Pengamat Nilai Permen PUPR Soal PPJB Seharusnya Tak Mengatur Norma Baru
Berita

Pengamat Nilai Permen PUPR Soal PPJB Seharusnya Tak Mengatur Norma Baru

Masuknya bagian pemasaran di dalam Permen PUPR tentang PPJB dinilai tidak sejalan dengan UU Perumahan dan PP Perumahan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) baru saja menerbitkan Peraturan Menteri PUPR No.11 Tahun 2019 tentang Sistem Pendahuluan Jual Beli (PPJB) Rumah. Dalam beleid ini, terdapat satu hal baru yang diatur yakni bagian pemasaran. Pengamat Properti Eddy M Leks menilai banyak hal yang harus dikritisi dari Permen PUPR 11/2019 tersebut.

 

Misalnya mengenai definisi “Rumah” tidak mencakup rumah susun. Rumah yang dimaksud hanya untuk tempat tinggal. Sedangkan, “rumah susun” mempunyai fungsi hunian dan campuran yakni hunian dan bukan hunian.

 

“Namun, di dalam Permen PPJB rumah susun dianggap bagian dari “Rumah”. Pertanyaannya, apakah rumah susun yang bukan untuk tempat tinggal tunduk pada Permen PPJB atau tidak? Pencampuradukan dua istilah akan membingungkan dalam implementasinya,” kata Eddy kepada hukumonline, Selasa (13/8).

 

Eddy juga menyoroti mengenai ketentuan pemasaran yang hanya berlaku pada saat atau sebelum penandatanganan PPJB. Jika ada satu PPJB ditandatangani, Eddy mempertanyakan apakah itu berarti ketentuan pemasaran tidak lagi berlaku? Dia berpendapat, seharusnya ketentuan pemasaran terus berlaku selama pengembang melakukan kegiatan pemasaran terhadap proyeknya.

 

Jika merujuk kepada UU Perumahan dan PP Perumahan, ketentuan tentang pemasaran jelas tidak diatur. Namun dalam Permen PPJB, Kementerian PUPR secara tiba-tiba memasukan aturan mengenai pemasaran. Langkah ini dinilai Eddy tidak sejalan dengan amanat UU yang hanya memberi perintah bahwa peraturan menteri adalah mengenai syarat kepastian untuk PPJB, bukan pemasaran.

 

“Dengan kata lain, seharusnya Permen PPJB tidak mengatur norma baru di luar amanat UU Perumahan,” imbuhnya.

 

Tak hanya itu. Permen PPJB juga tidak mengatur mengenai sanksi yang jelas terhadap pelanggaran Permen PPJB. Satu-satunya ketentuan mengenai pengawasan hanya berlaku terhadap persyaratan pemasaran di mana pengawasan tersebut akan dilakukan oleh pemerintah daerah.

 

Terdapat pengaturan mengenai keterlambatan pengembalian pembayaran oleh pengembang kepada pembeli, namun sayang tidak ada ketentuan denda jika pembeli terlambat bayar. Hal ini terlihat tidak adil untuk pengembang.

 

Pasal 9:

  1. Dalam hal pelaku pembangunan lalai memenuhi jadwal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a dan/atau huruf b, calon pembeli dapat membatalkan pembelian Rumah tunggal, Rumah deret atau Rumah Susun.
  2. Apabila calon pembeli membatalkan pembelian Rumah tunggal, Rumah deret atau Rumah Susun sebagaimanadimaksud pada ayat (1), seluruh pembayaran yang diterima pelaku pembangunan harus dikembalikan sepenuhnya kepada calon pembeli.
  3. Dalam hal pembatalan pembelian Rumah tunggal, Rumah deret atau Rumah Susun pada saat Pemasaran oleh calon pembeli yang bukan disebabkan oleh kelalaian pelaku pembangunan, maka pelaku pembangunan mengembalikan pembayaran yang telah diterima kepada calon pembeli dengan dapat memotong 10% (sepuluh persen) dari pembayaran yang telah diterima oleh pelaku pembangunan ditambah atas biaya pajak yang telah diperhitungkan.
  4. Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan secara tertulis.
  5. Pengembalian pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam hal terdapat sisa uang pembayaran setelah diperhitungkan dengan pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat pembatalan ditandatangani.
  6. Dalam hal pengembalian pembayaran dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak terlaksana, pelaku pembangunan dikenakan denda sebesar 1‰ (satu per-mil) per-hari kalender keterlambatan pengembalian dihitung dari jumlah pembayaran yang harus dikembalikan.

 

Kemudian, Eddy juga menyoroti mengenai PPJB harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Padahal di dalam UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, tidak disebutkan secara eksplisit bahwa PPJB harus dibuat dalam akta notaris. Selain itu, UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Rusun) juga tidak mewajibkan dibuat dalam akta notaris, tapi dibuat di hadapan Notaris yang memungkinkan penandatanganan PPJB di bawah tangan namun dilegalisasi oleh Notaris.

 

(Baca: Regulasi dan Harapan Baru Bagi Pemilik Rumah Susun)

 

Mengingat UU Perumahan dan UU Rusun juga mengatur mengenai PPJB untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), maka PPJB bawah tangan yang dilegalisasi di hadapan Notaris menjadi sangat relevan untuk menjamin biaya transaksi yang murah.

 

“Salah satu syarat sah perjanjian adalah causa yang halal. Causa suatu perjanjian dianggap terlarang jika dilarang oleh undang-undang, kesusilaan baik, atau ketertiban umum. Sedangkan, Permen PPJB adalah peraturan perundang-undangan di bawah UU Perumahan dan UU Rusun,” imbuhnya.

 

Kemudian terkait kewajiban pelaku pembangunan memelihara Rumah paling singkat 3 bulan sejak ditandatangani Berita Acara Serah Terima (BAST). Hal ini dinilai bertentangan dengan PP No.14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Kewajiban pengembang dalam PP 14/2016 terkait kewajiban pelaku usaha memelihara rumah dilakukan setelah selesai pembangunan sampai sebelum diserahterimakan, bukan setelah diserahterimakan.

 

Permen PPJB juga mengandung materi muatan di mana wajib mengatur tentang waktu serah terima bangunan dengan melengkapi dokumen BAST dan akta jual beli atau sertifikat hak milik/sertifikat hak milik sarusun/sertifikat kepemilikan bangunan gedung sarusun.

 

Terkait hal itu, Eddy mempertanyakan apakah pemerintah bermaksud bahwa sebelum serah terima sudah dilaksanakan AJB? Hal ini dinilai sangat aneh karena UU Rusun dan uraian muatan PPJB di dalam Permen PPJB bahkan tidak mengatur mengenai kapan atau limitasi AJB harus dilaksanakan.

 

“Hal ini juga berarti, ketika pengembang menetapkan jadwal serah terima, maka itu juga berarti suatu jadwal dimana AJB telah dilaksanakan secara tuntas. Pertanyaan yang lain, bagaimana jika pembeli tidak mau melaksanakan AJB? Apakah pengembang dengan demikian tidak bisa menyerahkan unit yang telah siap diserahterimakan?” imbuhnya.

 

Sementara itu, terkait pengalihan hak atas PPJB juga harus dilakukan di hadapan Notaris. Untuk ketentuan ini Eddy menilai tidak begitu jelas, apakah harus akta notaris atau cukup dilegalisir. Namun, ketentuan ini tentu akan menambah biaya terhadap jual beli sarusun untuk suatu tujuan yang belum tentu diperlukan.

 

Permen PPJB juga mengatur bahwa untuk memenuhi syarat kepastian atas ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum untuk pembangunan rumah susun, dibuktikan dengan surat pernyataan pelaku pembangunan mengenai ketersediaan tanah siap bangun di luar tanah bersama yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah.

 

“Ini adalah norma baru yang tidak diatur dalam UU Rusun. UU Rusun mengatur kewajiban menyediakan rusun umum (rusun untuk MBR) 20% dari keterbangunan rusun komersial, dan bukan untuk diserahkan ke pemerintah daerah. Ketentuan ini sejatinya melanggar UU Rusun, membingungkan dalam aplikasi, dan menambah beban pengembang,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait