Pengaturan Obstruction of Justice di RUU KUHP Dipuji
Berita

Pengaturan Obstruction of Justice di RUU KUHP Dipuji

Namun pasal itu masih perlu diperbaiki karena masih cenderung sebagai contempt of court.

CR19
Bacaan 2 Menit
Suasana focus group discussion RUU KUHP di DPR, Kamis (22/10). Foto: CR19
Suasana focus group discussion RUU KUHP di DPR, Kamis (22/10). Foto: CR19

Wakil Jaksa Agung RI Andhi Nirwanto memuji Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) karena mengatur mengenai obstruction of justice atau menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan. Alasannya, karena  saat ini obstruction of justice dalam RUU KUHP dikategorikan sebagai suatu tindak pidana.

“Ini dimasukan sebagai tindak pidana. Ini suatu kemajuan yang cukup baik,” ujar Andhi dalam focus group discussion RUU KUHP di Gedung DPR, Kamis (22/10).

Dalam Pasal 328 RUU KUHP disebutkan bahwa, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”.

Namun, Andhi melanjutkan, terhadap ketentuan dalam Pasal 328 RUU KUHP menurutnya masih kurang lengkap. Sebab, yang dimaksud dengan obstruction of justice adalah mengganggu proses peradilan secara utuh. Artinya, proses peradilan mulai dari sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai ke pengadilan.

Tak sampai di situ, menurutnya, tahap eksekusi putusan juga masuk dalam bagian peradilan. Dikatakan Andhi, proses peradilan itu masuk ke dalam satu kesatuan criminal justice system (sistem peradilan pidana). “Menurut hemat saya masih kurang lengkap. Sementara kalau berbicara criminal justice system itu sejak dari penyelidikan, penyidikan, penuntutunan, persidangan sampai eksekusi,” ujarnya.

Andhi menambahkan, rumusan dalam Pasal 328 RUU KUHP menurutnya masih cenderung sebagai contempt of court, atau gangguan yang terjadi hanya ketika dalam persidangan saja. Ia menilai, pasal itu perlu dikaji secara mendalam. Sebab, hal tersebut telah menjadi bagian dari Article 25 Resolusi PBB Nomor 58/4.

“Yang di Pasal 328 ini lebih cenderung hanya bersifat contempt of court, yakni mengganggu peradilan, di persidangannya saja. Ini bisa menjadi sekedar masukan,” katanya.

Catatan Lain

Dalam kesempatan yang sama, ada sejumlah catatan yang diberikan Andhi selaku perwakilan dari Kejaksaan Agung. Dikatakan Andhi, RUU KUHP mesti menghindari ketentuan pidana yang berlebihan (overcriminalization). Sebab, jika dilihat dari jumlah pasal, antara KUHP yang sekarang berlaku dengan RUU KUHP memiliki selisih 217 pasal.

Jumlah pasal dalam KUHP berjumlah 569 pasal, sedangkan jumlah pasal dalam RUU KUHP berjumlah 786 pasal. Ia khawatir, selisih jumlah pasal tersebut akan diartikan oleh masyarakat sebagai suatu kriminalisasi. Padahal, istilah kriminalisasi seringkali tidak tepat dimaknai oleh masyarakat.

“Padahal sesuai dengan teori hukum apa yang disebut dengan kriminaliasai adalah ketika suatu perbuatan yang tadinya bukan merupakan tindak pidana kemudian diatur menjadi tindak pidana, inilah yang disebut kriminalisasi menurut pemahaman saya. Dari itu, 569 pasal, ada selisih 217 Pasal. Apakah ini berarti mengandung kriminalisasi? Perlu juga dicermati kemudian,” paparnya.

Catatan lainnya, menurut Andhi, ada pasal-pasal yang perlu dipersingkat. Misalnya dalam Bab V tentang pengertian istilah, terlalu banyak pasal yang mengatur tentang pengertian-pengertian. “Itu ada 53 pasal sendiri. Apakah pengertian ini dalam ketentuan umum dapat dipersingkat?” sebutnya.

Selain itu, sejumlah pasal dalam RUU KUHP masih mencampuradukkan dengan hukum acara pidana. Seperti, Pasal 58 RUU KUHP tentang perubahan atau penyesuaian pidana, lalu Pasal 84 RUU KUHP tentang pelaksanaan pidana denda, dan yang terakhir Pasal 90 RUU KUHP tentang pidana mati.

“Apakah ini merupakan hukum pidana materil atau merupakan hukum acara pidana? Itu masih banyak pasal-pasal yang saya pandang itu merupakan hukum acara pidana,” katanya.

Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan berharap agar RUU KUHP juga bisa menjelma menjadi hukum acara. Selama ini, kaidah antara KUHP dengan KUHAP seringkali tidak berjalan secara bersamaan. Misalnya, konsep pemiskinan terhadap terpidana. Terkait hal ini muncul pertanyaan darinya apakah konsep itu tidak bertentangan dengan HAM karena yang terkena dampak pemiskinan adalah istri serta anak-anak dari terpidana.

Sehingga, Bagir berharap dalam RUU KUHP ini kontroversi antara pelaksanaan hukum materiil dan hukum acara tidak muncul kembali. Menurutnya, penyusun RUU KUHP, mesti konsisten dengan cara penegakan yang paralel dengan aspek hukum materiil yang diatur dalam RUU KUHP. “Ini pekerjaan yang tidak mudah,” tandasnya. 

Tags:

Berita Terkait