauan terhadap kinerja dan perilaku para Jaksa tersebut. Komisi Kejaksaan dalam saluran hierarki langsung bertanggung jawab pada Presiden.

 

Mengingat, per-September 2020 adalah batas akhir penugasan Jaksa di luar instansi-nya termasuk di KPK, maka penyelesaian masalah ini harus segera dilakukan. Tentunya kita tidak ingin kewenangan penuntutan KPK menjadi lumpuh karena terhambat regulasi mengenai penugasan Jaksa di sana.

 

Hal yang paling mungkin untuk dilakukan dalam waktu singkat adalah, dengan melakukan revisi Permenpan RB 35/2018, khususnya terkait mekanisme ‘penugasan khusus’ atau ‘penugasan pada instansi pemerintah’ dengan menambahkan ketentuan pengecualian bagi profesi Jaksa agar dapat tetap ditugaskan pada instansi pemerintah maupun di luar instansi pemerintah. Mengingat, penugasan Jaksa di KPK maupun di kementerian/lembaga lainnya diperlukan dalam rangka melaksanakan amanat undang-undang, serta melaksanakan tugas pokok dan fungsi Jaksa, baik sebagai penyelidik, penyidik, penuntut umum, eksekutor, pengacara negara, maupun intelijen penegakan hukum.

 

Akhirnya, tentunya kita semua berharap, bahwa kewenangan penuntutan KPK tetap dapat berjalan baik sebagaimana mestinya. Para Jaksa dapat melaksanakan tugas dan fungsinya di instansi mana pun ia ditugaskan, demi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

 

*)Rudi Pradisetia Sudirdja, S.H., M.H adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia.

 

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait