Pengaturan Sanksi Pidana Tak Boleh Dituangkan dalam Aturan Turunan
Berita

Pengaturan Sanksi Pidana Tak Boleh Dituangkan dalam Aturan Turunan

Karena ada asas no punist without representative, dimana perumusan sanksi pidana harus persetujuan rakyat melalui perwakilannya di DPR. Sebab, aturan pemidanaan berkaitan langsung dengan pembatasan HAM. Pembatalan atau perbaikan UU Cipta Kerja harus melalui jalur konstitusional.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES

Pengaturan sanksi pidana tak boleh diatur dalam aturan turunan. Sebab, pengaturan sanksi pidana hanya diperbolehkan pada level UU dan peraturan daerah. Oleh karenanya, aturan turunan berupa peraturan pemerintah hingga peraturan presiden (Perpres) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tak boleh mengatur sanksi pidana berupa pidana penjara atau denda.

Demikian disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Edward Omar Sharif Hiariej dalam sebuah konfrensi pers secara virtual bertajuk “Anotasi Hukum UU Cipta Kerja, Pemaparan Kertas Kebijakan FH UGM atas UU Cipta Kerja”, Jum’at (6/11/2020) kemarin. (Baca Juga: Pakar Pidana UGM Beberkan Kerancuan Sistem Pemidanaan dalam UU Cipta kerja)

“Orang selalu mengatakan nanti kekurangannya akan diperbaiki dalam peraturan pemerintah (PP), Perpres atau apalah. Tapi saya mau mengatakan, sanksi pidana tidak boleh diatur dalam PP atau Perpres. Yang berhak memuat mengatur sanksi pidana itu hanya pada level UU dan Perda,” tegasnya.

Hal ini mengacu pada asas no punist without representative, pencantuman rumusan norma sanksi pidana hanya diperbolehkan dengan persetujuan rakyat melalui perwakilannya, dalam hal ini persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sementara Perda, atas persetujuan dari Gubernur dan/atau bupati dan/atau walikota. Perda dibatasi hanya untuk ancaman pidana dalam level Perda.

Senada, Dosen Hukum Tata Negara (HTN) Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti berpandangan secara umum pengaturan sanksi pidana memang harus diatur dalam UU. Sedangkan landasan hukum diatur Pasal 15 UU No.12 Tahun 2011 sebagaimana diperbaharui oleh UU No.15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Pasal 15 ayat (1) menyebutkan, “Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam: a. Undang-Undang; b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”. Sementara ayat (2) menyebutkan, “Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”.

Sedangkan ayat (3) menyebutkan, “Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya”.

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari punya pandangan serupa. Menurutnya, pengaturan sanksi pidana harus diatur dalam level UU melalui proses persetujuan rakyat dalam hal ini DPR, tidak boleh aturan turunan. “Pengaturan sanksi pidana berkenaan langsung dengan pembatasan hak orang yang harus diatur dalam UU. “Pidana sebaiknya diatur dalam UU. Karena pemidanaan itu pembatasan hak orang yang harus diatur dalam UU,” ujarnya.

Lewat jalur konstitusional

Terkait kerancuan dalam pengaturan sanksi pidana dan dibutuhkan perbaikan, Prof Eddy mengatakan hanya boleh melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu dalam rangka mensinkronisasikan semua aturan ancaman pidana yang terdapat dalam UU Cipta Kerja.

Selain itu, dapat memilih opsi legislative review dan uji materi ke MK. Dia menilai fatal bila persoalan ini diuji materi ke Mahkamah Konstitusi. Sebab, akibat sejumlah pasal itu menimbulkan disparitas pidana yang menimbulkan ketidakadilan. “Maka pasal ancaman pidana itu sangat mungkin dibatalkan,” ujar dia.

Sementara Bivitri menilai mengoreksi sejumlah pasal pidana dalam UU Cipta Kerja justru bakal semakin bingung membaca UU sapu jagat itu. Dia berpandangan metode omnibus law telah membuat UU sangat rumit, sehingga pembaca tidak familiar dengan membaca UU dengan metode omnibus law.

“Padahal kita juga tahu, salah satu ukuran penting melihat negara hukum dalam praktik adalah membuat hukum bisa diakses, tidak hanya dalam hal mudah untuk didapatkan, tetapi juga bisa dimengerti oleh semua orang karena hukum berlaku untuk semua orang,” ujarnya.

Menurutnya, akar masalahnya terkait metode penyusunan omnibus law RUU Cipta Kerja yang bermasalah sejak awal memang sulit dipahami. “Kalau membuat Perppu sinkronisasi akan membuatnya menjadi lebih bermasalah dalam asas ‘kejelasan rumusan’,” ujarnya.

Wanita yang akrab disapa Bibib ini pun mendorong agar UU Cipta Kerja dibatalkan atau ditunda terlebih dahulu keberlakuannya. Setelah itu dilakukan pembahasan ulang termasuk mengsinkronisasikan sanksi-sanksi pidana di sejumlah UU existing yang terdampak dari UU Cipta Kerja. “Perbaikan yang sifatnya tambal sulam seperti untuk pengaturan sanksi pidana atau untuk yang salah rujukan malah akan membuat UU ini semakin kacau,” ujarnya.

Sementara Feri berpendapat memperbaiki materi muatan UU Cipta Kerja mesti melalui jalan konstitusional. Seperti, pemerintah melakukan executive review dengan menerbitkan Perppu. Tentu saja idealnya Perppu pembatalan atas UU Cipta Kerja. Kemudian legislative review dengan pembatalan atau merevisi UU Cipta kerja. “Dan judicial review melalui pengujian UU di MK.”

Dapatkan artikel bernas yang disajikan secara mendalam dan komprehensif mengenai putusan pengadilan penting, problematika isu dan tren hukum ekslusif yang berdampak pada perkembangan hukum dan bisnis, tanpa gangguan iklan hanya di Premium Stories. Klik di sini.

Tags:

Berita Terkait