Pengamen Korban Salah Tangkap Bersaksi di MK
Berita

Pengamen Korban Salah Tangkap Bersaksi di MK

MK diminta batalkan Pasal 245 UU MD3

ASH
Bacaan 2 Menit
Pengamen Korban Salah Tangkap Bersaksi di MK
Hukumonline
Sidang lanjutan pengujian Pasal 245 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang dimohonkan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan sejarawan JJ Rizal kembali digelar di MK. Sidang kali ini para pemohon menghadirkan seorang saksi dan ahli.     

Pemohon JJ Rizal yang dikuasakan oleh LBH Jakarta kembali menghadirkan saksi Nurdin Priyanto, seorang pengamen jalanan yang pernah mengalami korban salah tangkap oleh pihak polisi. Di hadapan majelis MK, Nurdin menceritakan pengalaman pahitnya ketika ditangkap polisi lantaran dituduh membunuh seseorang yang pernah ditemuinya di kolong Jembatan Cipulir Jakarta Selatan pada 30 Juni 2013 lalu.

“Saya melihat ada orang tergeletak lemas di kolong jembatan Cipulir. Setelah saya dekati saya menawarkan bantuan, tetapi dia tidak butuh bantuan. Ya sudah saya tinggal mengamen dan kembali ke Parung tengah malamnya, tidur di depan warnet pinggir jalan,” tutur Nurdin.

Namun, sekitar pukul 04.00 WIB keesokannya, Nurdin dibangunkan lima orang bertubuh besar dan tegap yang dikiranya petugas Kamtibmas lantaran tidur di pinggir jalan. Setelah terbangun, kepala Nurdin langsung ditinju, ditendang, lalu diinjak-injak oleh orang-orang yang ternyata petugas kepolisian Polda Metro Jaya. Dari informasi teman pengamen lain, baru diketahui dirinya dituduh membunuh seseorang yang ditemuinya di kolong jembatan Cipulir.

“Di ruangan mulut saya dilakban, saya disetrum di bagian perut dan langsung menjerit kesakitan. Lalu, polisi itu bertanya ‘ngaku gak kamu, teman-teman kamu saja sudah ngaku?’ Akhirnya, saya ngaku karena tak tahan dengan setruman itu,” bebernya.

Singkat cerita, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis bersalah dan menghukum Nurdin dan Andro selama 7 tahun penjara. Padahal, tiga pelaku sebenarnya sudah bersedia mengakui membunuhnya. “Tetapi, alhamdulillah, sekarang saya dan Andro dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi DKI karena tidak terbukti membunuh.”

Beberapa minggu kemudian, Nurdin juga menceritakan pengalaman buruknya berurusan dengan polisi lantaran dituduh sebagai pengedar narkoba. Padahal, saat ditangkap, digeledah, dan diborgol, tidak ada barang bukti narkoba yang ia bawa. “Saya ditodong pistol, dipukul dadanya. Kali ini saya tetap tidak mau ngaku sekalipun ditembak. Tetapi, alhamdulillah, saya dilepas polisi hari itu juga,” tuturnya.

“Sudah dua kali mendapat perlakuan sewenang-wenang oleh aparat kepolisian. Demi Allah Pak Hakim, saya memang biasa hidup di jalanan, tidak sekolah, tetapi saya bukan penjahat. Sampai saat ini saya takut dan trauma kalau berdekatan dengan polisi,” tutupnya.

Pemohon sengaja menghadirkan Nurdin untuk menggambarkan bagaimana seorang warga negara biasa menjalani proses hukum. Kontras dengan perlakuan anggota DPR yang diberikan keistimewaan ketika menjalani proses hukum melalui Pasal 245 UU MD3. Pasal itu dinilai terlalu mengistimewakan dan melindungi anggota DPR karena menetapkan prosedur pemeriksaan anggota DPR harus mendapatkan persetujuan tertulis dulu dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Langgar prinsip nondiskriminasi
Tampil sebagai ahli, anggota Komnas HAM, Roichatul Aswidah berpendapat Pasal 245 UU MD3 tak sejalan dengan maksud awal pemberian hak perlindungan (imunitas) bagi anggota DPR karena cenderung untuk semua jenis tindakan. Perlindungan yang dirancang berlebihan itu melanggar prinsip nondiskriminasi dan kesetaraan di hadapan hukum yang diatur Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

“Pasal 245 UU MD3 dirancang untuk melindungi semua perbuatan pidana, ini tak sejalan dengan dasar hak imunitas parlemen atas dasar jabatan,” papar Roi.

Menurutnya, adanya pembedaan hak imunitas bagi pejabat (parlemen) harus berdasarkan hukum yang kuat dan alasan obyektif dan masuk akal yang masuk dalam ruang lingkup kerja-kerja parlemen. “Hak imunitas hanya untuk tujuan yang sah dalam rangka melindungi kebebasan berbicara di parlemen,” jelasnya.

Dia melanjutkan pasal itu juga memenuhi asas proporsionalitas sebagai bentuk penundaan proses peradilan (justice delay is justice denied) yang mempengaruhi dan melanggar hak korban atas keadilan. “Jadi, sudah seharusnya MK membatalkan Pasal 245 UU MD3 ini,” sarannya.
Tags: