Pengangkatan Honorer Jadi Pegawai Pemerintah Lewat Seleksi
RUU ASN

Pengangkatan Honorer Jadi Pegawai Pemerintah Lewat Seleksi

Karena UU ASN memiliki semangat sistem merit yakni kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan kualifikasi, kompetensi dan kinerja yang diberlakukans secara adil dan wajar tanpa diskriminasi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi. Hol
Ilustrasi. Hol

Rangkaian pembahasan revisi Undang-Undang No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) sudah dimulai di DPR. Sejumlah gagasan dan masukan mulai terlontar dari sejumlah pihak yang diserap masukan dan aspirasi untuk memperkaya bahan dalam penyusunan revisi UU ASN. Salah satunya, soal pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPK) harus melewati tahapan seleksi.

Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Prof Eko Prasojo mengatakan pengangkatan tenaga honorer di berbagai institusi pemerintahan untuk menjadi pegawai pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPP) hatrus melalui proses tahapan seleksi. Langkah itu diperlukan untuk mengukur dan menyaring tenaga honorer untuk dapat diangkat menjadi pegawai pemerintah.

“Jika pengangkatannya tanpa tes, itu tidak sesuai dengan sistem merit,” ujar Prof Eko Prasojo dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi II dalam rangka menyerap masukan dari pemangku kepentingan terkait perumusan revisi UU ASN di Komplek Gedung Parlemen, Senin (28/6/2021) kemarin. (Baca Juga: Mayoritas Fraksi Ingin Perubahan UU ASN Tetap Dibahas)

Dia menilai UU 5/2014 memiliki semangat penerapan sistem merit. UU 5/2014 mendefinisikan sistem merit merupakan kebijakan dan manajemen aparatur sipil negara yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.

Prinsipnya, dia sepakat dan mendorong pengangkatan tenaga honorer diangkat menjadi PPPK sepanjang tidak bertentangan dengan sistem merit. Dia menyadari banyaknya desakan dari berbagai pihak agar tenaga honorer dapat diangkat menjadi pegawai pemerintah baik menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun PPPK. “Namun demikian, peningkatan status tersebut mesti melalui sejumlah tahapan seleksi.”  

Mantan Wakil Menteri Pemberdayaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Wamenpan-RB) era Kabinet Indonesa Bersatu (KIB) Jilid II Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini melanjutkan tenaga honorer yang diangkat menjadi PPPK diberikan afirmasi ketimbang diangkat tanpa tahapan seleksi dan tes. Dia tak mempersoalkan cara tersebut.

Menurutnya, untuk mendapatkan sumber daya manusia unggul sebagaimana keinginan dan harapan Presiden Joko Widodo, dibutuhkan sistem birokrasi yang lincah bergerak. Karenanya seseorang ASN bakal dilihat terlebih dahulu aspek kemampuan dan kompetensinya. Nantinya seorang ASN dapat dipindahtugaskan (mutasi) dari instansi satu ke instansi lainnya, termasuk mutasi dari pusat ke daerah.

“Demikian sebaliknya karena yang dilihat kompetensinya,” katanya.

Sementara Ketua Umum Federasi Pekerja Pelayanan Publik Indonesia (FPPPI), Alfonsius Matly berpandangan, tenaga honorer yang terdapat di instansi pemerintah memiliki dua kekhahwatiran yang kerap menghantui sepanjang ketidakpastian statusnya. Pertama, khawatir gaji per bulan tak dibayarkan. Kedua, diberhentikan sepihak alias dipecat.

Atas dua kekhawatiran itulah tenaga honorer rela melakukan apapun yang diperintahkan dalam melakukan tugas apapun. Menurutnya, perlu kepastian status tenaga honorer untuk menjadi pegawai pemerintah dengan harapan tenaga honorer dapat diangkat menjadi ASN.

“Selama ini, sepanjang hidup kami, kami bekerja di bawah naungan pemerintah apapun yang diperintahkan oleh pegawai pejabat ASN tetap kami lakukan. Yang tidak kami lakukan cuma satu, jalan ke liang kubur. Karena kami tahu kalau kami ke sana akan mati. Jadi kami honorer sudah sangat menderita,” katanya.

Anggota Komisi II DPR Wahyu Sanjaya mengatakan persoalan pengangkatan tenaga honorer menjadi PPPK di daerah amat krusial. Pasalnya terdapat tarik menarik kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Soal tes pengangkatan tenaga honorer kategori K2 menjadi PPPK di daerah tak sama kemampuan dan latar belakang pendidikannya. Sementara tes pengangkatannya diberlakukan sama secara nasional.

Dia membandingkan tenaga honorer di Indonesia Timur, seperti Papua, bakal kalah bersaing dengan tenaga honorer di Jawa yang memiliki kemampuan dan latar belakang pendidikan memadai. Sebab, setiap kabupaten, kota dan provinsi memilki perbedaan indeks pembangunan manusia. “Bagaimana mungkin kita membuat tes yang berlaku nasional dengan tingkat pendidikan yang berbeda. Itu jadi persoalan,” ujar politisi Partai Demokrat itu.

Seperti diketahui, tenaga honorer K2, honornya bukan dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Berbeda halnya dengan tenaga honorer K1 yang honornya dibiayai dari APBN/APBD.

Usul pimpinan ORI pejabat negara

Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Mohammad Najih mengatakan selain mengatur soal status ASN maupun tenaga honorer K1 dan K2, revisi UU ASN diharapkan mengatur pula status pejabat negara terkait kedudukan pimpinan ORI sebagai pejabat negara. Baginya, fungsi, tugas dan kewenangan ORI yang cukup luas belum dapat dimaksimalkan. Sebab, kerapkali terbentur budaya hierarki birokrasi serta posisi protokoler ORI yang kurang mendapat perhatian.

“Ada usulan perubahan UU ASN yaitu kaitan dengan penyebutan kedudukan Pimpinan ORI sebagai pejabat negara,” harapnya.

Itu sebabnya Najih mengusulkan agar pengaturan pimpinan ORI sebagai pejabat negara dapat masuk dalam revisi UU ASN. Dia berharap usulan tersebut dapat dipertimbangankan. Sebab pimpinan ORI sebagai representasi pejabat negara yang diberi tugas dan wewenang dalam menjalankan tugas negara. “Jika memungkinkan bisa ditambahkan usulan kami ini dalam Pasal 122 revisi UU ASN.”

Ketua Komisi II DPR Syamsurizal berpandangan selama ini keberadaan ASN diatur dalam UU 5/2014. Namun dalam praktiknya masih dirasa kurang efektif. Karenanya, berbagai masukan dari para pemangku kepentingan menjadi bahan dalam perumusan atau pembahasan nantinya. Menurutnya, UU 5/2014 perbaharuan dari UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

“Kami memerlukan masukan dari para narasumber yang ada. Kita akan menerima dan menyerap sebagian besar dari apa yang disampaikan oleh para narasumber dengan perangkat teknik yang ada pada saat ini,” katanya.

Tags:

Berita Terkait