Pengamat Nilai Permen PUPR Soal PPJB Seharusnya Tak Mengatur Norma Baru
Berita

Pengamat Nilai Permen PUPR Soal PPJB Seharusnya Tak Mengatur Norma Baru

Masuknya bagian pemasaran di dalam Permen PUPR tentang PPJB dinilai tidak sejalan dengan UU Perumahan dan PP Perumahan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

 

Terdapat pengaturan mengenai keterlambatan pengembalian pembayaran oleh pengembang kepada pembeli, namun sayang tidak ada ketentuan denda jika pembeli terlambat bayar. Hal ini terlihat tidak adil untuk pengembang.

 

Pasal 9:

  1. Dalam hal pelaku pembangunan lalai memenuhi jadwal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a dan/atau huruf b, calon pembeli dapat membatalkan pembelian Rumah tunggal, Rumah deret atau Rumah Susun.
  2. Apabila calon pembeli membatalkan pembelian Rumah tunggal, Rumah deret atau Rumah Susun sebagaimanadimaksud pada ayat (1), seluruh pembayaran yang diterima pelaku pembangunan harus dikembalikan sepenuhnya kepada calon pembeli.
  3. Dalam hal pembatalan pembelian Rumah tunggal, Rumah deret atau Rumah Susun pada saat Pemasaran oleh calon pembeli yang bukan disebabkan oleh kelalaian pelaku pembangunan, maka pelaku pembangunan mengembalikan pembayaran yang telah diterima kepada calon pembeli dengan dapat memotong 10% (sepuluh persen) dari pembayaran yang telah diterima oleh pelaku pembangunan ditambah atas biaya pajak yang telah diperhitungkan.
  4. Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan secara tertulis.
  5. Pengembalian pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dalam hal terdapat sisa uang pembayaran setelah diperhitungkan dengan pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat pembatalan ditandatangani.
  6. Dalam hal pengembalian pembayaran dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak terlaksana, pelaku pembangunan dikenakan denda sebesar 1‰ (satu per-mil) per-hari kalender keterlambatan pengembalian dihitung dari jumlah pembayaran yang harus dikembalikan.

 

Kemudian, Eddy juga menyoroti mengenai PPJB harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Padahal di dalam UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, tidak disebutkan secara eksplisit bahwa PPJB harus dibuat dalam akta notaris. Selain itu, UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Rusun) juga tidak mewajibkan dibuat dalam akta notaris, tapi dibuat di hadapan Notaris yang memungkinkan penandatanganan PPJB di bawah tangan namun dilegalisasi oleh Notaris.

 

(Baca: Regulasi dan Harapan Baru Bagi Pemilik Rumah Susun)

 

Mengingat UU Perumahan dan UU Rusun juga mengatur mengenai PPJB untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), maka PPJB bawah tangan yang dilegalisasi di hadapan Notaris menjadi sangat relevan untuk menjamin biaya transaksi yang murah.

 

“Salah satu syarat sah perjanjian adalah causa yang halal. Causa suatu perjanjian dianggap terlarang jika dilarang oleh undang-undang, kesusilaan baik, atau ketertiban umum. Sedangkan, Permen PPJB adalah peraturan perundang-undangan di bawah UU Perumahan dan UU Rusun,” imbuhnya.

 

Kemudian terkait kewajiban pelaku pembangunan memelihara Rumah paling singkat 3 bulan sejak ditandatangani Berita Acara Serah Terima (BAST). Hal ini dinilai bertentangan dengan PP No.14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Kewajiban pengembang dalam PP 14/2016 terkait kewajiban pelaku usaha memelihara rumah dilakukan setelah selesai pembangunan sampai sebelum diserahterimakan, bukan setelah diserahterimakan.

 

Permen PPJB juga mengandung materi muatan di mana wajib mengatur tentang waktu serah terima bangunan dengan melengkapi dokumen BAST dan akta jual beli atau sertifikat hak milik/sertifikat hak milik sarusun/sertifikat kepemilikan bangunan gedung sarusun.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait