Pengarang Buku Primadusta Mendapat Kepastian Hukum
Berita

Pengarang Buku Primadusta Mendapat Kepastian Hukum

Jakarta, hukumonline. Setelah menunggu tiga tahun, Wimanjaya K. Liotohe, pengarang buku Primadusta Primaduka akhirnya mendapatkan kepastian hukum. Wimanjaya akan mengajukan gugatan perdata kepada mantan Presiden Soeharto, Kejaksaan Agung, dan Kapolri.

Tri/APr
Bacaan 2 Menit
Pengarang Buku <I>Primadusta</I> Mendapat Kepastian Hukum
Hukumonline

Majelis hakim PN Jaksel yang diketuai  M. Ritonga pada Selasa (16/1) memutuskan bahwa dakwaan jaksa kepada Wimanjaya dinyatakan gugur. Majelis hakim melepaskan terdakwa dari tuntutan pidana, mengembalikan harkat dan martabatnya, mengembalikan barang bukti berupa buku dan cetakan buku yang ditahan pihak kejaksaan kepada terdakwa, serta membebankan biaya perkara kepada negara.

Seusai mendengarkan putusan hakim, Wimanjaya yang didampingi penasehat hukumnya, Alamsyah Hanafiah, mengungkapkan dirinya merasa senang karena ini merupakan penantian panjang setelah tiga tahun. Persidangan kasusnya dihentikan sejak 15 Juli 1998 pada sidang kelima belas saat pemeriksaan saksi sampai akhirnya Wimanjaya mendapatkan kepastian hukum pada hari ini.

Menggugat Soeharto

Kepada wartawan, pria kelahiran Sangirtalaud, Sulawesi Utara, ini menegaskan bahwa seusai menerima putusan ini nantinya pihaknya akan mengajukan gugatan perdata kepada mantan Presiden Soeharto, Kejagung RI, maupun Kapolri berkaitan perlakuan terhadap dirinya selama penangkapan dan penahanan.

Persidangan terakhir ini merupakan kelanjutan dari sidang sebelumnya yang mendengarkan pendapat jaksa penuntut umum (JPU) Yudi Sutoto yang meminta kepada majelis hakim untuk menghentikan perkara.

Kejaksaan Agung telah melarang buku Primadusta Primaduka pada 1997. Namun, sejak 7 Agustus 1998 Kejagung telah mengeluarkan surat keputusan yang mencabut larangan buku-buku Primadusta Primaduka karangan terdakwa. Atas pencabutan  SK pelarangan buku oleh Kejagung ini, maka dakwaan terhadap Wimanjaya gugur.

Wimanjaya sendiri diperiksa sebelumnya dengan dakwaan primer melanggar pasal 134 jo 136 bis KUHP dan subsider Pasal 137 (1) KUHP. Pasalnya, isi buku-bukunya dianggap merupakan penghinaan terhadap martabat Soeharto sebagai presiden RI saat itu.

Berdasar Pasal 134 KUHP, penghinaan  dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Sementara menurut Pasal 137 (1) KUHP, barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

Atas dasar itu, Wimanjaya oleh pihak kejaksaan  diproses secara hukum dan sempat mendekam di LP Cipinang sejak 27 September 1997 hingga 9 Januari 1998. Nasibnya sempat terkatung-katung sampai akhirnya Wimanjaya mendapat kepastian hukum.

Tekanan hidup

Kepada wartawan, Wiman menuturkan bahwa penerbitan buku Primaduka Primadusta didasarkan atas tekanan-tekanan hidup yang dihadapi sebelumnya dan dialami selama pemerintahan Soeharto sejak 1971.

Wiman mengaku mengalami penggusuran rumah sampai lima kali.  Rumah dan tanahnya seluas 250 meter persegi di kawasan Kuningan, Jakarta, digusur. Bahkan, tanahnya seluasnya 1 hektare di daerah Bogor pada 1984 diserobot oleh Golkar dengan mentasnamakan Istana Presiden. 

Atas latar belakang itulah mantan guru yang pernah menjadi direktur SMU di Jakarta ini menuliskan buku Primaduka Primadusta yang mengorek keterlibatan Soeharto atas peristiwa G-30 S PKI pada 1965.

Wimanjaya sendiri menjadi terkenal sejak Soeharto pada 23 Januari 1994 di Tapos, Bogor, di depan para perwira ABRI mengemukakan ketidaksenangan dirinya dituduh terlibat G-30 S PKI. Soeharto juga menyatakan tidak suka dikait-kaitkan dengan tiga pentolan PKI: Untung, Latif, dan Soeparjo, seperti yang ditulis oleh "orang gila" Wimanjaya.

Sejak saat itulah Wiman mendapat perlakuaan tekanan dari pemerintahan Orba sampai akhirnya Soeharto tumbang. Dan pada hari ini, Wimanjaya baru mendapat kepastian hukum atas penerbitan buku yang sempat mendapat tekanan pada masa pemerintahan Orba.

Sempat dipenjara dan tidak mendapat kepastian hukum, agaknya tidak membuat Wiman jera. Buktinya, pada Januari 2001 Wimanjaya akan mengeluarkan buku yang menceritakan perjalananan hidupnya. Isinya, pengalaman pahit selama mendapat tekanan dari Pemerintahan Orba. Buku ini sekaligus menjadi kado bagi Wimanjaya yang telah mendapat kepastian hukum.

Tags: